Masyarakat Adat Kalimantan Suarakan Perlindungan Biodiversitas di COP 16 CBD

Kontribusi masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati menjadi sorotan utama dalam Konferensi Para Pihak ke-16 Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP 16 CBD) yang berlangsung di Cali, Kolombia.

oleh Sulung Lahitani diperbarui 31 Okt 2024, 10:04 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2024, 10:04 WIB
Masyarakat Adat Kalimantan Suarakan Perlindungan Biodiversitas di COP 16 CBD
Delegasi CSO Indonesia dan perwakilan masyarakat adat (doc: Yayasan Rekam Nusantara)

Liputan6.com, Jakarta Kontribusi masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati menjadi sorotan utama dalam Konferensi Para Pihak ke-16 Konvensi Keanekaragaman Hayati (COP 16 CBD) yang berlangsung di Cali, Kolombia, mulai 21 Oktober hingga 1 November 2024. Perwakilan masyarakat adat dari Kalimantan berbagi praktik pemantauan keanekaragaman hayati yang telah mereka lakukan selama turun-temurun, menegaskan pentingnya kearifan lokal dalam melestarikan ekosistem alam.

Sebagai rumah bagi sekitar 15.000 spesies tanaman, 288 mamalia, dan 350 jenis burung, Kalimantan dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati yang menjadikannya habitat penting berbagai spesies flora dan fauna. Praktik pelestarian tradisional di Kalimantan di antaranya dipresentasikan oleh Raymundus Remang dari Masyarakat Adat Ketemenggungan Iban Jalai Lintang, yang menegaskan komitmen untuk menjaga hutan sebagai sumber kehidupan utama. "Lebih baik menjaga mata air, daripada meneteskan air mata," ungkap Raymundus di hadapan peserta konferensi.

Kapuas Hulu, bentang alam di jantung Kalimantan, menjadi simbol kuat dari perjuangan konservasi ini. Dengan hutan hujan tropisnya yang luas, wilayah ini menyediakan habitat bagi rangkong gading yang terancam punah, 7 jenis rangkong Kalimantan, orangutan, dan ribuan spesies lainnya. Praktik konservasi adat, seperti yang dilakukan komunitas Iban Jalai Lintang, menunjukkan bagaimana masyarakat adat secara konsisten melestarikan ekosistem tanpa merusak lingkungan, meski mereka menghadapi berbagai tantangan modernisasi.

 

Mempertahankan keasrian hutan

Masyarakat Adat Kalimantan Suarakan Perlindungan Biodiversitas di COP 16 CBD
Warga Sungai Utik (doc: Yayasan Rekam Nusantara)

Tak hanya itu, komunitas Dayak Punan Tugung di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, tetap mempertahankan keasrian hutan adat meski berada di bawah izin konsesi perusahaan. Rahmat Sulaiman dari Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) mencatat bahwa pengelolaan hutan oleh masyarakat adat berbeda secara signifikan dari pendekatan korporasi, di mana hutan adat berhasil dilestarikan dengan lebih baik.

Peran perempuan adat juga turut menjadi fokus dalam sesi ini. Nurhayati dari komunitas Punan Tugung menunjukkan pentingnya hutan sebagai "supermarket dan apotek gratis" bagi komunitasnya. Dengan pengetahuan etnobotani yang diwariskan, ia memanfaatkan tanaman herbal untuk pengobatan sehari-hari, menunjukkan bahwa hutan menyediakan segala kebutuhan hidup yang tak tergantikan.

 

Kurangnya pengakuan formal terhadap masyarakat adat

Namun, di balik peran besar mereka, pengakuan formal terhadap masyarakat adat di Kalimantan masih minim. Menurut data PADI Indonesia dan JKPP, hanya ada 19 komunitas adat yang diakui di tiga kabupaten di Kalimantan Utara. "Masyarakat adat bukan penyebab hilangnya keanekaragaman hayati atau perubahan iklim; mereka adalah pelindung utama biodiversitas dan harus mendapat dukungan dunia," ujar Among, Direktur Eksekutif PADI Indonesia.

Ketika negosiasi untuk hak dan pengakuan masyarakat adat berlangsung di COP 16 CBD, dukungan internasional dan pengakuan formal diharapkan dapat memperkuat posisi mereka sebagai penjaga biodiversitas. Sebagai langkah nyata, Yoki Hadiprakarsa dari Yayasan Rekam Nusantara menekankan pentingnya dukungan teknis dan pendanaan agar pemantauan keanekaragaman hayati oleh masyarakat adat dapat terus berlanjut, memberikan manfaat luar biasa bagi Indonesia dan dunia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya