Liputan6.com, Jakarta - Kanker serviks masih menjadi ancaman serius bagi perempuan di Indonesia. Menempati posisi kedua sebagai jenis kanker terbanyak pada perempuan, penyakit ini diperkirakan menjangkiti sekitar 36.000 perempuan setiap tahunnya, dengan 70 persen di antaranya sudah berada dalam stadium lanjut saat terdeteksi.Â
Namun, kabar baiknya, para pakar menyatakan bahwa kanker serviks sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan, asal ditemukan sejak dini.Â
Advertisement
Baca Juga
Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof. Dante Saksono Harbuwono mengungkapkan bahwa pemerintah terus mengupayakan penurunan angka kematian akibat kanker serviks melalui pendekatan promotif dan preventif.Â
Advertisement
"Salah satunya dengan memperluas cakupan vaksinasi HPVÂ serta memperkuat skrining melalui deteksi dini," ujar Prof.
Dante dalam forum diskusi yang digelar Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia (InaHEA) dan The Asia-Pacific Women’s Cancer Coalition (APAC WCC). Pemerintah menargetkan tercapainya tiga indikator utama dalam Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi Kanker Serviks:Â
- 90 persen anak perempuan dan laki-laki berusia 15 tahun mendapatkan vaksinasi HPV,
- 70 persen perempuan usia 35 tahun mengikuti skrining HPV DNA,
- 90 persen perempuan dengan lesi prakanker dan kanker invasif mendapatkan penanganan sesuai standar.
Tantangan di Lapangan
Meski program RAN telah berjalan sejak 2023, sejumlah tantangan masih dihadapi, mulai dari akses layanan kesehatan yang belum merata, keterbatasan sumber daya tenaga medis, hingga kendala sosial dan struktural yang menghambat pelaksanaan skrining di berbagai daerah.Â
Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, dr. Siti Nadia Tarmizi menegaskan bahwa kolaborasi berbagai pihak menjadi kunci keberhasilan.Â
"Dengan kombinasi imunisasi dan skrining yang tepat, kita bisa menjaga semua kelompok perempuan dari risiko kanker serviks. Targetnya, 75 persen perempuan Indonesia usia 30–69 tahun ikut skrining pada 2030," ujarnya.Â
Advertisement
Proyek Percontohan di Jawa Timur
Salah satu upaya percepatan dilakukan melalui proyek percontohan yang melibatkan Kementerian Kesehatan, Roche Indonesia, Biofarma, dan Jhpiego.Â
Proyek ini menargetkan skrining 6.800 perempuan di wilayah Surabaya dan Sidoarjo dengan pendekatan berbasis populasi. Langkah ini mencakup pelatihan tenaga kesehatan, edukasi masyarakat, hingga sistem pencatatan dan pelaporan yang akurat.Â
"Dengan pendekatan yang disesuaikan karakteristik lokal, proyek ini diharapkan menjadi model ideal dalam perluasan skrining nasional," kata Country Director Jhpiego Indonesia, Maryjane Lacoste..
Tes Diagnostik yang Andal Jadi Kunci
Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia (PDS PatKLIn), Prof. Dr. dr. Aryati, menambahkan, keberhasilan skrining sangat bergantung pada tes diagnostik yang akurat dan berkualitas.Â
"Jika penanganan dilakukan sejak dini, peluang hidup penderita bisa mencapai 20 tahun ke depan," ujarnya.
Advertisement
Dukungan Anggaran dan Peran Masyarakat
Dari sisi kebijakan, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh menyatakan komitmennya dalam mendukung perluasan akses skrining melalui penguatan legislasi dan peningkatan alokasi anggaran.Â
"Kita juga mendorong kemitraan dengan sektor swasta dan masyarakat sipil," kata dia. Pada akhirnya, edukasi menjadi fondasi penting. Masyarakat perlu semakin paham bahwa kanker serviks bukan vonis mati. Ia bisa dicegah, dideteksi lebih awal, dan disembuhkan.Â
Dengan langkah konkret dan kerja sama semua pihak, Indonesia bisa menuju masa depan bebas kanker serviks.
Â
