Mingi, Tradisi Membunuh Bayi dari Suku Terpencil di Ethiopia

Setiap tahun diperkirakan ada sekitar 300 bayi tak berdosa yang harus meninggal sia-sia hanya karena dianggap Mingi.

oleh Azwar Anas diperbarui 28 Apr 2017, 09:30 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2017, 09:30 WIB
Tradisi Mingi
Foto: Ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta Kelahiran seorang anak merupakan hal yang di nanti-nanti setiap orangtua di muka bumi. Namun, lain halnya dengan orang tua di pedalaman Ethiopia yang tidak segan-segan mengorbankan bayinya untuk dibunuh jika sang bayi terlahir dengan cacat fisik dan tidak sesuai yang diinginkan.

Tradisi membunuh bayi itu dikenal dengan Mingi. Tradisi ini menganggap bahwa anak-anak yang memiliki kelainan fisik akan memberikan pengaruh jahat pada orang lain. Tak ingin hal buruk terjadi pada warga desa, kepala suku pun memberi perintah untuk membunuh bayi cacat tersebut tanpa pemakaman yang layak.

Mingi sendiri merupakan julukan bagi bayi-bayi yang dianggap lahir tidak normal. Setiap tahun diperkirakan ada sekitar 300 bayi tak berdosa yang mati sia-sia hanya karena dianggap Mingi.

Seorang bayi bisa dianggap Mingi jika para bayi terlahir tanpa izin ketua adat, terlahir kembar, atau memiliki fisik cacat. Seorang anak juga dianggap Mingi apabila lahir dari seorang ayah yang gagal melakukan tradisi lompat kerbau sebelum menikah. Jika ketua adat sudah mengatakan seorang bayi sebagai Mingi, maka anak tak berdosa tersebut harus segera dibunuh.

Sadisnya lagi, bayi tersebut dihabisi dengan cara yang amat kejam. Biasanya mereka membuang bayi ke sungai yang penuh buaya. Ada pula yang meninggalkan di rawa-rawa dan membiarkannya kelaparan hingga meninggal atau dimakan binatang buas.

Pemerintah Ethiopia sendiri sudah melarang keras tradisi ini karena dinilai tidak manusiawi. Oleh karena itu, pemerintah Ethiopia memberikan solusi atas masalah ini dengan mendirikan panti asuhan Mingi. Bayi-bayi yang tidak diharapkan oleh desa tersebut akan ditampung dan dibesarkan oleh negara.

Para penduduk desa pun mendukung adanya program tersebut. Warga rela berpisah jauh dari anaknya, asalkan sang anak hidup daripada harus melihat anaknya mati di tangan tradisi yang tak bisa ditentang. Meski demikian, masih ada beberapa warga yang nekat melakukan tradisi Mingi.

Penulis:

Fatricia Risti Wulanda

Universitas Moestopo

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya