Liputan6.com, Jakarta Kebijakan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan WIUP secara prioritas kepada entitas di luar BUMN dan BUMD dinilai tidak sesuai dan tidak sejalan dengan konsep penguasaan negara sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Chairman Indonesia Mining Institute, Irwandy Arif mengatakan, UU Minerba dan perubahannya yang berlaku selama ini tetap mempertahankan skema penawaran WIUPK secara prioritas kepada BUMN dan BUMD, namun juga membuka ruang bagi swasta melalui mekanisme lelang.
Baca Juga
“Sementara itu, dalam RUU Minerba terbaru, terdapat perubahan signifikan dengan diperkenalkannya skema penawaran WIUP dan WIUPK secara prioritas kepada organisasi keagamaan, perguruan tinggi, dan UMKM. Kebijakan ini berpotensi mengurangi dominasi negara dalam pengelolaan tambang dan menggesernya ke arah liberalisasi pertambangan, bersifat diskriminatif, melemahkan prinsip transparansi dan akuntabilitas, serta bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945,” ujar dia, seperti dikutip Jumat (21/2/2025).
Advertisement
Pemberian WIUP ini menjadi salah satu disoroti dalam diskusi yang digelar DeHeng ARKO Law Office (ARKO Law) bersama Indonesia Mining Institute (IMI) dengan topik “Perubahan UU Minerba: Urgensi atau Ambisi?” beberapa waktu lalu.
Ada beberapa pokok pikiran yang menjadi catatan utama dari diskusi tersebut, dimulai dari pembahasan hak menguasai negara sebagai prinsip fundamental, dinamika regulasi dan liberalisasi pertambangan, risiko terhadap tata kelola sumber daya alam, pembelajaran dari praktek pertambangan global, pemberian prioritas pada perguruan tinggi dan UMKM, serta proses dan mekanisme penyusunan RUU Minerba.
Pasal 33 UUD 1945 mengandung jiwa dan semangat nasionalisme yang diwujudkan melalui prinsip penguasaan negara yang meliputi lima fungsi, yaitu kebijakan, pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan.
Perwujudan penguasaan negara tersebut dalam praktiknya dilakukan dengan cara pengurusan melalui BUMN dan BUMD. Sehingga, pengelolaan langsung oleh negara melalui BUMN dan BUMD dianggap sebagai mekanisme paling optimal untuk memastikan manfaat ekonomi tetap dalam kendali negara.
Seperti diketahui, Pemerintah akhirnya mengesahkan Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa, 18 Februari 2025. Proses revisi ini tergolong cepat karena hanya berlangsung kurang dari sebulan. Proses pembahasan dimulai di Badan Legislasi pada 20 Januari 2025 dan resmi disahkan pada 18 Februari 2025.
Sejumlah Risiko
Para peserta yang hadir meliputi praktisi pertambangan, asosiasi, perwakilan pemerintah dan perguruan tinggi melihat dari perspektif tata kelola sumber daya alam, kebijakan ini dianggap menimbulkan sejumlah risiko. Pemberian izin kepada entitas non-pemerintah berpotensi membuka ruang bagi kepentingan politik serta menggeser kontrol negara menuju liberalisasi.
Selain tak sejalan dengan semangat Pasal 33 UUD 1945, usulan ini juga berisiko menurunkan efektivitas pengelolaan tambang, meningkatkan eksploitasi berlebihan, mengakibatkan kerusakan lingkungan, dan mengurangi penerimaan negara.
Pergeseran dari peran negara sebagai pengelola utama menjadi fasilitator izin bagi entitas swasta atau non-komersial berpotensi melemahkan kedaulatan ekonomi atas sumber daya strategis.
Eva Ermila Djauhari, Senior Partner RAKO Law, memandang bahwa regulasi pertambangan nasional telah cukup matang, sehingga pelonggaran standar izin bagi entitas non-komersial justru kontraproduktif dan melemahkan tata kelola dan kredibilitas sektor ini.
“Para peserta yang juga adalah tokoh pertambangan melihat bahwa seharusnya, pembentukan kebijakan oleh pemerintah berfokus untuk memastikan eksplorasi dan eksploitasi dilakukan oleh entitas berkompeten dengan pengawasan ketat, bukan memperluas akses izin tanpa mitigasi risiko,”ungkapnya.
Pemerintah juga didorong untuk berkaca pada praktik di negara lain. Dijelaskan bahwa partisipasi lembaga non-komersial dalam pertambangan lebih berbasis pada investasi pasif daripada operasional langsung, dengan menerapkan standar teknis yang ketat, serta menekankan prinsip keberlanjutan, optimalisasi manfaat ekonomi, dan regulasi ketat untuk meminimalkan dampak sosial dan lingkungan.
Advertisement
Jadi Sorotan
Kebijakan penawaran WIUP secara prioritas kepada UMKM, Koperasi dan perguruan tinggi disoroti karena meski kemudian untuk ke Perguruan Tinggi akhirnya tidak jadi diberikan konsesi.
Salah satu yang menjadi titik fokus terkait keterbatasan modal dan keahlian dalam pengelolaan tambang pada UMKM dan koperasi juga menjadi faktor yang dapat menghambat efektivitas implementasi usulan kebijakan ini.
Daripada terlibat langsung dalam operasional pertambangan, UMKM dan perguruan tinggi lebih disarankan untuk berperan sebagai mitra, misalnya bagi perguruan tinggi dapat berperan dalam riset dan pengembangan teknologi pertambangan melalui skema seperti Teaching Factory.
Kemudian, terkait proses dan mekanisme penyusunan RUU Minerba, para pemangku kepentingan yang hadir menilai bahwa penyusunan RUU Minerba dinilai berlangsung dengan cepat dan minim partisipasi publik.
“Proses legislasi yang ideal seharusnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri dan masyarakat sipil, untuk menghasilkan regulasi yang mampu menjawab tantangan sektor pertambangan secara efektif dan komprehensif,” terang dia.
Dia menambahkan keterlibatan publik juga memungkinkan adanya masukan konstruktif yang dapat memperkuat substansi regulasi serta meningkatkan legitimasi kebijakan. Publikasi rancangan regulasi dan Naskah Akademik secara resmi merupakan langkah penting dalam membangun proses legislasi yang partisipatif, transparan, dan berbasis bukti.
