KOLOM BAHASA: Terciduk Bahasa Kekinian ala Kids Zaman Now

Apakah ungkapan 'kids zaman now' atau 'tercyduk' merupakan gejala kemunduran berbahasa?

oleh Fadjriah Nurdiarsih diperbarui 04 Nov 2017, 10:00 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2017, 10:00 WIB
Kolom Bahasa
Dalam bahasa Indonesia ada kata-kata yang memiliki arti hampir serupa.

Liputan6.com, Jakarta - Persoalan bahasa adalah masalah yang tak akan henti dibicarakan manusia seumur hidupnya. Sebab, bahasa hidup dan berkembang seperti juga manusia. Bahasa yang produktif akan terus hidup dan dipakai, tetapi bahasa yang tidak dipakai akan dilupakan dan hilang dengan sendirinya.

Ditambah lagi, di sekitar kita muncul kata-kata baru dengan cepat. Kata-kata itu tak lantas masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan sejumlah pertimbangan. Salah satunya, daya tahan sebuah kosakata.

Sering kali kita mendengar, kata seperti "alay" dan "lebay" dipakai dan hidup di masyarakat. Namun, jika kita mengarahkan kursor ke laman KBBI daring, lema "alay" dikategorikan sebagai arkais (ark) dengan makna ‘anak layangan; gaya hidup yang berlebihan untuk menarik perhatian’.

Nah, pengertian ‘anak layangan’—yang diakronimkan sebagai alay—tentu mengalami pergeseran makna dari seorang anak yang gemar bermain layangan lalu rambutnya menjadi pirang lantaran terkena sinar matahari terus-menerus.

Generasi masa kini lebih suka mengartikan "alay" sebagai ‘kampungan atau norak’, meleset dari definisi KBBI yang menuliskan, ‘gaya hidup yang berlebihan untuk menarik perhatian’. Tak hanya dari penampilan, anak alay juga disebut-sebut kerap mencampur huruf (kapital dan kecil) dengan angka, misalnya saja "4L4y" dan "G4uL". Unik, tapi kreatif.  

“Ah, tapi itu kan gara-gara anak yang suka main layangan ini adalah anak-anak kampung yang norak,” ucap seorang teman berkilah.

Persoalan lain, kosakata "alay" ini hanya tumbuh di kota-kota besar. Mungkinkah masih ada yang main layangan mengingat terbatasnya lahan? Bagaimana bila ketika tengah mengejar layangan malah tertabrak kendaraan bermotor atau malah kereta api. Bahaya sekali, bukan?

Yang patut pula dicermati, kini kata "alay" secara sempit dipakai untuk merujuk kepada anak-anak muda yang bekerja sebagai penonton bayaran sebagai profesi.

Selain "alay", masyarakat pengguna bahasa juga mengenal kata "lebay". Belum diketahui secara pasti dari mana asal kata "lebay", tapi seorang kawan menduga asalnya dari kata lebih/berlebihan—yang kemudian dipelesetkan. KBBI mencantumkan arti "lebay" sebagai ‘a cak berlebihan (tentang gaya berbicara, penampilan, dan sebagainya): pemberitaan tersebut terlalu -- dan tidak berimbang’.

Namun, harap awas dengan tata cara penulisannya karena "lebay" berbeda dengan "lebai" yang berarti ‘n pegawai masjid atau orang yang mengurus suatu pekerjaan yang bertalian dengan agama Islam di dusun (kampung)’.

Lucunya, belum lama ini muncul pula kata "gemay"—yang merupakan pelesetan dari gemas. "Gemay" diartikan sebagai ‘lucu atau menggemaskan’. Namun, karena baru muncul, tentu belum bisa dipastikan sampai kapan kata-kata ini akan bertahan dan dipergunakan masyarakat.

 

Bagaimana dengan "baper"? Kata "baper" lazim didengar dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari. “Jangan baper,” itu biasanya saran seorang kawan bila temannya mulai berkeluh kesah tentang suatu hal.

"Baper" merupakan akronim dari bawa perasaan, yaitu suatu kondisi kala seseorang terlampau serius memikirkan suatu hal. Namun, baper belum masuk dalam KBBI. Padahal, kata baper ini bahkan sudah merasuk ke dalam media daring. Misalnya berita yang ditulis Liputan6.com pada 2 November 2017, “Lakukan Ini untuk Penggemar, Harry Styles Bikin Baper”. Nah, mungkinkah kata baper masuk KBBI? Wallahu alam.

Kemudian satu istilah lagi yang sering kita dengar adalah “kids jaman now”. Laman Kemendikbud sempat dicerca ketika berusaha memperbaiki ejaan pada kata "jaman" menjadi "zaman", yang berarti “kids zaman now”. Belakangan, kira-kira sebulan terakhir, ungkapan ini menjadi sangat populer dan dipakai di mana-mana, baik dalam percakapan maupun tulisan.

Apa yang salah dengan "kids zaman now"? Pertama-tama, tentu tak elok berbahasa campur-campur. Mempergunakan bahasa secara campur-campur merupakan ciri otak yang semrawut, begitu seorang doktor linguistik pernah berkata.

Walakin, harus dipahami bahwa generasi anak muda sekarang, yakni generasi Z, memang lebih terpapar teknologi dalam keseharian mereka. Artinya, persentuhan mereka dengan bahasa Inggris menjadi lebih intens, karena bahasa yang dipakai ketika mengunduh atau mengunggah sesuatu dalam media sosial rata-rata adalah bahasa Inggris.

Kondisi berbahasa campur-campur ini malahan sudah merasuk ke dalam karya sastra. Konon, penerbit Gramedia memperbolehkan beberapa penulis mempergunakan bahasa Indonesia bercampur bahasa Inggris dalam novelnya—suatu kondisi yang tidak mungkin ditemukan 20 tahun lalu.

Dengan demikian, apakah ini merupakan gejala kemunduran berbahasa? Saya kira tidak. Ungkapan-ungkapan semacam "kids zaman now", "tercyduk", "junjungq" merupakan sebuah fenomena berbahasa yang sifatnya sementara. Ungkapan ini lahir sebagai bentuk pemberontakan atas kejenuhan dalam keteraturan berbahasa, serta keinginan untuk memiliki identitas yang berbeda dengan lainnya.

Karena itu, hadapilah dengan santai dan tak usah terlalu memperbesar-besarkan, meski tentu juga jangan malah menyebarluaskannya. Suatu saat istilah ini pun akan musnah dan dilupakan, seperti "eta terangkanlah".

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya