Liputan6.com, Jakarta - Munculnya pengaturan perpajakan kepada industri kripto di Indonesia menandakan sudah matangnya pertumbuhan industri kripto di Indonesia. Hal itu disepakati oleh Indodax, Bappebti dan Aspakrindo.
CEO Indodax Oscar Darmawan mengungkapkan, pemberlakuan pajak ini memberikan beban finansial yang sangat berat bagi para investor kripto. Total jumlah pajak yang harus disetorkan setiap bulan disebutnya bahkan melebihi pendapatan para pelaku industri.
Baca Juga
"Saat ini terdapat berbagai jenis pajak aset kripto yang dikenakan di Indonesia yaitu PPh sebesar 0.10 persen, PPN sebesar 0.11 persen, dan tambahan 0.02 persen untuk biaya bursa, deposito, dan kliring," ujar Oscar.
Advertisement
"Terlebih lagi, jika bertransaksi menggunakan stablecoin seperti USDT, akan dikenakan penggandaan pajak. Banyaknya jenis pajak yang dikenakan, membuat jumlah total pajak yang harus dibayarkan oleh investor menjadi mahal dan berpotensi dapat mematikan industri kripto di Indonesia," bebernya.
Maka dari itu, menurut Oscar, industri ini membutuhkan sebuah trigger atau pemicu untuk merangsang pertumbuhannya. Salah satu cara yang paling efektif dengan melakukan peninjauan kembali besaran nominal pajak kripto di Indonesia melalui penghapusan besaran PPn dan hanya dikenakan PPh.
"Karena dalam waktu dekat industri kripto dari Bappebti akan dialihkan ke OJK. Artinya kripto akan menjadi bagian dari industri keuangan. Maka dari itu, tidak tepat jika masih dikenakan PPn dan diharapkan pajaknya bisa menjadi 0,1 persen," imbuh dia.
Sementara itu, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi Bappebti, Tirta Karma Senjaya, mengatakan jika lebih dari 50 persen pajak fintech dihasilkan oleh pajak kripto.
"Memang adanya pengenaan pajak di industri kripto dapat menambah pendapatan negara kurang lebih Rp 259 miliar. Pajak kripto pun berkontribusi lebih dari 50 persen dalam industri fintech. Regulasi ini lahir untuk mengatur, bukan mengekang ataupun menghambat," ungkapnya.
"Namun ternyata adanya regulasi ini dalam implementasinya berdampak di pasar dan menambah biaya yang harus dibayarkan oleh investor," ia menambahkan.
Perlu Pertimbangan
Tirta juga mengakui, adanya pengenaan pajak dalam industri kripto ini perlu dilakukan pertimbangan kembali.
"Saat ini banyak investor kripto yang bertransaksi di global. Maka dari itu, memang perlu diadakan evaluasi dan pertimbangan kembali atas pengenaan pajak ini. Harapannya, dari total pajak yang dikenakan saat ini, investor kripto bisa dikenakan setengahnya saja," sebutnya.
Ia menuturkan, evaluasi ini harus dilakukan bersama-sama antara asosiasi, regulator, dan para pelaku usaha. "Karena industri ini masih embrio, penting juga untuk memperhatikan peluang pertumbuhan. Terlebih lagi, industri kripto akan menjadi salah satu bagian dari sektor keuangan," tegasnya.
"Oleh karena itu, diperlukan audiensi bersama-sama Bappebti, OJK, Dirjen Pajak, pelaku industri, hingga asosiasi untuk menentukan nominal pajak yang sesuai," papar Tirta.
Hal senada dikatakan Asih Kerniangsih, Direktur Eksekutif Asparkrindo. Dia menuturkan, satu hal yang perlu diperhatikan dari dampak pengenaan pajak ini adalah daya saing exchange crypto di Indonesia.
"Pengenaan pajak membuat para investor kripto di Indonesia beralih untuk bertransaksi ke luar negeri. Oleh karena itu, perlu penyesuaian untuk mencegah hal tersebut karena dapat berdampak pada daya saing exchange crypto dalam negeri. Terlebih aset kripto akan menjadi salah satu bagian dari sektor keuangan," tuturnya.
Advertisement
Kantongi Pajak Kripto Rp 506,4 Miliar, DJP Buka Suara soal Permintaan Evaluasi
Sebelumnya diberitakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan buka suara soal permintaan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) untuk mengevaluasi penerapan pajak kripto.
Permintaan evaluasi ini dilakukan lantaran industri kripto dianggap masih baru dan butuh berkembang. Bappebti menilai pengenaan pajak kripto seharusnya dilakukan saat industri bersangkutan sudah maju.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP.Kementerian Keuangan Dwi Astuti mengatakan, segala masukkan baik dari pelaku industri atau masyarakat umumnya pasti akan dibahas secara internal.
"Masukkan dari Bappebti, masyarakat kita terima. Pasti akan dibicarakan secara internal," tegas dia di Jakarta, Rabu (28/2/2024).
Menurut catatannya, dari 33 exchanger sebagai pemungut pajak kripto, total setoran pajak yang diperoleh sejak Mei 2022 hingga Januari 2024 sebesar Rp 506,4 miliar.
"Di tahun 2024 sendiri, sampai dengan Januari itu Rp 39,13 miliar," jelas Dwi.
Untuk diketahui, pajak yang dipungut untuk transaksi kripto di antaranya bagi penjual aset kripto yakni pajak penghasilan (PPh) dan bagi pembeli aset kripto dinamakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
PPh untuk penjual aset kripto terdaftar pajak yang harus dibayarkan sebesar 0,1 persen dari nilai transaksi, sementara PPN adalah 0,11 persen dari nilai transaksi. Sementara yang belum terdaftar di Bappebti, pungutan pajaknya lebih tinggi yakni PPh 0,2 persen dan PPN sebesar 0,22 persen.
Adapun ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022, yang berlaku sejak 1 Mei 2022.
Menambah Biaya
Terkait hal ini, Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Tirta Karma Senjaya menuturkan, pajak kripto di Indonesia berdampak kepada nilai transaksi kripto dalam negeri.
"Dengan pengenaan pajak sebesar saat ini menambah biaya bagi para nasabah. Banyak nasabah yang transaksi di exchange luar negeri,” kata Tirta.
Tirta menambahkan, pengenaan dua pajak untuk aset kripto yaitu PPH dan PPN karena aset kripto saat ini masih dianggap sebagai barang komoditas. Tirta berharap pajak kripto bisa dikenakan setengahnya mengingat industri kripto di tanah air yang masih baru.
"Kalau dikenakan langsung besar, industri kripto Indonesia masih embrio. Secara keseluruhan industri kripto masih baru. Industri yang masih baru perlu diberi ruang untuk bertumbuh,” ujar Tirta.
Advertisement