Jakarta - Persija Jakarta merasakan periode suram saat Perserikatan melebur dengan Galatama pada 1994. Macan Kemayoran kerap terpuruk meski dalam juga mampu merebut dua gelar.
Tiga musim pertama Liga Indonesia berjalan, Persija Jakarta hanya mampu bersaing untuk tidak terdegradasi. Macan Kemayoran menempati peringkat ke-13 Wilayah Barat musim 1994-1995, ke-14 Wilayah Barat pada 1996-1997, dan ke-10 Wilayah Barat pada 1996-1997.
Baca Juga
Buruknya penampilan Persija kala itu disinyalir karena tim ibu kota mengalami masalah finansial sehingga komposisi pemain ala kadarnya.
Advertisement
Prestasi Persija mulai membaik setelah diambil alih oleh Gubernur DKI Jakarta, Bang Yos. Berstatus sebagai pembina, dia begitu royal menggelontorkan dana APBD kepada Macan Kemayoran.
Era kepemimpinan Bang Yos, panggilannya, berbuah satu gelar Liga Indonesia 2001. Persija Jakarta juga nyaris mengawinkan gelar kompetisi domestik dengan Copa Indonesia jika tidak kalah dari Persipura Jayapura dan Arema FC di babak final pada 2005 silam.
Musim 2008-2009
Pada Indonesia Super League (ISL) 2008-2009, Macan Kemayoran terpuruk hingga mengakhiri musim di peringkat ketujuh karena berbagai sebab.
Memulai kompetisi dengan meyakinkan, Persija kehabisan bensin pada pertengahan musim. Macan Kemayoran seringkali terlempar ke wilayah lain untuk menggelar pertandingan kandang. Akibatnya, Ismed Sofyan dan kawan-kawan tidak bisa maksimal bertanding dan banyak poin terbuang percuma.
Padahal ketika itu, materi pemain Persija terbilang istimewa. Dikepalai oleh Danurwindo, deretan pemain lokal beken semacam Bambang Pamungkas, Ismed Sofyan, Ponaryo Astaman, ALiyudin hingga Agus Indra Kurniawan sedang dalam masa keemasan.
Belum lagi ditambah nama-nama asing beken seperti Greg Nwokolo, Abanda Herman, Robertino Pugliara sampai Pierre Njanja. Ada dugaan ketika itu permasalahan gaji juga memengaruhi performa Macan Kemayoran di akhir musim.
Advertisement
Musim 2013
Musim 2013 tidak akan pernah dilupakan bagi Persija dan suporternya, The Jakmania. Setelah selama belasan tahun selalu menikmati suguhan cerita indah Macan Kemayoran, Tim Ibu Kota berubah menjadi klub pesakitan.
Persija dilanda dualisme efek perpecahan PSSI. Muncul Komite Penyelamat Sepak Bola Indonesia (KPSI) pada 2012, federasi tandingan yang membawahi kompetisi Indonesia Super League (ISL) yang pada saat itu menjadi breakaway league karena PSSI menetapkan Indonesia Premier League (IPL) sebagai liga resmi.
PSSI ketika itu mengakui Persija yang dikelola oleh Hadi Basalamah dibanding Ferry Paulus. Jadilah Macan Kemayoran terpecah belah. Ada yang bermain di IPL dan ISL.
Sengketa tersebut berujung ke pengadilan. Setelah melalui proses yang panjang, hakim memenangkan Persija ISL dengan melarang Persija IPL memakai identitas Persija. Usut punya usut, Persija IPL adalah perubahan wujud dari Jakarta FC, klub yang berkompetisi di Liga Primer Indonesia 2011, sebuah kejuaraan yang bersifat independen dan hanya berlangsung setengah musim.
Karut-marut dualisme dan federasi yang berlangsung pada 2012 masih berimbas bagi Persija. Kondisi finansial Macan Kemayoran sekarat untuk mengarungi ISL 2013. Hasilnya, sejumlah pemain pilar memilih hengkang.
Ramdani Lestaluhu pindah ke Sriwijaya FC. Andritany Ardhiyasa tidak bermain selama setengah musim. Bambang Pamungkas absen setahun penuh. Leo Saputra dipecat di pertengahan kompetisi. Itulah sejumlah kejadian mewarnai perjalanan Persija pada ISL 2013,
Para pemain yang masih bertahan sempat memutuskan mogok berlatih. Setelah mendapatkan janji manis dari Ketua Persija, Ferry Paulus, Ismed Sofyan cs mulai mau bermain di kompetisi.
"Kami akui saat ini belum bisa membayar tunggakan gaji pemain. Akan tetapi, kami berusaha untuk mencarikan. Itulah kondisinya. Dari tiket kami hanya dapat Rp4,2 juta, tetapi kebutuhan mencapai Rp8 miliar," kata Ferry Paulus medio Januari 2013.
Di ISL 2013, Persija bahkan sempat menempati posisi buncit sebelum Benny Dollo ditunjuk sebagai pengganti Iwan Setiawan yang dipecat dari jabatannya sebagai pelatih. Memasuki putaran kedua, Macan Kemayoran mulai membangun fondasi tim. Dua pemain asing, Emmanuel Kenmogne dan Rohit Chand, didatangkan.
Terbukti, kedatangan kedua pemain itu begitu berpengaruh bagi Persija. Kenmogne berhasil mengemas 14 gol dalam setengah musim. Peringkat Macan Kemayoran naik pesat. Tim ibu kota mampu mengakhiri kompetisi di ranking ke-11.
Musim 2019
Persija hampir mengalami musim yang mirip dengan 2013 ketika mengakhiri kompetisi 2019, namun dengan penyebab yang berbeda.
Persija mengakhiri Liga 1 2019 di peringkat ke-10 setelah melalui empat kali pergantian posisi pelatih. Dimulai ketika Ivan Kolev ditetapkan sebagai pengganti Stefano Cugurra Teco yang hijrah ke Bali United.
Musim baru berjalan beberapa laga, Kolev telah dilengserkan dari jabatannya. Posisinya diambil alih oleh mantan pelatih kiper Timnas Indonesia asal Spanyol, Julio Banuelos.
Di luar dugaan, Banuelos juga tidak dapat mengangkat performa Persija. Membuka putaran kedua, dia dipecat dan digantikan oleh Sudirman yang berstatus caretaker.
Sudirman tidak lama menjadi pelatih kepala. Manajemen bergerak cepat menunjuk Edson Tavares sebagai pengganti. Penampilan Persija perlahan mulai membaik di tangan racikan juru taktik asal Brasil tersebut.
Penampilan bobrok Persija pada musim itu mengundang keanehan karena Macan Kemayoran berstatus juara Liga 1. Komposisi pemain juga tidak banyak berubah.
Disinyalir, motivasi para pemain Persija telah hilang karena telah merasakan trofi juara pada musim sebelumnya.
"Saya pikir klub ini melakukan banyak kesalahan musim ini. Sebagai juara, mereka berganti pelatih, lalu musim ini Persija banyak melakukan pergantian pemain, asing, hampir lima, juga pemain lokal," ujar Tavares.
"Semua ini adalah harga yang harus dibayar dari awal musim ini. Terima kasih, alhamdulillah dengan pengalaman saya di Asia, saya bisa pelan-pelan membenahi Persija," terangnya.
Â
Disadur dari: Bola.com (Penulis: Muhammad Adiyaksa/Editor: Yus Mei Sawitri, published 8/4/2020)
Advertisement