Liputan6.com, Jakarta - Harga Bitcoin (BTC) masih bergerak di kisaran USD 94.000 hingga USD 100.000 (setara hingga Rp 1,625 miliar) sepanjang 14 hari terakhir tanpa berhasil keluar dari zona tersebut.
Tekanan semakin terasa setelah arus keluar dari perdagangan ETF Bitcoin Spot di Amerika Serikat (AS) sebesar USD 585,65 juta, atau setara Rp 9,5 triliun (kurs Rp 16.250 per dolar AS) selama periode 10-14 Februari 2025, menurut data SoSoValue.
Advertisement
Baca Juga
Penurunan ini dipicu oleh komentar hawkish Ketua The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral AS, Jerome Powell, serta data inflasi Amerika Serikat (AS) pekan lalu yang lebih tinggi dari perkiraan.
Advertisement
Inflasi tahunan AS di tercatat naik menjadi 3 persen pada Januari 2025, sementara inflasi inti mencapai 3,3 persen, sehingga memicu kekhawatiran pasar. Akibatnya, kapitalisasi pasar aset kripto turun 5 persen, dan Bitcoin sempat jatuh di bawah USD 95.000 (Rp 1,54 miliar).
Powell menegaskan, suku bunga kemungkinan tetap tinggi lebih lama untuk menekan inflasi. Komentar itu mengecewakan investor yang berharap pemangkasan lebih cepat.
Selain faktor kebijakan The Fed, sentimen pasar juga tertekan oleh kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump terhadap Kanada, Meksiko, dan China. Kombinasi faktor ini membuat aset berisiko, termasuk Bitcoin, berada di bawah tekanan.
Financial Expert Ajaib Panji Yudha mengatakan, Fear and Greed Index Bitcoin pun merosot ke zona Fear setelah rilis data Consumer Price Index (CPI), mencerminkan meningkatnya ketidakpastian di pasar.
"Selama hampir dua minggu, Bitcoin bergerak di kisaran USD 94.000 hingga USD 100.000 tanpa berhasil menembus level tersebut atau mengalami penurunan signifikan. Pergerakan harga cukup tajam, di mana BTC berpotensi naik ke USD 105.000 jika mampu menembus resistensi psikologis di USD 100.000," terangnya, Rabu (19/2/2025).
"Namun, jika BTC turun di bawah USD 94.000, koreksi lebih lanjut dapat terjadi dengan support berikutnya di sekitar USD 91.000 (Rp 1,47 miliar)," dia menegaskan.
Bersiap Hadapi Volatilitas
Pekan ini, pelaku pasar kripto bersiap menghadapi data ekonomi AS yang dapat memicu volatilitas. Fokus utama tertuju pada risalah FOMC Januari 2025 yang dirilis 19 Februari, memberikan wawasan terkait kebijakan suku bunga The Fed.
Pernyataan Jerome Powell yang tidak terburu-buru menurunkan suku bunga, meski ada tekanan dari Donald Trump, semakin diperhatikan pasar.
Selain itu, laporan klaim pengangguran awal pada 22 Februari akan menjadi indikator penting. Pekan lalu, angka klaim turun ke 213.000, lebih rendah dari perkiraan. Jika angka ini kembali naik, pasar dapat mengantisipasi potensi pemangkasan suku bunga lebih cepat, yang bisa meningkatkan daya tarik Bitcoin sebagai aset alternatif.
Terakhir, data Sentimen Konsumen AS dari University of Michigan pada 23 Februari dapat mempengaruhi pasar. Optimisme konsumen dapat mendorong permintaan terhadap aset berisiko, termasuk Bitcoin.
Sebaliknya, ekspektasi inflasi yang meningkat bisa membuat investor beralih ke aset lebih aman, memperkuat spekulasi The Fed akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama.
Advertisement
Tunggu Gebrakan Trump
Para investor menunggu gebrakan kebijakan ekonomi dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Khususnya dalam pemangkasan suku bunga bank sentral AS, The Fed yang ditunggu oleh para investor dan pedagang kripto.
Saat ini, suku bunga telah turun sebesar 100 basis poin (bps) dari level tertingginya, yakni 5,5 persen. Level ini sebelumnya merupakan yang tertinggi sejak krisis finansial global 2008.
Keputusan pemangkasan suku bunga diambil oleh The Fed sebagai respons terhadap penurunan inflasi yang signifikan, dari puncaknya di 9 persen menjadi 3 persen dalam kurun waktu 18 bulan terakhir.
Namun, pejabat bank sentral masih menunggu inflasi mencapai target 2 persen sebelum mempertimbangkan pemangkasan suku bunga tambahan. Sehingga, kebijakan moneter saat ini diduga akan tetap dipertahankan, tanpa adanya pemangkasan lebih lanjut dalam waktu dekat.
Analis Nanovest dalam siaran pers resminya menyampaikan, investor kripto dan saham berharap suku bunga The Fed dapat terus turun hingga ke level 2,5 persen. Dengan kata lain, pemangkasan tambahan sebesar 200 bps dari posisi saat ini.
"Suku bunga yang lebih rendah akan memberikan dorongan bagi pasar keuangan, meningkatkan likuiditas, serta memperkuat daya beli konsumen. Namun, kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh Donald Trump, khususnya terkait penerapan tarif impor, berpotensi menggagalkan skenario tersebut," tulis Analis Nanovest.
"Jika kebijakan tarif yang agresif terus diterapkan, bukan tidak mungkin The Fed justru akan mengambil langkah sebaliknya. Menaikkan kembali suku bunga untuk mengendalikan dampak inflasi yang timbul akibat kebijakan proteksionis tersebut," beber dia.
Disclaimer: Setiap keputusan investasi ada di tangan pembaca. Pelajari dan analisis sebelum membeli dan menjual Kripto. Liputan6.com tidak bertanggung jawab atas keuntungan dan kerugian yang timbul dari keputusan investasi.
