Liputan6.com, Jakarta - Sungguh malang nasib Marco Reus. Impiannya bermain di Piala Eropa 2016 harus dikubur dalam-dalam. Selasa (31/05/2016), dia termasuk dalam empat nama yang dicoret pelatih timnas Jerman, Joachim Loew. Pencoretan itu terasa meyesakkan karena bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-27.
Baca Juga
- Alves Gabung Juventus, Barcelona Sudah Dapat Pengganti
- Inggris Calon Kuat Juara Piala Eropa
- Tiara/Rizki Beber Resep Hajar Juara Olimpiade di Indonesia Open
Hati Reus tentu remuk redam. Dua tahun lalu, dia juga mengalami hal serupa. Gara-gara cedera pada uji tanding kontra Armenia, dia urung berangkat ke Brasil, tempat gelaran Piala Dunia 2014.
Dia pun gagal tercatat sebagai juara dunia. Kostum yang dibentangkan sahabatnya, Mario Goetze, saat perayaan juara, tetap saja tak berarti karena dia tak menggenggam medali tanda sahih sang peraih trofi.
Seperti dua tahun lalu, cedera pula yang menggagalkan langkah Reus ke Prancis kali ini. Peradangan otot pangkal paha dinyatakan tim dokter Jerman tak akan pulih selama gelaran Piala Eropa. Saat konferensi pers pencoretan Reus, Karim Bellarabi, Sebastian Rudy, dan Julian Brandt, Loew mengatakan, Reus hanya bisa berlari lurus.
Sehari usai pencoretan itu, Marcus Sorg, asisten Loew, menyatakan bahwa problem yang dialami Reus telah berlangsung lama. Dalam beberapa bulan terakhir, eks penggawa Borussia Moenchengladbach itu memang menjalani terapi khusus di bawah pengawasan dokter spesialis asal Belanda, Hub Westhovens.
Advertisement
Ruhr Nachrichten menengarai cedera bintang Borussia Dortmund tersebut “kambuh” gara-gara pertandingan final DFB Pokal melawan Bayern Muenchen yang alot dan harus berlangsung 120 menit.
“Dengan cedera seperti itu, asalkan bisa mengontrol rasa sakit, Anda akan tetap bisa bermain. Namun, itu berisiko memperburuk kondisi,” jelas eks dokter sebuah klub Bundesliga yang tak disebutkan namanya.
Lebih jauh, sang dokter mengatakan, cedera seperti yang dialami Reus susah diprediksi. “Sulit mendiagnosisnya. Satu hal yang pasti, dibutuhkan waktu (pemulihan) beberapa pekan atau bahkan beberapa bulan,” terang dia lagi.
Sepanjang musim 2015-16, berdasarkan catatan Transfermarkt.de, setidaknya empat kali cedera itu dialami Reus. Peradangan yang kian kronis sangat mungkin dipicu oleh putusannya tak mengambil istirahat panjang. Paling lama, dia hanya absen selama 17 hari.
Makin Rawan
Cedera memang risiko yang harus dihadapi setiap pesepak bola. Seiring makin banyaknya pertandingan yang harus dijalani setiap musim, risiko itu tentu saja meningkat. Bukan hanya karena potensi benturan yang bertambah, melainkan juga karena pendeknya masa recovery.
Usai Piala Dunia, Loew sempat berujar, "Beban para pemain saat ini kian berat. Tuntutan klub di liga domestik dan Liga Champions sangat tinggi. Mereka butuh waktu istirahat yang cukup."
Sebagai contoh, sepanjang 2015-16, Dortmund melakoni 56 laga di semua kompetisi resmi yang diikuti. Bila ditambah uji tanding saat pramusim dan jeda musim dingin, itu bertambah menjadi 66 pertandingan. Sementara itu, timnas Jerman melakoni 10 laga. Artinya, bila tak pernah absen, Reus akan tampil 76 kali hingga jelang Piala Eropa. Itu artinya, rata-rata dia tampil setiap lima hari sekali.
Hal serupa juga dihadapi para pemain bintang lainnya yang membela klub-klub teras Eropa. Termasuk mayoritas pemain yang akan berjibaku di Piala Eropa nanti. Setidaknya, mereka harus melakoni 50 hingga 60 laga setiap musimnya.
Sejatinya, karena digelar usai kompetisi domestik di mayoritas negara Eropa, Piala Eropa adalah ajang unjuk kemampuan terbaik para bintang. Namun, dengan energi yang telah terkuras, rasanya kian sulit melihat hal itu terwujud.
Sulit berharap penampilan-penampilan istimewa karena para pemain datang hanya dengan sisa-sisa kekuatan. Jadwal padat klub membuat mereka bak robot-robot yang kehabisan baterai.
Itu tak bisa dibantah. Tengok saja laga final DFB Pokal yang dilakoni Reus lalu. Dalam laga tersebut, Franck Ribery harus meninggalkan lapangan sambil menyeret kakinya. Lalu, Pierre-Emerick Aubameyang mengalami kejang otot usai menunaikan tugasnya sebagai algojo dalam adu penalti.
Di Piala Eropa nanti, karena antusiasme dan euforia yang tercipta, performa ciamik para bintang dan tim-tim favorit masih mungkin tersuguh pada laga-laga awal. Namun, berharap mereka menunjukkan konsistensi performa hingga final sepertinya terlalu berlebihan. Apalagi berharap pertarungan sengit di final.
Patut dicatat, untuk mengangkat Trofi Henry Delaunay, sebuah tim harus melakoni tujuh laga. Sebagai konsekuensi penambahan peserta dari 16 menjadi 24 tim, ada tambahan satu fase, yakni babak 16 besar.
Sebelumnya, dari 1996 hingga 2012, sebuah tim cukup menjalani enam laga untuk juara. Sebelum 1996, tim juara bahkan hanya cukup menjalani lima pertandingan. Tiga di fase grup, satu di semifinal, dan satu di final.
Tuntutan Bisnis
Pertambahan peserta juga secara otomatis membuat gelaran Piala Eropa berlangsung lebih lama. Untuk edisi tahun ini, waktu penyelenggaraan tepat sebulan. Itu satu minggu lebih lama dibanding penyelenggaraan tahun 1996 hingga 2012. Bahkan, dari 1980 hingga 1992, putaran final Piala Eropa berlangsung setengah bulan saja.
Itu artinya, masa libur yang juga fase recovery pemain kian terpangkas. Ambil contoh Bayern. Berdasarkan jadwal pramusim yang telah dirilis pada Mei lalu, para pemain harus kembali berkumpul di Saebener Strasse pada 11 Juli. Itu hanya sehari usai final Piala Eropa.
Bagi pemain yang timnya masuk final, memang ada toleransi. Namun, itu pun dengan konsekuensi. Begitu kembali, mereka harus langsung beradaptasi dengan proses persiapan yang sudah berjalan. Mereka dituntut untuk bisa langsung “panas”.
Bercermin pada 2014, para pemain yang menjalani final dan perebutan peringkat ke-3 Piala Dunia hanya punya waktu sepekan sebelum laga Piala Super Jerman. Hal serupa sepertinya berlaku pula di klub-klub teras Eropa lainnya.
Keterlambatan para pilar dalam masa persiapan tersebut tentu saja tidaklah positif. Terutama bagi yang memiliki pelatih baru. Proses adaptasi antara para pemain dan pelatih jadi terganggu. Pelatih pun tak punya banyak waktu untuk memperkenalkan dan menanamkan falsafah sepak bolanya. Alhasil, pramusim pun sangat mungkin tak berjalan sesuai harapan.
Patut dicatat, pramusim saat ini tak lagi melulu berisi persiapan yang bersifat teknis. Ada agenda-agenda komersial klub yang terselip di sana. Belakangan, agenda itu berupa tur ke negara atau bahkan benua lain yang tentu kian menguras energi para pemain.
Padahal, persiapan adalah hal penting dalam menjalani kompetisi. Bek kiri Marcelo terang-terangan menuding pramusim ke Australia, Tiongkok, Jerman, dan Norwegia sebagai faktor penyebab performa labil Real Madrid pada musim 2015-16. “Kami tidak memiliki pramusim yang baik sehingga harus membayarnya saat musim berjalan,” keluh dia kepada Globoesporte, Maret lalu.
Jumlah pertandingan yang kian bertambah dan waktu libur yang kian mepet itu pada akhirnya merugikan semua pihak. Kesadaran mengenai hal itu bukannya tak ada. Namun, ironisnya, jumlah pertandingan dari tahun ke tahun kian bertambah. Perjalanan saat pramusim pun kian jauh. Lalu, setelah Piala Eropa dengan format 24 tim, Piala Dunia pun diwacanakan bakal diikuti 40 peserta.
Klub-klub seolah tak kuasa dan tutup mata karena potensi pendapatan yang tidaklah kecil. Bagaimanapun, sepak bola saat ini bukanlah olahraga belaka. Sepak bola juga adalah bisnis yang berorientasi pada uang, uang, dan uang.
Adapun para pemain yang menanggung nestapa tak berdaya karena sepak bola adalah cinta mereka. Seperti kata Martin Roderick dalam bukunya, para pesepak bola itu tak ubahnya buruh cinta.
*Penulis adalah jurnalis,komentator dan pengamat sepak bola. Tanggapi kolom ini di @seppginz.
Advertisement