Di Balik Segudang Prestasi Stephanie Handojo, Sang Ibu Cerita Perjuangan Putrinya di Tengah Stigma Down Syndrome

Bagi ibunda Fani, Maria Yustina, perjalanan panjang hingga putrinya memiliki banyak prestasi tidaklah mudah. Sejak kecil, Fani kerap dianggap 'berbeda' lantaran dengan kondisi down syndrome.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 21 Mar 2023, 20:49 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2023, 20:00 WIB
Stephanie Handojo dan Ibunya Maria Yustina
Anak down syndrome berprestasi, Stephanie Handojo bersama sang ibu Maria Yustina. Dok. pribadi

Liputan6.com, Jakarta Nama Stephanie Handojo (31) di berbagai event disabilitas mungkin telah dikenal sebagian kalangan. Terutama di bidang olahraga dan seni, Stephanie kerap mengharumkan nama Indonesia di berbagai event internasional.

Pada 2009 misalnya, Fani--sapaan akrab Stephanie tercatat di MURI sebagai anak berkebutuhan khusus (down syndrome) yang memainkan 22 lagu secara nonstop dengan Piano pada 2009 di Semarang, Jawa Tengah.

Pada 2011, Fani meraih medali emas di Special Olympics World Summer Games di Athena, Yunani. Lalu setahun kemudian, ia juga menjadi salah satu pemegang obor OLYMPIADE LONDON 2012 di Nottingham yang terpilih melalui Program International Inspiration yang dipilih oleh UNICEF dan British Council (Terpilih dari 12 juta anak di 20 negara, dan ia menjadi satu-satunya anak berkebutuhan khusus).

Selama berturut-turut, Fani terus menunjukkan kemampuannya di bidang olahraga seperti bowling dan renang. Ia pernah meraih 1 medali emas (single) dan 1 medali perak di ajang Asia Ten Pin Bowling Championship di Manila 2018.

Lalu pada Pekan Olahraga National(PORNAS SOIna) 2018 di Pekanbaru-Riau, bidang Bowling, ia mendapat 1 medali emas (single) dan 1 medali Perak (double).

Di bidang renang, ia meraih 3 emas di Singapore National Games 2010, lalu medali emas dan perak di Australia di New Castle (Special Olympics Asia Pacific) 2013, dan meraih medali Emas di USA (Los Angeles) pada 2014, dan 3 medali emas di Singapore National games 2017.

Proses Panjang Anak Down Syndrome Berprestrasi

Bagi ibunda Fani, Maria Yustina, perjalanan panjang hingga putrinya memiliki banyak prestasi tidaklah mudah. Sejak kecil, Fani kerap dianggap "berbeda".

"Fani juga mengalami kok apa yang dialami anak down syndrome lainnya. Dari kecil leher lemah, lidahnya sering keluar. Sampai dia bisa jadi pembicara di seminar seperti sekarang itu melalui proses panjang, nggak gampang," kenang Yustina.

"Tahun 1991 nggak ada yang saya tanyai. Internet pun saya gaptek (gagap teknologi). Akhirnya saya program sendiri untuk meningkatkan kemampuannya. Pertama itu motoriknya, lalu saya rangsang terus supaya bisa bicara," kata wanita yang merupakan salah satu founder Komunitas Peduli Down Syndrome (KPDS) ini saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (21/3/2023) tepat di Hari Down Syndrome Sedunia.

 

 

Pentingnya Mengajarkan Anak Down Syndrome Berbicara

Bagi Yustina, mengajarkan anak berbicara membuat dirinya paham apa yang diinginkan Fani. Begitu pun jika ada yang ingin disampaikan olehnya, Fani bisa mengerti dengan jelas.

"Anak down syndrome itu harus bisa bicara, menurut saya ya. Karena bagaimana dia mau mengerti kalau yang disampaikan tidak mengerti. Jadi harapannya komunikasi 2 arah. Anak mengerti saya ngomong apa, itu yang utama," kata Yustina.

Mengenalkan Alam

Selain mengajak anak berkomunikasi, Yustina juga seringkali mengenalkan alam, hewan, dan lingkungan sekitar pada Fani. Di rumahnya, ada kelinci, anjing, ikan, burung, bahkan tokek untuk menstimulasi panca-inderanya.

"Anak down syndrome harus lihat, pegang beneran hewan dan apa yang ada di sekitarnya. Itu bagus untuk motoriknya," katanya.

Di sini, kata Yustina, peran orangtua lah yang penting. Sebab sampai saat ini ia masih mendorong Fani agar terus berkomunikasi dengan baik dengan belajar intonasi atau nada yang tepat saat bicara. Fani pun mau berlatih berkomunikasi dengan membaca alkitab di gereja atau menjadi MC di beberapa event.

"Pendampingan orangtua nggak bisa lepas. Seumur hidup kita harus dampingi dia. Saya merasa bersyukur Fani tipe anak yang memiliki kemauan keras, gigih tapi juga penurut sehingga mudah mengarahkannya," katanya.

Kesulitan Mendapat Sekolah

Untuk menyekolahkan Fani, begitu sulit awalnya, lanjut Yustina. Belum banyak sekolah inklusi kala itu sehingga beberapa sekolah menolak menerima Fani.

Meski begitu, Yustina tidak menyerah untuk selalu menyemangati Fani kecil agar selalu percaya diri dan terus mencari sekolah yang terbaik.

"Fani sempat masuk SLB (Sekolah Luar Biasa), tapi dia terus naik 2 kelas karena terlalu unggul dari temannya. Jadi saya optimis dia masuk sekolah umum. Dan ternyata dia bisa sekolah umum. Lalu dia masuk SMIP (Sekolah Menengah Industri Pariwisata) dan ambil jurusan perhotelan," jelasnya.

Tak ada yang menyangka perkembangan komunikasi maupun sosialnya begitu pesat. Sejak 2013 hingga kini, Stephanie berwirausaha mandiri dengan membuka usaha laundry DRESSCARE-Dry Cleaning di Kelapa Gading, Jakarta.

 

 

Kerja Keras Berbuah Keberhasilan

Yustina ingat bagaimana perjuangan Fani hingga akhirnya diakui dan mendapatkan sejumlah penghargaan.

Sejak kecil, Fani senang bermain piano hingga akhirnya ditantang untuk masuk MURI. Ia latihan hingga 5 jam sehari.

"Dia ditantang main 22 lagu non-stop oleh MURI dalam waktu satu setengah bulan. Awalnya ragu, bisa nggak ya. Tapi saya minta kerjasama gurunya. Saat itu saya lihat Fani sungguh-sungguh latihan sampai 5 jam sehari, setiap satu jam istirahat sebentar, main lagi sampai kelelahan," katanya.

Begitu pun saat latihan renang. Fani sering terlihat capek. Namun ia terus menunjukkan keseriusannya berlatih renang. "Dia senang air, jadi saya cari pelatih special olympic tapi ternyata dia unggul. Jadi saya cari guru Pelatnas, nggak apa-apa tertinggal tapi dia ternyata jadi lebih terpacu semangatnya," katanya.

Pada satu waktu, Fani enggan berenang karena sempat tenggelam. Yustina kala itu hanya menyemangati dan mendorong anaknya supaya terus latihan.

"Dia pernah nangis jerit di sports club, kayaknya capek. Saya pijat, lalu mau mulai lagi. Dia juga pernah tenggelam sampai akhirnya pelan-pelan saya dorong dan dalam waktu 3 bulan mulai percaya diri lagi."

Melihat ketekunan Fani, Yustina optimis putrinya memiliki mental atlet yang sportif. Ia mengatakan Fani tak merasa sedih kalau mendapat juara dua atau perak/perunggu.

"Iya, saya selalu bilang, kamu sudah berusaha Fan, nggak apa-apa juara dua. Kamu hebat. Jadi saya selalu tanamkan seperti itu."

Hari Down Syndrome Sedunia Jadi Momen Membersamai Anak

Yustina menilai, Hari Down Syndrome Sedunia yang diperingati setiap 21 Maret 2023 adalah momen berkat dari Tuhan untuk anak-anak down syndrome.

"Jangan berkecil hati, anak-anak ini anugrah, bukan bikin susah."

"Sebagai orangtua kita dipilih Tuhan untuk memberi kesempatan pada anak agar dia mendapat dukungan dan perhatian khusus. Jangan kita biarkan potensinya. Anak down syndrome juga bisa berprestasi dengan kesempatan dan dukungan dari keluarga."

"Beri kesempatan anak untuk happy. Anak down syndrome sama dengan anak lain yang butuh perhatian dan fasilitas untuk dia berkembang. Mereka juga berhak untuk tampil, menunjukkan bakatnya dan layak dihargai," pungkasnya.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya