KOLOM: Sesungguhnya Timnas Indonesia Sudah Juara

Timnas Indonesia sudah berhasil memenangkan kembali hati pencinta sepak bola Indonesia untuk mencintai kembali tim nasionalnya.

oleh Edu Krisnadefa diperbarui 17 Des 2016, 08:16 WIB
Diterbitkan 17 Des 2016, 08:16 WIB
Edu Krisnadefa
Opini Edu Krisnadefa (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Sungguh mengasyikkan menikmati euforia ini. Di kantor, coffe shop, kampus, pasar, warung-warung kopi, bahkan di warung sebelah rumah saya, semua bicara sepak bola.... maksud saya timnas.

Timeline media sosial? Apalagi. Di berbagai platform, belakangan isu timnas juga menjadi sangat “seksi”. Status-status bertemakan tim nasional dengan penuh kata-kata patriotisme bertebaran, sukses menggusur status-status nyinyir, penuh sindiran—tentang apa pun—yang sempat membuat saya malas membuka Facebook.

Tim nasional Indonesia memang tengah kembali menjadi primadona di negerinya sendiri. Sukses Andik Vermansyah dan kawan-kawan lolos ke final Piala AFF 2016 jadi pemicunya.

Kini selangkah lagi timnas Indonesia akan menjadi juara Piala AFF 2016 setelah di laga final pertama sukses menekuk Thailand 2-1 di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Rabu (14/12/2016). Ya, juara!

Ah, saya tak bisa membayangkan bagaimana riuhnya timeline akun Facebook saya, bagaimana cerewetnya Pak Umar, sekretaris RT di perumahan tempat saya tinggal, jika timnas kita berhasil mempermalukan Thailand di Stadion Rajamangala, Bangkok, malam ini.
Aksi pemain Indonesia, Zulham Zamrun (kiri) saat duel lawan Thailand di final 1 di Bogor. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)
Pasalnya, ini akan jadi pertama kalinya timnas Indonesia bergelar juara Piala AFF, ajang sepak bola paling bergengsi se-Asia Tenggara. Selama ini, telah empat kali timnas kita masuk final, selalu rontok di partai puncak. Apalagi, terakhir timnas kita masuk final adalah enam tahun lalu. Kebetulan, pelatihnya pun sama dengan saat ini: Alfred Riedl.

“Jadi bagaimana peluang kita, Pak? Kan kita udah menang 2-1. Di Thailand kita cuma butuh imbang kan, Pak? Eh, kalah kalau 2-3 kita kan masih bisa juara ya? Tapi, gimana peluangnya, bisa enggak juara....?” Pak Umar nyerocos, setelah berhasil menyetop motor saya, di malam setelah timnas Indonesia mengempaskan Thailand, saat saya melintas di depan pos keamanan perumahan.

Setiap pulang kerja, saya memang tak punya pilihan lain, selain melewati pos keamanan perumahan, tempat Pak Umar cs kongko-kongko. Dan, Pak Umar tak peduli, begitu saja menyetop motor saya, sambil memberondongkan pertanyaan di atas.

“Juara?? Bisalah, Pak....kenapa enggak?” saya menjawab terburu-buru,  sambil melanjutkan perjalanan ke rumah. “Pulang dulu, Pak...,” ujar saya, melambaikan tangan.

Romantisme Itu Kembali

Sekali lagi, ini memang mengasyikkan. Sebab, setelah begitu lama kita melupakan timnas, kini romantisme itu dibangkitkan lagi. Dari alam bawah sadar diri kita, begitu saja muncul perasaan itu. Perasaan untuk mendukung timnas, keinginan melihat Boaz Solossa, sang kapten timnas, mengangkat trofi Piala AFF tinggi-tinggi.

Lihatlah betapa gilanya antusiasme masyarakat Indonesia saat final pertama di Pakansari. Wajar saja, stadion di kawasan Cibinong itu tak mampu menampung animo pencinta timnas,  karena hanya berkapasitas tak lebih dari 30 ribu penonton.
Antusiasme suporter Indonesia (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)
Padahal, kalau boleh jujur, timnas Indonesia sendiri sebenarnya tak selalu tampil bagus di enam laga yang telah dijalani. Namun, semangat yang mereka pertontonkan di lapangan, itulah yang harus benar-benar dihargai.

Lihatlah bagaimana bersemangatnya mereka bermain atas nama Indonesia. Mengenakan seragam merah-merah atau putih-putih, merumput di lapangan, bagi mereka sama dengan bertempur di medan perang.

Tak hanya diperlihatkan, hasrat menaikkan derajat timnas Indonesia juga lantang mereka ucapkan. Video pernyataan Andik dan Evan Dimas tentang keinginan mereka untuk membawa Indonesia juara menjadi viral di media sosial. Itu bukti, betapa hasrat mereka mendapat respons bagus dari masyarakat sepak bola negeri ini.

Sukses pasukan Riedl menembus final memang luar biasa.  Setidaknya jika melihat latar belakang kondisi sepak bola negeri ini, sebelum Piala AFF digelar.

Tak Ada Guna Mengkritik

Karena sanksi FIFA, lantaran Pemerintah dianggap intervensi kepada PSSI, sepak bola kita dikucilkan kurang lebih setahun. Kompetisi resmi vakum, banyak pemain mengganggur.

Persiapan timnas juga sangat mepet, karena sanksi baru dicabut sekitar bulan Mei 2016.  Lantaran berbagai sebab, termasuk soal kesehatan, Riedl juga baru bekerja bulan Agustus, sejak ditunjuk bulan Juni. Namun, persiapan efektif timnas, bisa dibilang baru efektif pada bulan Oktober.
Boaz Solossa (kiri) dan Hansamu Yama lambang kebangkitan timnas Indonesia. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)
Maka itu, saya setuju dengan sahabat saya, Asep Ginanjar, yang kerap menulis kolom di kanal Bola Liputan6.com. “Tak ada gunanya mengkritisi Riedl serta Boaz dan kawan-kawan. Garuda sedang terbang tinggi, menuju puncak prestasi. Menghujatnya, mengkritiknya habis-habisan, sama saja dengan menembaknya jatuh ke bumi,” begitu tulis Asep di kolomnya.

Maka itu, jika pun timnas gagal membawa pulang trofi dari Bangkok, Stefano Lilipaly dan kawan-kawan rasanya tetap pantas berbangga. Sebab, sesungguhnya, saat ini pun timnas Indonesia telah menjadi juara. Mereka sudah berhasil memenangkan kembali hati pecinta sepak bola Indonesia untuk mencintai kembali tim nasionalnya. Bravo Indonesia!

@edukrisnadefa

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya