PT Bank Mandiri Tbk menilai penetapan subsidi tetap pada skema bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jauh lebih hemat ketimbang melalui skema kenaikan harga. Perbandingannya bahkan ada selisih penghematan sekitar Rp 4 triliun antar kedua skema tersebut.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti mengungkapkan, skema kenaikan harga pada subsidi BBM selalu mengalami kendala terkait depresiasi nilai tukar rupiah. Artinya pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS akan menggelembungkan anggaran subsidi BBM dalam postur APBN.
"Akhirnya defisit anggaran dari target 2,2% terhadap PDB menjadi 2,4%-2,5% karena depresiasi nilai tukar rupiah yang sudah mencapai 26%. Jadi solusinya subsidi tetap lebih baik daripada menaikkan harga BBM," terang dia di Jakarta, Jumat (20/12/2013).
Destry menghitung, target konsumsi BBM bertumbuh 7% menjadi 51,4 juta kiloliter (kl) pada 2014. Sedangkan volume BBM subsidi tahun ini diperkirakan 48 juta kl. Harga keekonomian BBM (baik karena minyak dunia naik atau depresiasi rupiah) naik 10% dari saat ini Rp 10.500 per liter. Dan harga BBM subsidi di pasar Rp 6.500 per liter.
"Dengan selisih harga Rp 4.000 per liter dikalikan dengan hasil pengurangan konsumsi BBM subsidi, maka didapatkan tambahan beban subsidi tahun depan sebesar Rp 13,6 triliun," ujarnya.
Sementara jika melalui skema kenaikan harga misalnya 5% dari harga keekonomian menjadi Rp 11.550, konsumsi naik menjadi 51,4 juta kl, maka perhitungan mengarah pada membengkaknya anggaran subsidi mencapai Rp 17,2 triliun di tahun depan.
"Ada selisih Rp 4,4 triliun yang bisa dihemat pemerintah jika menggunakan skema subsidi tetap. Penghematan itu bisa untuk membangun double track (jalur ganda) Jakarta-Surabaya," kata Destry.
Dia menyebut, kelebihan skema subsidi tetap adalah pemerintah dapat dengan mudah menganggarkan besaran subsidi di tahun-tahun berikutnya dengan asumsi jumlah konsumsi BBM.
"Tapi juga ada kekurangannya yakni masih dipengaruhi fluktuasi harga BBM bersubsidi yang membuat inflasi lebih sulit diprediksi," pungkasnya. (Fik/Ndw)
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti mengungkapkan, skema kenaikan harga pada subsidi BBM selalu mengalami kendala terkait depresiasi nilai tukar rupiah. Artinya pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS akan menggelembungkan anggaran subsidi BBM dalam postur APBN.
"Akhirnya defisit anggaran dari target 2,2% terhadap PDB menjadi 2,4%-2,5% karena depresiasi nilai tukar rupiah yang sudah mencapai 26%. Jadi solusinya subsidi tetap lebih baik daripada menaikkan harga BBM," terang dia di Jakarta, Jumat (20/12/2013).
Destry menghitung, target konsumsi BBM bertumbuh 7% menjadi 51,4 juta kiloliter (kl) pada 2014. Sedangkan volume BBM subsidi tahun ini diperkirakan 48 juta kl. Harga keekonomian BBM (baik karena minyak dunia naik atau depresiasi rupiah) naik 10% dari saat ini Rp 10.500 per liter. Dan harga BBM subsidi di pasar Rp 6.500 per liter.
"Dengan selisih harga Rp 4.000 per liter dikalikan dengan hasil pengurangan konsumsi BBM subsidi, maka didapatkan tambahan beban subsidi tahun depan sebesar Rp 13,6 triliun," ujarnya.
Sementara jika melalui skema kenaikan harga misalnya 5% dari harga keekonomian menjadi Rp 11.550, konsumsi naik menjadi 51,4 juta kl, maka perhitungan mengarah pada membengkaknya anggaran subsidi mencapai Rp 17,2 triliun di tahun depan.
"Ada selisih Rp 4,4 triliun yang bisa dihemat pemerintah jika menggunakan skema subsidi tetap. Penghematan itu bisa untuk membangun double track (jalur ganda) Jakarta-Surabaya," kata Destry.
Dia menyebut, kelebihan skema subsidi tetap adalah pemerintah dapat dengan mudah menganggarkan besaran subsidi di tahun-tahun berikutnya dengan asumsi jumlah konsumsi BBM.
"Tapi juga ada kekurangannya yakni masih dipengaruhi fluktuasi harga BBM bersubsidi yang membuat inflasi lebih sulit diprediksi," pungkasnya. (Fik/Ndw)