HSBC: 2014, Tahun Terbaik Mata Uang Negara Berkembang?

Sepanjang 2013, mata uang negara berkembang menjadi korban dari kepanikan investor asing.

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 19 Feb 2014, 14:03 WIB
Diterbitkan 19 Feb 2014, 14:03 WIB
hsbc-pangkas130104a.jpg
Mata uang negara berkembang yang terpuruk pada 2013 bakal berubah nasib di tahun ini. Salah satu perusahaan jasa finansial dan perbankan terbesar di dunia, HSBC Bank Plc memperkirakan para investor bakal kembali melirik melirik mata uang calon negara-negara besar ini.

Sejak pertengahan tahun lalu, aksi jual para investor asing memang telah menyebabkan mata uang di negara-negara berkembang melemah parah. Seiring berlalunya kekhawatiran penghentian stimulus The Federal Reserves, volatilitas mata uang negara berkembang masih cenderung rendah. Imbasnya, negara-negara berkembang dapat menikmati likuiditas global yang melimpah.

"Pasar keuangan di negara-negara berkembang masih harus menghadapi beberapa penyesuaian ke depan. tapi kami yakin koreksi nilai tukar mata uang banyak negara berkembang telah selesai," ungkap riset HSBC seperti dikutip laman CNBC, Rabu (19/2/2014).

Aksi The Fed menarik dana stimulusnya masing-masing sebesar US$ 10 miliar pada Desember 2013 dan Januari lalu telah menjadi pemicu utama penarikan dana di kalangan investor. HSBC mengakui keputusan The Fed ini telah menyebabkan aksi jual yang melemahkan lima mata uang di negara berkembang seperti rupiah (Indonesia), rupee (India), real (Brasil), Lira (Turki), dan rand (Afrika Selatan).

Kelima mata uang tersebut telah melemah sekitar 10%-20% sejak tahun lalu saat isu penarikan stimulus The Fed mulai mencuat ke permukaan.

Para investor khawatir, berkurangnya likuditas di pasar keuangan mengancam munculnya pembengkakan defisit transaksi berjalan dari negara berkembang tersebut.  Namun HSBC memperkirakan neraca keuangan The Fed akan melebar pada 2014 dengan laju pertumbuhan yang lebih lamban dari sebelumnya.

Di tengah kembalinya investor aisng di pasar keuangan nasional. CEO Philadelphia Trust Company Mike Crofton justru mengambil posisi pesimistis. Menurutnya, pasar keuangan di negara-negara berkembang masih rapuh.

Selain itu, sejumlah masalah pertumbuhan ekonomi di China dan Eropa dikhawatirkan dapat mempengaruhi stabilitas pasar keuangan di negara berkembang.

"Saya rasa negara-negara berkembang masih tersandung sejumlah masalah. Momentum saat ini telah berbalik menyerang negara-negara berkembang. Masih banyak juga ketidakpastian arah dan perluasan ekonomi di negara berkembang. Banyak sekali isu berbahaya bagi mata uang di negara-negara berkembang," kata dia.(Sis/Shd)

Baca juga:

Pemilu Bikin Ekonomi Negara Berkembang Rapuh?

Indonesia Bisa Bangkrut dalam 10 Tahun?

Rupiah Paling Perkasa Diantara Mata Uang Negara Berkembang

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya