Empat kardus besar daging sapi impor tertata rapi di depan lapak salah satu pedagang daging, Amat (23). Daging asal Australia seberat 27,22 kilogram (kg) untuk setiap kardus itu siap dikirim ke sebuah pengusaha katering di daerah Cengkareng, Jakarta Barat.
Usut punya usut, kata Amat, daging impor tersebut bukan berasal dari Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Seperti diketahui, Bulog ditunjuk pemerintah untuk mengimpor daging sapi sebanyak 3.000 ton sampai dengan akhir tahun ini.
"Bukan dari Bulog. Kami tidak senang menjual daging dari Bulog. Kami beli dari distributor besar resmi daging impor setelah diambil dari Bea dan Cukai, seperti Indoguna," ungkap dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Pasar Senen, Jakarta, Rabu (14/8/2013).
Lebih jauh Amat menjelaskan, pihaknya tidak berniat menjual daging Bulog karena beda kemasan. Daging impor dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini sudah datang dengan kemasan per kg, sedangkan daging dari distributor berbentuk utuh. Sehingga bisa dipotong sesuai keinginan dan selera pembeli.
"Dari rasa dan kualitas antara daging Bulog dengan distributor juga berbeda. Lebih enak daging impor distributor karena harganya lebih mahal atau selisih Rp 10 ribu per kilo. Harga daging Bulog sebesar Rp 75 ribu, kalau dari distributor kami jual Rp 85 ribu setiap kg," tukasnya.
Meski begitu, Amat juga menjual daging impor distributor itu kepada konsumen lain, seperti ibu rumah tangga, rumah makan (warteg) yang hanya membeli 1-2 kg.
Dalam sehari, dia mengaku bisa menjual daging impor sekitar puluhan kg. "Penjualan daging impor per hari mencapai 20 kg, tapi bukan daging Bulog," tegasnya.
Senada, pedagang daging lain di Pasar Senen, Jejen (35) menambahkan, lebih senang menjual daging sapi lokal ketimbang daging impor dari Australia. Pasalnya, daging lokal jauh lebih enak dibandingkan daging impor.
"Beli daging impor satu kali, konsumen langsung kapok karena pas daging impor (Bulog) beku cair, ternyata pas ditimbang beratnya tidak sampai 1 kg karena susut 1-2 ons," pungkas dia. (Fik/Ndw)
Usut punya usut, kata Amat, daging impor tersebut bukan berasal dari Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Seperti diketahui, Bulog ditunjuk pemerintah untuk mengimpor daging sapi sebanyak 3.000 ton sampai dengan akhir tahun ini.
"Bukan dari Bulog. Kami tidak senang menjual daging dari Bulog. Kami beli dari distributor besar resmi daging impor setelah diambil dari Bea dan Cukai, seperti Indoguna," ungkap dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Pasar Senen, Jakarta, Rabu (14/8/2013).
Lebih jauh Amat menjelaskan, pihaknya tidak berniat menjual daging Bulog karena beda kemasan. Daging impor dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini sudah datang dengan kemasan per kg, sedangkan daging dari distributor berbentuk utuh. Sehingga bisa dipotong sesuai keinginan dan selera pembeli.
"Dari rasa dan kualitas antara daging Bulog dengan distributor juga berbeda. Lebih enak daging impor distributor karena harganya lebih mahal atau selisih Rp 10 ribu per kilo. Harga daging Bulog sebesar Rp 75 ribu, kalau dari distributor kami jual Rp 85 ribu setiap kg," tukasnya.
Meski begitu, Amat juga menjual daging impor distributor itu kepada konsumen lain, seperti ibu rumah tangga, rumah makan (warteg) yang hanya membeli 1-2 kg.
Dalam sehari, dia mengaku bisa menjual daging impor sekitar puluhan kg. "Penjualan daging impor per hari mencapai 20 kg, tapi bukan daging Bulog," tegasnya.
Senada, pedagang daging lain di Pasar Senen, Jejen (35) menambahkan, lebih senang menjual daging sapi lokal ketimbang daging impor dari Australia. Pasalnya, daging lokal jauh lebih enak dibandingkan daging impor.
"Beli daging impor satu kali, konsumen langsung kapok karena pas daging impor (Bulog) beku cair, ternyata pas ditimbang beratnya tidak sampai 1 kg karena susut 1-2 ons," pungkas dia. (Fik/Ndw)