Liputan6.com, Jakarta- Komisi Eropa menyatakan platform media sosial X, yang sebelumnya bernama Twitter, sedang diselidiki karena diduga melanggar hukum Uni Eropa mengenai disinformasi, konten ilegal, dan transparansi pada 18 Desember lalu.
Keputusan untuk melayangkan proses hukum terhadap perusahaan yang dimiliki oleh miliarder Amerika Serikat, Elon Musk, ini muncul beberapa minggu setelah X diminta untuk memberikan bukti kepatuhan terhadap undang-undang baru. Peraturan ini dirancang untuk menghapus ujaran kebencian, rasisme, dan berita palsu dari platform-platform di Uni Eropa.
Baca Juga
Di bawah Undang-Undang Layanan Digital (DSA), yang mulai berlaku pada bulan Agustus, perusahaan dapat didenda sebesar 6% dari pendapatan globalnya atau dilarang beroperasi di seluruh Uni Eropa jika terbukti melanggar hukum.
Advertisement
Dilansir dari The Guardian, Thierry Breton, komisioner Uni Eropa yang bertanggung jawab untuk menegakkan DSA, mengonfirmasi penyelidikan tersebut dalam sebuah unggahan di platform X.
"Hari ini kami membuka proses pelanggaran formal terhadap @X," tulisnya, dengan mengatakan bahwa langkah ini dilakukan atas dasar dugaan pelanggaran kewajiban untuk melawan konten ilegal dan disinformasi, dugaan pelanggaran kewajiban transparansi dan dugaan desain yang menipu (deceptive design) antarmuka pengguna.
Penyelidikan terhadap "desain yang menipu" menyangkut penggunaan tanda "centang biru", yang sekarang hanya tersedia bagi mereka yang membayar. Sebelum Elon Musk, tanda centang biru diberikan oleh Twitter kepada pengguna yang terverifikasi di mata publik, termasuk para menteri dan selebriti.
Dugaan Penyebaran Konten Ilegal dan Disinformasi
Pada bulan Juni, setelah pertemuan dengan Breton di California, Elon Musk bersikeras bahwa ia akan mematuhi hukum. Namun, para pengkritik platform ini mengecam dugaan adanya berita palsu dan ujaran kebencian di X, terutama sejak serangan Hamas ke Israel pada tanggal 7 Oktober dan pengeboman Israel ke Gaza.
Pada tanggal 10 Oktober, Uni Eropa mengirimkan surat resmi kepada X atas indikasi bahwa platform tersebut digunakan untuk menyebarkan konten ilegal dan disinformasi di Uni Eropa setelah serangan Hamas terhadap Israel.
Menanggapi hal ini, Linda Yaccarino, kepala eksekutif X, menulis surat kepada Breton, mengatakan bahwa perusahaan tersebut secara aktif bekerja untuk memenuhi kebutuhan operasional dari konflik yang bergerak cepat dan terus berkembang ini.
"X berkomitmen untuk melayani percakapan publik, terutama di saat-saat kritis seperti ini, dan memahami pentingnya menangani konten ilegal yang mungkin disebarkan melalui platform. Tidak ada tempat di X untuk organisasi teroris atau kelompok ekstremis yang melakukan kekerasan dan kami terus menghapus akun-akun seperti itu secara real time, termasuk upaya proaktif," katanya.
Dalam sebuah pernyataan, Komisi Eropa mengatakan bahwa mereka telah mengambil keputusan untuk memulai proses terhadap X berdasarkan "penyelidikan awal", yang diduga berkaitan dengan penyebaran konten ilegal dalam konteks serangan teroris Hamas terhadap Israel.
Advertisement
Jadwal Penyelidikan
Uni Eropa mengatakan tidak ada jadwal dalam proses tersebut dan penyelidikan akan memakan waktu selama yang dibutuhkan. Namun, langkah-langkah sementara jika diperlukan dapat diterapkan sebelum penyelidikan selesai.
Komisi Eropa mengatakan bahwa prosesnya akan berfokus pada fungsi mekanisme pemberitahuan dan tindakan untuk konten ilegal, yang melibatkan perintah hukum dari polisi atau pihak berwenang lainnya di Uni Eropa untuk menghapus konten tersebut dalam waktu satu jam.
Komisi ini juga akan melihat keefektifan "catatan komunitas" X, yang memungkinkan publik untuk mengomentari kebenaran atau legalitas postingan.
Awal tahun ini, Facebook, TikTok, dan perusahaan teknologi Google serta Microsoft telah menandatangani kode etik yang dibuat oleh Uni Eropa untuk mempersiapkan diri menghadapi undang-undang baru di DSA.
Namun, pada bulan Mei, Twitter keluar dari kode etik tersebut, yang memicu peringatan dari Breton bahwa "Anda bisa lari tetapi tidak bisa bersembunyi".
"Di luar komitmen sukarela, memerangi disinformasi akan menjadi kewajiban hukum di bawah DSA pada 25 Agustus. Tim kami akan siap untuk melakukan penegakan hukum," katanya.
Tentang Cek Fakta Liputan6.com
Melawan hoaks sama saja melawan pembodohan. Itu yang mendasari kami membuat Kanal Cek Fakta Liputan6.com pada 2018 dan hingga kini aktif memberikan literasi media pada masyarakat luas.
Sejak 2 Juli 2018, Cek Fakta Liputan6.com bergabung dalam International Fact Checking Network (IFCN) dan menjadi partner Facebook. Kami juga bagian dari inisiatif cekfakta.com. Kerja sama dengan pihak manapun, tak akan mempengaruhi independensi kami.
Jika Anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan di email cekfakta.liputan6@kly.id.
Ingin lebih cepat mendapat jawaban? Hubungi Chatbot WhatsApp Liputan6 Cek Fakta di 0811-9787-670 atau klik tautan berikut ini.
Advertisement