Meluapkan Emosi Negatif, Salah Satu Seni Penerimaan Diri bagi Orangtua dengan Anak Disabilitas

Praktisi terapi kebiasaan kognitif (CBT) sekaligus ibu dari anak penyandang tuli, cerebral palsy, dan disabilitas intelektual, Grace Melia, membagikan cara atau seni penerimaan diri bagi para orangtua dengan anak berkebutuhan khusus.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 29 Okt 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 29 Okt 2020, 12:00 WIB
Ilustrasi anak disabilitas
Ilustrasi anak disabilitas. (Liputan6.com/Arya Manggala)

Liputan6.com, Jakarta Praktisi terapi kebiasaan kognitif (CBT) sekaligus ibu dari anak penyandang tuli, cerebral palsy, dan disabilitas intelektual, Grace Melia, membagikan cara atau seni penerimaan diri bagi para orangtua dengan anak berkebutuhan khusus.

Menurut Grace, penerimaan diri adalah hal yang sangat personal dan kompleks karena penerapannya tidak hanya bisa dengan teori.

“Tidak hanya bisa dengan teori, kita tahu teori ini itu dan tiba-tiba langsung bisa menerima diri dan anak-anak kita yang berkebutuhan khusus. Menurut saya ini perjalanan yang tidak sebentar,” ujar Grace dalam webinar Konekin ditulis pada Rabu (28/10/2020).

Anaknya yang menyandang disabilitas kompleks, Aubrey, kini sudah menginjak usia 8 tahun, namun, proses penerimaan diri tetap menjadi perjalanan tersendiri baginya.

“Punya anak berkebutuhan khusus itu buat saya rasanya campur aduk. Kalau saya bilang bisa langsung legowo, itu bohong, karena sama sekali tidak seperti itu. Justru sebaliknya benar-benar down-nya itu banyak banget buat saya.”

Walau demikian, perlahan ia mulai menerima. Menurutnya, emosi yang paling banyak dirasakan adalah khawatir akan masa depan anaknya. Sering juga ia merasa sendiri ketika melihat anak difabel lain mulai mengalami perkembangan namun anaknya masih di titik yang sama.

Dulu, ia mengaku sempat memendam emosi-emosi itu dan takut mengutarakannya karena khawatir dibilang tidak bersyukur. Namun, sesuai ilmu mental yang ia pelajari, emosi-emosi tersebut seharusnya dikeluarkan.

“Kita sebagai manusia, kita perlu punya waktu untuk menanyakan kabar untuk diri sendiri. Kita perlu tahu bahwa perasaan-perasaan lelah dan lain-lain itu ada dan harus kita akui.”

Emosi negatif yang terlalu lama dipendam lama kelamaan akan berpengaruh pada fisik, katanya. Contoh, kepala menjadi pusing, leher berat dan kaku, itu merupakan tanda fisik yang ikut merasakan emosi.

Simak Video Berikut Ini:

Menulis Buku Anak

Pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus memicu Grace untuk menulis berbagai buku tentang disabilitas. Ia memiliki tujuan untuk mengedukasi anak-anak di Indonesia agar mengenal dunia disabilitas.

Menurutnya, jika anak-anak diajarkan nilai inklusi maka mereka dapat menerima teman difabel dan mengetahui bagaimana cara membantu atau menolong mereka dalam pergaulan sehari-hari.

“Setelah menjadi ibunya Ubi (panggilan Aubrey) saya juga sudah menulis buku tentang rubella karena Ubi kebutuhan khususnya disebabkan kongenital rubella syndrome. Baru-baru ini saya juga membuat buku anak untuk mengenalkan anak-anak pada disabilitas.”

Infografis Disabilitas

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta
Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya