[KOLOM] Mau Apa Setelah Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden?

Setelah enam bulan mati suri, gempita sepak bola nasional bergeliat. Beberapa stadion megah, kembali diramaikan dengan gemuruh penonton.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Okt 2015, 07:04 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2015, 07:04 WIB
Hanif Marjuni
KOLOM Hanif Marjuni

Liputan6.com, Jakarta - Setelah enam bulan mati suri, gempita sepak bola nasional bergeliat. Beberapa stadion megah di tanah air, kembali diramaikan dengan gemuruh sorak sorai penonton. Ribuan pebola pun bungah bukan kepalang. Aktivitas rutin yang biasa mereka lakoni selama ini, bisa dirasakan kembali.

Tim-tim Divisi Utama bisa unjuk gigi di turnamen Piala Kemerdekaan, September lalu. Sekali pun masih banyak kekurangan di penyelenggaraannya, hajatan itu sanggup melejitkan klub-klub yang selama ini tak pernah bisa bersaing di level nasional. Contohnya, finalis Persenga Ngawi.  

Sementara, klub-klub Indonesian Super League (ISL) lebih beruntung. Mereka bisa berlaga di sebuah turnamen besar yang bertajuk Piala Presiden. Sampai dengan babak semifinal, hajatan yang digulirkan September-Oktober itu mendapatkan animo yang luar biasa. Selain pertandingan kerap disesaki penonton, rating share televisi pun tinggi. Konon, angkanya jauh di atas rating sinetron yang kerap menjadi jualan utama industri televisi.

Pelaku di second line juga merasakan keuntungan serupa. Para pedagang kecil di sekeliling stadion bungah karena bisa menyambung hidup. Dalam skala yang lebih besar, hotel, biro perjalanan, atau bisnis lain di kota penyelenggara pertandingan, ikut merasakan keuntungan yang sama.

Hanya saja, fenomena itu sepertinya tak akan berlangsung lama. Semuanya masih abu-abu. Hal tersebut disebabkan belum adanya kepastian bahwa kompetisi resmi akan segera digulirkan. Semuanya tergantung kebijakan pemerintah.
Sebagai regulator kompetisi, PT Liga Indonesia sejatinya sudah merancang kompetisi lanjutan. Baik itu di level kontestan ISL atau Divisi Utama. Bahkan, level amatir pun, sudah dipikirkan.

Namun semuanya bertepuk sebelah tangan. Pemerintah, dalam hal ini Kemenpora, belum juga melunak. Selama masih ada pembekuan PSSI, selama itu pula sepak bola di bawah PSSI tak diizinkan bernapas. Itu artinya semua aktivitas yang berbau PSSI, haram untuk diadakan.

Apesnya lagi, koar-koar Menpora yang mengklaim akan menunjukkan tata kelola sepak bola yang benar, ternyata masih sebatas bualan belaka. Sejak April 2015, tidak ada gebrakan Menpora dengan Tim Transisi-nya yang bisa membuat situasi sepak bola Indonesia ke arah yang lebih baik. Di sisi lain, publik pun mulai jengah. Kinerja tim transisi dinilai minor.

Jika sudah begini, usai Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden, akan dibawa kemana sepak bola negeri ini? Akankah masyarakat akan tetap disuguhi dengan ‘panggung drama’ orang-orang yang sejatinya tak pernah paham dengan tata kelola sepak bola?

Bukan Cuma Turnamen

Banyak yang menyayangkan jika aktivitas sepak bola akan terhenti usai perhelatan Piala Kemerdekaan dan Piala Presiden. Bagaimana pun situasinya, harus ada langkah jitu yang bisa melanjutkan momentum saat ini.

Muncul isu bahwa ada pihak ketiga yang bersedia menggulirkan turnamen sejenis. Turnamen itu bisa diikuti tim-tim ISL yang terbukti lebih menjual atau klub-klub tenar dari level Divisi Utama. Di luar Pulau Jawa, rumornya, akan dimunculkan turnamen yang pesertanya klub-klub regional.

Di tengah situasi sepak bola nasional yang tak menentu, semua rencana itu diyakini akan mendapatkan sambutan positif. Hal itu dikarenakan ada kesempatan bagi pelaku untuk bisa tetap merumput. Dan, ada hiburan berkualitas bagi pecinta sepak bola nasional.

Akan tetapi, itu saja belum cukup. Tetap butuh langkah kongret untuk bisa digulirkannya kompetisi reguler. Masyarakat butuh kompetisi yang kontinu (tidak lagi direcoki izin keamanan,Red) dan bukan lagi sekadar turnamen.

Khusus yang satu ini, Menpora-lah yang berperan besar. Pilihannya, bersikukuh dengan pola lama yang terbukti stagnan atau mau membuka diri dengan keinginan semua klub-klub profesional di tanah air. Dengan kata lain, Menpora sebaiknya memberi izin dihelatnya kompetisi ISL dan turunannya di 2016 nanti atau mencabut pembekuan PSSI.

Ingat, jika diizinkan pun, kompetisi tak bisa digelar secara instan. Klub perlu waktu yang tak sedikit guna mempersiapkan semuanya. Minimal dua-tiga bulan! Itu estimasi minim bagi klub untuk membentuk kerangka tim, mencari pendanaan, atau persiapan di infrastruktur. Belum lagi persiapan yang harus dilakukan regulator kompetisi. Misalnya penjadwalan hingga pada verifikasi kesiapan klub. Semua butuh waktu yang lama.

Jika kompetisi resmi kembali bergulir dan sanksi FIFA dicabut, ada keuntungan lain yang lebih besar. Yakni kembalinya timnas. Praktis sejak pembekuan PSSI, Merah Putih absen di level internasional.    

Sekadar informasi, November-Desember 2016 akan ada Piala AFF yang selalu ditunggu pecinta bola negeri ini. Jika saja sampai pertengahan tahun depan pembekuan PSSI belum dicabut, maka alamat Merah Putih tak bisa mengikuti turnamen antarnegara ASEAN tersebut.

Jika benar-benar terjadi, inilah untuk pertama kalinya Indonesia absen di Piala AFF. Tentu sangat ironis. Ketidakhadiran itu bukan karena tidak lolos kualifikasi atau alasan teknis yang lain. Tapi karena friksi di dalam negeri.

Ekonomi dan Pemersatu

Terkait tuntutan segera digulirkannya kompetisi reguler, ada baiknya pemerintah mencermati sejarah panjang sepak bola di Indonesia. Patut diketahui, sepak bola tak melulu urusan olahraga atau fun. Tapi lebih dari itu, sepak bola telah memengaruhi segala sendi kehidupan masyarakat. Termasuk perekonomian dan patriotisme.

Seperti yang dikisahkan dalam perjalanan panjang PSSI, sepak bola selalu berhubungan erat dengan ekonomi rakyat.
Semua berawal dari ekonomi Eropa yang sempat merosot tajam pada tahun 1920-an. Hal itu berdampak pada income Belanda yang tergantung pada hasil bumi Indonesia. Di masa panceklik itu, sepak bola muncul sebagai penghibur. Alhasil, Londo tak kurang akal. Sepak bola pun diarahkan ke komersil.

Di laga fiendly match di Bandung pada tahun 1922, misalnya. Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) –  federasi sepak bola Hindia Belanda – meraup keuntungan mencapai 12 ribu golden dari sekitar 12 ribu penonton yang hadir ketika itu.

Dua tahun kemudian, Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB) atau cikal bakal Persis Solo tak mau kalah. Mereka berhasil menggalang dana hingga Rp 32 ribu dari sebuah turnamen sepak bola. Berbeda dengan NIVB yang keuntungannya diambil sendiri, VVB menggunakan duit yang terkumpul untuk kegiatan pasar malam pelajar. Menghitung jumlahnya, memang tak besar. Tapi sudah bisa dijadikan bukti bahwa sepak bola bisa menjadi pemantik bagi perekonomian yang lain.

Kisah membanggakan muncul dari perintis PSSI, Soeratin. Kali ini kisah itu terkait erat antara sepak bola, totalitas, dan patriotisme.

Bergelar insinyur sipil dari Jerman, Soeratin kembali ke tanah air pada 1928. Gaji tinggi yang mencapai 1000 Gulden dari perusahaan belanda yang bernama Bouwkundig Bureu Sitsen en Lausada tak membuatnya lupa daratan. Dia menyadari, harus tetap bisa mengabdi pada bumi pertiwi.

Pada 19 April 1930, Soeratin mendirikan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia  atau yang sekarang dikenal PSSI. Soeratin meyakini lewat sepak bola, dia bisa menyatukan pemuda seluruh bangsa dan melawan penjajah. Ide dan langkah itu dilakukan Soeratin lantaran dia beranggapan butuh strategi yang tepat untuk meladeni politik pecah belah Belanda atau yang dikenal devide et impera.

Gayung bersambut. Dalam kongres pertama PSSI, Soeratin yang akhirnya terpilih sebagai ketua umum pertama, sanggup mengumpulkan tujuh perwakilan organisasi sepak bola dari penjuru negeri.

Mereka adalah VIJ Jakarta (Voetbalbond Indonesche Jakarta), IVBM (Indonesche Voetbalbond Magelang), MVB (Makassar Voetbal Bond), PSIM (Yogyakarta), BIVB Bandung (Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond), VVB (Vorstenlandsche Voetbal Bond), dan SIVB (Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond). Dalam perjalanannya, sepak bola dan PSSI pun, sanggup menjadi bagian penting dari perlawanan negeri ini terhadap penjajah Londo.

Benar. Bahwa situasi saat ini memang berbeda dengan awal berdirinya PSSI atau zaman Soeratin. Tapi, diakui atau tidak, dalam sejarah panjangnya, sepak bola telah menjadi alat perjuangan yang efektif.  Dan, bukan sebagai alat untuk memecah belah bangsa.

Karena itu, di tengah polemik perekonomian nasional, nilai tukar dolar yang tinggi dan ancaman PHK massal, barangkali sepak bola bisa menjadi salah satu ‘obat manjur’ bagi sakitnya negeri ini.
Semoga.

Hanif Marjuni
Pemerhati Sepak Bola

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya