Bank Indonesia: Penurunan Bunga Kredit Perlu Waktu 6 Bulan

Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung menuturkan, penurunan BI-Rate pada Januari 2025 memang sudah diikuti oleh suku bunga pasar uang (IndONIA).

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana Diperbarui 19 Feb 2025, 18:30 WIB
Diterbitkan 19 Feb 2025, 18:30 WIB
Bank Indonesia: Penurunan Bunga Kredit Perlu Waktu 6 Bulan
Bank Indonesia (BI) menyebut penurunan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) belum bisa diikuti oleh perbankan lewat pemangkasan bunga kredit. (Merdeka.com/Arie Basuki)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menyebut penurunan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) belum bisa diikuti oleh perbankan lewat pemangkasan bunga kredit, lantaran membutuhkan waktu lebih panjang.

Deputi Gubernur Bank Indonesia Juda Agung menyampaikan, penurunan BI-Rate pada Januari 2025 memang sudah diikuti oleh suku bunga pasar uang (IndONIA).

Namun, ia menambahkan, transmisi penurunan BI-Rate dana pihak ketiga (DPK) semisal suku bunga dana dan suku bunga kredit memang perlu waktu antara satu sampai dua triwulan.

"Jadi memang belum kelihatan, karena penurunannya baru bulan lalu. Jadi belum kelihatan di suku bunga dana dan suku bunga kredit," ujar Juda dalam sesi konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Februari 2025, Rabu (19/2/2025).

"Nanti kita tunggu, mudah-mudahan segera menyusul," dia menambahkan. 

Adapun secara data, BI mencatat berdasarkan hasil survei Perbankan mengindikasikan penyaluran kredit baru pada triwulan atau kuartal IV 2024 meningkat dibandingkan triwulan sebelumnya.

Hal ini tercermin dari nilai Saldo Bersih Tertimbang (SBT) penyaluran kredit baru pada triwulan IV 2024 sebesar 97,9 persen, lebih tinggi dibandingkan SBT 80,6%, pada triwulan sebelumnya.

"Berdasarkan jenis penggunaan, peningkatan pertumbuhan kredit baru terindikasi bersumber dari kredit modal kerja (SBT 91,7 persen) dan kredit investasi (SBT 88,5 persen)," kata Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Ramdan Denny Prakoso, dalam hasil survei Perbankan Triwulan IV 2024 pada Januari 2025. 

Sementara itu, kredit konsumsi (SBT 62,9 persen) terindikasi lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Perlambatan kredit konsumsi disebabkan oleh penyaluran kredit KPR (SBT 53,9 persen) dan kredit kendaraan bermotor (SBT 24,2 persen) yang lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya masing-masing sebesar SBT 75,9 persen dan SBT 25,9 persen.

Secara sektoral, pertumbuhan kredit baru tertinggi terjadi pada sektor Listrik, Gas dan Air (SBT 80,6 persen), diikuti sektor Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial (SBT 80,2 persen), serta sektor Industri Pengolahan (SBT 79,3 persen).

Perkiraan Kondisi Kuartal I 2025

Gedung BI raih penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia
Gedung BI raih penghargaan dari Ikatan Arsitek Indonesia. Dok: Bank Indonesia... Selengkapnya

Secara triwulanan (qtq), Bank Indonesia memproyeksikan penyaluran kredit baru pada triwulan I 2025 tetap kuat meski lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya. Hal ini terindikasi dari prakiraan penyaluran kredit baru triwulan I 2025 sebesar SBT 82,3 persen, lebih rendah dibandingkan SBT 97,9 persen pada triwulan sebelumnya.

Prioritas utama responden dalam penyaluran kredit baru pada triwulan I 2025 masih sama dengan periode-periode sebelumnya, yaitu kredit modal kerja diikuti kredit investasi dan kredit konsumsi.

Perlambatan Pertumbuhan DPK

Pada kredit konsumsi, penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR)/Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) masih menjadi prioritas utama diikuti Kredit Multiguna dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). 

Berdasarkan sektor, prioritas utama penyaluran kredit baru pada triwulan I 2025 adalah Sektor Perdagangan Besar dan Eceran diikuti Sektor Industri Pengolahan serta Sektor Perantara Keuangan. Di sisi lain, kebijakan penyaluran kredit pada triwulan I 2025 diperkirakan sama ketat dibandingkan triwulan sebelumnya.

Hal ini terindikasi dari Indeks Lending Standard (ILS) triwulan I 2025 yang bernilai positif sebesar 0,2. Berdasarkan jenis kredit, standar penyaluran kredit yang diprakirakan lebih ketat terjadi pada jenis kredit investasi, sementara jenis kredit lainnya terindikasi tidak lebih ketat dibandingkan triwulan sebelumnya.

Berdasarkan aspek kebijakannya, penyaluran kredit yang diprakirakan lebih ketat antara lain plafon kredit, suku bunga kredit, dan premi kredit berisiko. Untuk Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada triwulan I 2025 diprakirakan melambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.

Perlambatan tersebut terindikasi dari pertumbuhan DPK sebesar SBT 68,8 persen, lebih rendah dibandingkan 89,3%, pada triwulan sebelumnya. "Perlambatan pertumbuhan DPK diperkirakan terjadi pada seluruh jenis instrumen, baik tabungan (SBT 63,8 persen), giro (SBT 73,2 persen) maupun deposito (SBT 80,1 persen)," pungkasnya.

 

Bank Indonesia Tahan Bunga Acuan 5,75% pada Februari 2025

Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) resmi mempertahankan suku bunga acuan, atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen. Kebijakan itu diumumkan dalam sesi konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia Februari 2025, Rabu (19/2/2025).

Ketetapan Bank Indonesia ini didapat setelah jajaran petinggi bank sentral melakukan rapat bersama selama dua hari pada 18-19 Februari 2025.

"Berdasarkan hasil asesmen dan proyeksi menyeluruh, rapat dewan gubernur Bank Indonesia pada tanggal 18-19 Februari 2025 memutuskan untuk mempertahankan BI-rate sebesar 5,75 persen," ujar Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo.

Selain suku bunga acuan, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Februari 2025 juga menahan suku bunga deposit facility di kisaran 5 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 6 persen.

"Keputusan ini konsisten dengan upaya menjaga agar perkirakan inflasi 2025 dan 2026 tetap terkendali dalam sasaran pemerintah, yaitu 2,5 plus minus 1 persen," imbuh Perry.

Menurut dia, stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental, di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati prospek ekonomi dan pertumbuhan ekonomi dalam memanfaatkan ruang penurunan suku bunga BI-rate, dengan mempertimbangkan pergerakan nilai tukar rupiah," tuturnya.

Buka Ruang Penurunan

Sebelumnya, Perry juga telah menekankan, penurunan suku bunga acuan BI-rate masih terbuka lebar pada 2025.

Keputusan ini konsisten dengan tetap rendahnya prakiraan inflasi 2025 dan 2026 yang terkendali dalam sasaran 2,5±1 persen, terjaganya nilai tukar Rupiah yang sesuai dengan fundamental untuk mengendalikan inflasi dalam sasarannya, dan perlunya upaya untuk turut mendorong pertumbuhan ekonomi.

Perry menjelaskan, dalam mengambil keputusan mengenai penurunan suku bunga, Bank Indonesia memperhatikan tiga faktor utama yakni perkiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nilai tukar. Ketiga faktor ini saling berkaitan dan mempengaruhi langkah kebijakan moneter yang akan diambil oleh BI.

"Dalam menentukan BI Rate kita akan melihat bagaimana, satu, perkiraan inflasi ke depan. Kedua, bagaimana kita melihat tujuan bersama mendorong pertumbuhan supaya 5,2 persen tahun ini bisa tercapai. Ketiga, kami melihat stabilitas nilai tukar. Tiga hal itu utamanya kita lihat," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers KSSK, di Kementerian Keuangan, Jakarta pada Januari 2025.

 

 

Dasar Pertimbangan

Adapun pertimbangan pertama, adalah inflasi yang diperkirakan tetap rendah. Bank Indonesia memperkirakan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) pada akhir 2024 sekitar 2,7 persen, dengan inflasi inti yang diperkirakan berada di angka 2,6 persen.

Inflasi yang terjaga ini akan memberikan ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga lebih lanjut, tanpa harus khawatir akan lonjakan harga yang bisa mengganggu daya beli masyarakat.

"Dari pertimbangan ini kenapa ruang penurunan suku bunga itu terbuka," ujarnya.

Pertimbangan kedua adalah mendukung pertumbuhan ekonomi. Pemerintah dan Bank Indonesia bersama-sama berupaya mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia agar mencapai target 5,2 persen pada 2024.

Dalam konteks ini, penurunan suku bunga dianggap dapat memberikan stimulus tambahan bagi sektor riil, mendorong investasi, serta memperkuat konsumsi domestik.

"Kami semua dari fiskal, moneter, dan OJK tidak hanya menjaga stabilitas sistem keuangan, tapi juga bersama mendorong pertumbuhan supaya pertumbuhan 5,2 persen bisa didorong. Dalam konteks ini kenapa ruang penurunan suku bunga ini perlu turut mendorong pertumbuhan ekonomi," ujar dia.

Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global
Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya