Liputan6.com, Jakarta - Tentu Anda sering mendengar istilah etnosentris atau etnosentrisme, atau bahkan seringkali muncul dalam lingkungan sosial.
Melansir dari Oxford Bibliographies, Senin (30/5/2022), etnosentrisme adalah istilah yang diterapkan pada budaya atau etnis di mana seorang individu memandang dunia dari perspektif kelompoknya sendiri.
Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etnosentrisme adalah sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan sendiri.
Advertisement
Biasanya sikap etnosentrisme disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain.
William Graham Sumner, seorang Profesor Universitas Yale Ilmu Politik dan Sosial, merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan istilah etnosentris pada tahun 1906.
Meski etnosentrisme bisa dibilang adalah fenomena universal yang memfasilitasi kohesi dan kontimuitas di semua tingkat organisasi sosial, etnosentrisme memberikan rasionalisasi untuk menyerang budaya atau subkultur lain dalam bentuknya yang lebih ekstrem.
Misalnya, memotivasi kriminalisasi praktik dalam subkultur atau digunakan untuk membenarkan perang dengan negara bangsa lain.
Etnosentrisme terkait erat dengan definisi penyimpangan di mana orang yang menyimpang tidak hanya dilihat sebagai berbeda, tapi juga secara moral lebih rendah atau bahkan jahat. Anggota stereotip dalam kelompok mereka yang berada di luar kelompok sebagai orang yang bodoh, buruk, atau bahkan tidak manusiawi dan penokohan ini memberikan dasar bagi konflik budaya.
Baca Juga
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Faktor pemicu etnosentrisme
Adapun beberapa faktor yang memicu sikap etnosentrisme pada individu. Faktor-faktor ini umumnya berasal dari lingkungan sosial, bukan serta merta muncul di dalam jiwa seorang individu.
Berikut beberapa faktor penyebab etnosentrisme, seperti melansir dari Merdeka, Senin (30/5/2022).
1. Sejarah
Jika seseorang memiliki kaitan erat dengan sejarah keluarga di masa lalu mengenai suatu peristiwa berupa perkembangan identitas, maka dirinya akan merasa memiliki kebudayaan tersebut.
Berbagai identitas tersebut yakni berupa bahasa, kebiasaan, hingga peristiwa masa lalu yang berasal dari nenek moyang.
2. Multikulturalisme
Dengan kondisi lingkungan sosial yang beragam tersebut, terkadang timbul perasaan untuk membandingkan hingga terjadi konflik. Hal ini rentan terjadi saat beberapa kebudayaan saling bertemu.
3. Situasi Politik
Saat seorang ataupun kelompok ingin mencapai suatu kekuasaan yang dilegitimasi, biasanya akan timbul dengan sendirinya perasaan fanatisme terhadap identitas yang melekat padanya. Hal ini lantaran politik seringkali dianggap sebagai suatu wadah yang tepat untuk melancarkan kepentingan pribadi hingga kelompok.
Â
Advertisement