Ekonom Sebut Pajak Kripto Berdampak Positif dan Negatif

Langkah tersebut masih mendapat pro dan kontra terkait imbas pengenaan pajak kripto.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 08 Apr 2022, 18:45 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2022, 18:45 WIB
Ilustrasi Mata Uang Kripto, Mata Uang Digital.
Ilustrasi Mata Uang Kripto, Mata Uang Digital. Kredit: WorldSpectrum from Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah resmi mengenakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) terhadap perdagangan aset kripto. Hal itu dianggap momen pengakuan aset digital secara legal untuk diperdagangkan. 

Namun, langkah tersebut masih mendapat pro dan kontra terkait imbas pengenaan pajak terhadap geliat perdagangan aset kripto ke depan. 

Berdasarkan PMK No. 68/2022 tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto, pemerintah menetapkan tarif PPN dan PPh terhadap transaksi kripto. 

Besaran PPN aset kripto sebesar 1 persen dari tarif PPN jika transaksi melalui penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Serta besaran 2 persen tarif PPN jika transaksi dilakukan bukan PMSE.

Selain itu, perdagangan kripto juga dikenakan PPh Pasal 22 yang dipungut kepada penjual, penyelenggara PMSE, serta penambang aset kripto. Besaran tarif PPh itu sebesar 0,1 persen. 

Dampak Positif

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, pemerintah memajaki perdagangan kripto bisa dilihat dari sisi positif, yakni pengakuan legalitas perdagangan kripto.

Pernyataan itu mengacu kepada ketidakselarasan pandangan pemangku kebijakan terhadap perdagangan kripto yang belakangan mencuat, terutama sikap dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Meskipun telah dinaungi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), perdagangan aset kripto sempat dikritik OJK. Karena itu, munculnya kebijakan pajak tentang aset kripto, tidak lain merupakan pengukuhan pengakuan legalitas perdagangan aset kripto. 

“Sebab dengan dijadikannya aset kripto sebagai objek pajak, berarti negara mengakui legalitas dari aset kripto ini. Apalagi aturan terkait investasi lewat aset kripto pun sudah ada dari Bappebti, sehingga menjadi pertanyaan kenapa OJK beberapa waktu lalu mengeluarkan peringatan kepada bank-bank di Indonesia,” kata Nailul dalam keterangan tertulis, Jumat (8/4/2022).

 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Dampak Negatif

Ilustrasi kripto (Foto: Unsplash/Kanchanara)
Ilustrasi kripto (Foto: Unsplash/Kanchanara)

Di lain sisi menurut Nailul, pengenaan pajak kripto juga berpotensi memunculkan efek negatif terhadap geliat perdagangan yang baru mulai tumbuh. 

“Jadi saya lihat perpajakan ini akan cukup mengganggu iklim inovasi aset kripto di Indonesia. Karena sebelumnya aset ini tidak dikenai pajak. Tapi memang mau tidak mau harus dikenakan pajak,” ujar dia.

Sebaliknya, dia menilai penerapan pajak juga diberlakukan untuk instrumen investasi ataupun perdagangan komoditas lainnya. 

“Nanti para pengembang memang akan berpikir seribu kali untuk membangun aset kripto yang berasal dari Indonesia. Meskipun ketentuan perpajakan ini harus ada untuk menciptakan level of playing field yang sama dengan instrumen investasi lain,” jelas Nailul.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira melontarkan pendapat serupa. Meskipun belum terbentuk bursa kripto, jelasnya, dengan adanya aturan perpajakan yang secara khusus mengatur aset kripto, maka telah menempatkan aset digital ini sebagai potensi pemasukan negara bukan lagi dianggap ancaman.

“Apalagi jumlah investor kripto lebih tinggi daripada pasar modal. Indonesia negara nomor 4 dengan jumlah investor aset kripto terbanyak di dunia,” tutur Bhima. 

Adapun Bhima mengungkapkan apakah kelak pungutan pajak terhadap aset kripto bisa berjalan secara transparan.

 

Respons Asosiasi

Ilustrasi aset kripto, mata uang kripto, Bitcoin, Ethereum, Ripple
Ilustrasi aset kripto, mata uang kripto, Bitcoin, Ethereum, Ripple. Kredit: WorldSpectrum via Pixabay

Ketua Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo), Teguh Kurniawan Harmanda menilai sejauh ini para pelaku perdagangan aset kripto sangat menyambut positif langkah pemerintah menerapkan pajak bagi aset kripto. 

“Pastinya akan berdampak positif, namun geliat investasi kripto masih terlalu rentan jika tidak dikembangkan secara hati-hati melalui kebijakan yang ada,” kata pria yang akrab disapa Manda.

Sebaliknya, Manda menyarankan agar perumusan tarif pajak dan penerapannya bisa melibatkan para pelaku usaha aset kripto.

Dia menuturkan, komoditas kripto merupakan aset digital yang baru dikembangkan di Tanah Air, masih membutuhkan banyak dukungan dan pengembangan agar mampu memberikan kontribusi positif bagi perekonomian. 

Alasan Pemerintah Kenakan Pajak Kripto

Sebelumnya, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menerbitkan peraturan yang mengatur pajak kripto di Indonesia. Peraturan pajak kripto itu mulai berlaku pada Mei 2022. 

Peraturan soal pajak kripto tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto. 

Kepala Sub Direktorat Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya, Bonarsius Sipayung, mengungkapkan sebelum menentukan pajak untuk aset kripto, DJP sebelumnya melakukan pengujian dulu apakah aset kripto patut dikenakan pungutan pajak atau tidak.

"Tentunya berdasarkan UU PPN barang dan jasa kena pajak, maka kita uji dulu kripto. Karena ada kripto currency, itu alat bayar enggak? Aturan otoritas, kripto bukan alat tukar, jadi kena barang dikenakan," ungkap Bonarsius dalam sesi media briefing DJP, Rabu, 6 April 2022, dikutip dari kanal Bisnis Liputan6.com. 

Alasan Pemerintah Kenakan Pajak Kripto

Aset Kripto
Perkembangan pasar aset kripto di Indonesia. foto: istimewa

Seperti diketahui, Kementerian Perdagangan tidak memasukan aset kripto sebagai Surat Berharga. Namun, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) justru mengatur kripto sebagai komoditas.

"Begitu komoditas, kita kaitkan UU PPN. Atas penyerahan barang kena pajak, terutang PPN," kata Bonarsius.

Meskipun begitu, DJP masih memberikan pengecualian soal pengenaan PPh dan PPN atas transaksi aset kripto. Hal itu karena ritme perdagangan kripto berbeda dengan cara aset konvensional.

"Dalam konteks kripto, kita harus perhatikan. Kalau kena mekanisme normal enggak kena pajak, tidak ketahuan siapa yang bertransaksi. Tapi marketnya real. Di Bappebti terdaftar ada 12-13 marketplace yang fasilitasi penjualan komoditi ini," tuturnya.

"Di pasal 32a, Menteri Keuangan dapat tunjuk pihak lain untuk lakukan pungutan pajak. Ini pihak yang menyelenggarakan transaksi dimungkinkan mengenai pajak. Subjeknya marketplace yang akan kenai transaksi," pungkas dia. 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya