Epilepsi Bisa Picu Disabilitas, Kenali Gejala, Diagnosis, dan Penanganannya

Pengidap epilepsi rentan mengalami disabilitas akibat perubahan emosi, perubahan perilaku, dan kesehatan mental.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 22 Okt 2024, 09:40 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2024, 09:40 WIB
Epilepsi Bisa Picu Disabilitas Kenali Gejala, Diagnosis, dan Penanganannya
Epilepsi Bisa Picu Disabilitas Kenali Gejala, Diagnosis, dan Penanganannya (sumber: freepik)

Liputan6.com, Jakarta Kejang yang terjadi di tempat dan waktu tak tentu kerap dikaitkan dengan epilepsi.

Epilepsi adalah kondisi yang ditandai oleh kejang berulang akibat aktivitas listrik abnormal di otak dan merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling umum. Kondisi ini memengaruhi sekitar 1 hingga 5 persen populasi di seluruh dunia.

Penyakit ini dapat muncul di semua kelompok usia, bisa terjadi pada anak-anak dan orang dewasa yang lebih tua. Penyakit ini juga tidak memandang etnis tertentu.

Pengidap epilepsi juga rentan mengalami disabilitas akibat perubahan emosi, perubahan perilaku, dan kesehatan mental. Menurut Ketua Lingkar Sosial Indonesia, Ken Kerta, orang dengan epilepsi atau ODE bisa mengalami depresi atau suasana hati yang rendah dan perasaan sedih yang berkepanjangan. ODE juga mengalami ansietas (kecemasan), perubahan suasana hati, fluktuasi emosi, bahkan pikiran bunuh diri akibat epilepsi yang dialami.

Sementara, menurut dokter spesialis saraf RS Siloam Lippo Village Karawaci, Retno Jayantri Ketaren, kejang pada epilepsi bisa sangat bervariasi, mulai dari yang ringan hingga yang berat.

“Sangatlah penting untuk membedakan epilepsi dari gangguan kejang lainnya, seperti kejang febrile atau kejang akibat infeksi. Gangguan tersebut tidak berulang dan tidak disebabkan oleh masalah neurologis yang mendasar, sehingga pengetahuan tentang perbedaan ini sangat penting,” jelas Retno dalam keterangan pers, Senin, 21 Oktober 2024.

Apa Saja Gejala Umum Epilepsi?

Gejala epilepsi bervariasi tergantung pada jenis kejang dan individu yang terlibat. Beberapa gejala umum meliputi:

  • Kehilangan kesadaran.
  • Gerakan tak terkendali, seperti kejang tonik-klonik.
  • Sensasi aneh, seperti perasaan de javu atau halusinasi.

“Setiap individu mungkin mengalami gejala yang berbeda. Sementara beberapa pasien mungkin hanya mengalami kejang ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari, yang lainnya dapat mengalami kejang yang lebih kompleks dan mengganggu,” jelas Retno.

Bagaimana Diagnosis Epilepsi?

Diagnosis epilepsi dilakukan melalui serangkaian langkah yang mencakup pengumpulan riwayat medis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

Riwayat medis meliputi pertanyaan tentang frekuensi, durasi, dan karakteristik kejang sementara pemeriksaan fisik bertujuan untuk mengevaluasi kesehatan secara keseluruhan.

Sementara itu, pemeriksaan penunjang seperti electroencephalogram (EEG) dan MRI, membantu mengidentifikasi aktivitas listrik abnormal di otak dan mendeteksi kemungkinan lesi atau kelainan struktural.

Bagaimana Penanganan Epilepsi?

Dalam dunia medis dikenal istilah kejang epilepsi terkontrol. Ini merujuk pada keadaan saat kejang pasien dapat terkontrol secara frekuensi dan intensitas dengan pengobatan atau intervensi tertentu. Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah mencapai kontrol yang baik, di mana pasien mengalami penurunan signifikan dalam jumlah kejang yang dialami.

Tata laksana untuk epilepsi umumnya mencakup penggunaan obat antiepilepsi, yang bertujuan mengontrol kejang. Namun, tidak semua pasien merespons dengan baik terhadap obat. Dan dalam beberapa kasus, pembedahan atau terapi diet khusus juga dapat dipertimbangkan.

Pendekatan tata laksana harus disesuaikan dengan jenis kejang, usia, dan kondisi kesehatan pasien.

Penanganan Epilepsi dengan Vagus Nerve Stimulation

Salah satu inovasi dalam tata laksana epilepsi adalah Vagus Nerve Stimulation (VNS). Menurut dokter spesialis bedah saraf RS Siloam Lippo Village Karawaci, Made Agus Mahendra Inggas, prosedur ini melibatkan pemasangan perangkat yang merangsang saraf vagus untuk mengurangi frekuensi kejang.

“VNS biasanya ditawarkan kepada pasien yang tidak mendapatkan hasil yang memuaskan dari pengobatan antiepilepsi konvensional,” kata Made Agus dalam keterangan yang sama.

Pemasangan VNS dilakukan dengan anestesi umum. Sebuah perangkat kecil diimplan di bawah kulit dada dan dihubungkan ke saraf vagus di leher. Prosedur ini aman dan memiliki waktu pemulihan yang relatif singkat.

Setelah perangkat terpasang, VNS bekerja dengan memberikan impuls listrik teratur ke saraf vagus. Hal ini dapat membantu menstabilkan aktivitas listrik di otak, sehingga mengurangi frekuensi dan intensitas kejang.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas
Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya