Liputan6.com, Jakarta Konflik bersenjata membawa dampak negatif bagi masyarakat termasuk anak penyandang disabilitas yang tinggal di sekitar titik perang.
Selama konflik bersenjata, anak-anak penyandang disabilitas terperangkap dalam lingkaran kekerasan, polarisasi sosial, memburuknya pelayanan dan memperdalam kemiskinan.
Baca Juga
Dalam lembar diskusi Children with Disabilities in Situations of Armed Conflict yang dirilis United Nations Children’s Fund (UNICEF) pada 2018, diperkirakan jumlah anak dengan disabilitas di bawah usia 15 secara global mencapai 93 hingga 150 juta. Di lapangan, jumlah ini bahkan dapat lebih besar lagi.
Advertisement
Meskipun upaya pemenuhan hak mereka telah meningkat, anak perempuan dan laki-laki penyandang disabilitas tetap berada di antara yang paling terpinggirkan dan menjadi segmen populasi yang dikecualikan.
Ini semakin diperparah oleh situasi konflik bersenjata. Hambatan sehari-hari bagi anak disabilitas semakin nyata ketika infrastruktur hancur dan berbagai layanan tidak dapat diakses.
Akibatnya, mereka semakin termarginalisasi karena tidak dapat mengakses sekolah, layanan kesehatan dan psikososial, atau sarana untuk melarikan diri dari konflik.
Simak Video Berikut Ini
Rentan Kekerasan
Ketika sistem dan layanan rusak, anak-anak juga akan lebih rentan menerima kekerasan. Sebuah tinjauan studi menunjukkan bahwa anak-anak penyandang disabilitas lebih mungkin mendapat kekerasan ketimbang non disabilitas.
Bukan hanya kekerasan fisik, anak juga rentan mendapat kekerasan seksual. Kerentanan ini meningkat dalam krisis kemanusiaan.
Sejarah memberikan beberapa contoh seperti Nazi yang memusnahkan orang dewasa dan anak-anak dengan disabilitas, dan pembantaian warga sipil penyandang disabilitas di rumah sakit jiwa selama genosida Rwanda.
Advertisement
Gangguan Jangka Panjang
Cedera yang diderita oleh banyak anak selama konflik bersenjata juga dapat menyebabkan gangguan jangka panjang.
Ada enam pelanggaran berat terhadap hak dan perlindungan anak dalam konflik bersenjata yang menjadi agenda Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Keenam pelanggaran tersebut yakni:
-Membunuh dan melukai anak.
-Perekrutan dan penggunaan anak-anak.
-Pemerkosaan atau kekerasan seksual lainnya.
-Penculikan.
-Serangan terhadap sekolah atau rumah sakit.
-Penyangkalan dari akses kemanusiaan.
“Pelanggaran berat dapat terjadi dalam bentuk cedera fisik dan psikologis yang dapat menyebabkan gangguan jangka panjang,” mengutip lembar diskusi UNICEF yang ditulis Edward Thomas dan timnya, ditulis Kamis (10/3/2022).
Infografis Reaksi Global terhadap Serbuan Rusia ke Ukraina
Advertisement