Liputan6.com, Yogyakarta - Tjilik Riwut merupakan mantan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah yang menjabat pada periode 30 Juni 1958 hingga Februari 1967. Ia juga merupakan Pahlawan Nasional Indonesia yang memiliki pangkat terakhir Marsekal Pertama TNI.
Mengutip dari Ensiklopedia Sejarah Indonesia, Tjilik Riwut lahir di Kasongan, Kalimantan Tengah pada 2 Februari 1918. Ia memiliki latar belakang Suku Dayak Ngaju yang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya leluhurnya.
Advertisement
Namun, latar belakang tersebut tak membatasinya dalam berjuang. Ia melampaui sekat kesukuan dan menjadi pejuang bangsa.
Advertisement
Tjilik Riwut menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (Volkschool) yang dikelola zending di Kasongan. Setelah lulus sekolah pada 1930, ia diboyong Pendeta Sehrel ke Jawa dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Perawat Taman Dewasa di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pendidikan pada 1933.
Baca Juga
Pada 1933-1936, ia mengikuti sekolah (kursus) perawat di Purwakarta dan Bandung. Mulai 1936, ia juga berkiprah di dunia jurnalistik hingga menjadi Redaktur Majalah Soeara Pakat (Suara Rakyat) pada 1940-1941.
Majalah Soeara Pakat diterbitkan oleh Pakat Dajak, yaitu organisasi kaum muda Dayak di perantauan dengan ruang lingkup kedaerahan. Mereka memiliki visi memajukan orang Dayak dan semangat kebangsaan.
Selain itu, Tjilik Riwut juga menjadi responden Harian Pembangunan di bawah pimpinan Sanusi Pane. Ia juga menjadi koresponden Harian Pemandangan.
Pengalaman di jurnalisme kemudian ia salurkan dengan menulis beberapa buku tentang Kalimantan Tengah, di antaranya Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Kalimantan Memanggil (1958), Memperkenalkan Kalimantan Tengah dan Pembangunan Kota Palangka Raya (1962), Manaser Panatau Tatu Hiang (1965), serta Kalimantan Membangun (1979).
Menjelang akhir 1945 atau pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Tjilik Riwut sebagai anggota TNI juga ikut berjuang melawan penjajah. Saat itu, tentara Sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang secara berangsur-angsur menyerahkan kekuasaannya atas Indonesia kepada NICA.
Gubernur Kalimantan saat itu, Ir Pangeran Muhammad Noor yang berkedudukan di Yogyakarta, memanggil para pemuda Kalimantan yang berada di Jawa untuk membentuk badan perjuangan. Pembentukan tersebut bertujuan untuk merebut Kalimantan dari tangan NICA.
Pemuda-pemuda tersebut bersepakat untuk membentuk pasukan yang diberi nama Pasukan MN 1001, yang artinya Pasukan Muhammad Noor dengan seribu satu akal atau jalan untuk mencapai kemerdekaan bagi Pulau Kalimantan. Tjilik Riwut yang saat itu berpangkat mayor pun terpilih sebagai salah satu komandan pasukan.
Pasukan MN 1001 bertugas melaksanakan ekspedisi ke wilayah Kalimantan untuk menggalang simpati masyarakat demi melawan tentara NICA. Saat kembali ke Kalimantan, Pasukan MN 1001 dibagi menjadi dua rombongan yang dipimpin oleh Tjilik Riwut dan Husin Hamzah. Rombongan Tjilik Riwut menuju ke daerah pedalaman Kalimantan Tengah, sedangkan rombongan Husin Hamzah menuju Kalimantan Selatan.
Pada 17 Desember 1946, ia melakukan Sumpah Setia bersama enam pemuda Dayak yang mewakili 142 Suku Dayak kepada Pemerintah Republik Indonesia di Gedung Agung Yogyakarta. Sumpah tersebut disaksikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, para menteri, dan gubernur.
Pada 17 Oktober 1947, Tjilik Riwut terlibat dalam Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Pasukan Payung dari MN 1001/AURI ini dipimpin Letnan Muda Iskandar, Letnan Muda M. Dachlan, dan Letnan J. Bitak.
Meski tak ikut terjun, tetapi Tjilik Riwut berperan sebagai penunjuk jalan dalam operasi yang melibatkan 14 orang itu. Mereka menuju ke Kotawaringin, menggalang warga setempat untuk ikut bergerilya. Momen tersebut kemudian diperingati sebagai Hari Lahir Pasukan Khusus TNI-AU.
Â
Karier Politik
Tjilik Riwut mulai berkarier di bidang politik pada 1950. Ia menjadi wedana di Sampit, kemudian menjabat Bupati Kotawaringin Timur dan Bupati Kepala Daerah Swantara Tingkat II Kotawaringin Timur pada 1951-1956.
Pada periode itu muncul desakan dari warga Dayak untuk membentuk Provinsi Kalimantan Tengah. Selaku Bupati Kotawaringin, Tjilik Riwut pun mengirim telegram ke pemerintah pusat perihal keinginan orang Dayak tersebut pada Oktober 1956.
Pada awal 1957, ia diangkat menjadi residen untuk melakukan persiapan pembentukan Kalimantan Tengah yang kantornya berkedudukan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Saat Provinsi Kalimantan Tengah resmi terbentuk, nama Tjilik Riwut menjadi kandidat gubernur. Tjilik Riwut akhirnya terpilih menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah yang pertama dan memerintah pada periode 1958-1967.
Pada Februari 1967, pecahnya G30S yang disusul dengan pergantian kekuasaan membuat Tjilik Riwut harus melepas jabatannya. Hal itu lantaran ia mendapat stempel 'Gubernur Sukarnois'.
Namun, ia tetap berkarier di bidang politik, yakni di Departemen Dalam Negeri, Pangkowilhan 3, hingga Anggota DPR/MPR. Pada 17 Agustus 1987, Tjilik Riwut meninggal dunia setelah sebelumnya dirawat di Rumah Sakit Suaka Insan Banjarmasin karena liver atau hepatitis.
Ia dimakamkan di Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Namanya diabadikan menjadi nama Bandar Udara di Palangka Raya.
Pada 1998 di era Presiden B.J. Habibie, Tjilik Riwut ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden RI No. 108/TK/Tahun 1998 tanggal 6 November 1998. Berkat jasanya di lingkungan AURI dan perjuangannya di Kalimantan Tengah, ia juga mendapat pangkat Laksamana (Marsekal) Pertama dari Angkatan Udara RI sebagai tanda kehormatan.
Penulis: Resla
Advertisement