Liputan6.com, Jakarta Pasal pencemaran nama baik telah menjadi topik perdebatan yang hangat dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia. Ketentuan hukum ini, yang dimaksudkan untuk melindungi reputasi individu, sering dikritik karena berpotensi membatasi kebebasan berekspresi. Artikel ini akan mengupas secara mendalam berbagai aspek terkait pasal pencemaran nama baik, mulai dari dasar hukumnya, implementasi dalam kasus-kasus nyata, hingga dampaknya terhadap iklim demokrasi di Indonesia.
Sejarah dan Latar Belakang Pasal Pencemaran Nama Baik
Ketentuan mengenai pencemaran nama baik sebenarnya telah ada sejak lama dalam sistem hukum Indonesia. Awalnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) warisan kolonial Belanda, pasal ini kemudian diadopsi dan dimodifikasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan modern.
Pada masa awal kemerdekaan, pencemaran nama baik diatur dalam Pasal 310 dan 311 KUHP. Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi kehormatan dan nama baik seseorang dari tuduhan atau pernyataan yang dapat merusak reputasinya di mata publik. Namun, seiring perkembangan zaman dan teknologi, muncul kebutuhan untuk mengatur pencemaran nama baik dalam konteks yang lebih luas, terutama terkait penyebaran informasi melalui media elektronik.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menandai babak baru dalam pengaturan pencemaran nama baik di era digital. Pasal 27 ayat (3) UU ITE secara khusus mengatur tentang pencemaran nama baik melalui media elektronik, dengan ancaman pidana yang lebih berat dibandingkan ketentuan dalam KUHP.
Advertisement
Bunyi Pasal Pencemaran Nama Baik dalam Berbagai Peraturan
Untuk memahami secara komprehensif ketentuan hukum terkait pencemaran nama baik, penting untuk mengetahui bunyi pasalnya dalam berbagai peraturan perundang-undangan:
- Pasal 310 ayat (1) KUHP:"Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
- Pasal 27 ayat (3) UU ITE:"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
- Pasal 45 ayat (3) UU ITE (setelah perubahan):"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)."
Perbedaan mendasar antara ketentuan dalam KUHP dan UU ITE terletak pada media yang digunakan untuk melakukan pencemaran nama baik. KUHP mengatur pencemaran nama baik secara umum, sementara UU ITE secara spesifik mengatur pencemaran nama baik melalui media elektronik.
Unsur-unsur Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik
Untuk dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik, suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur tertentu. Berdasarkan rumusan pasal-pasal yang telah disebutkan, unsur-unsur pencemaran nama baik meliputi:
- Kesengajaan (dolus/opzet): Pelaku harus memiliki niat atau maksud untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang.
- Tuduhan tentang suatu hal: Harus ada pernyataan atau tuduhan konkret yang ditujukan kepada seseorang.
- Maksud agar diketahui umum: Tuduhan tersebut dimaksudkan untuk diketahui oleh publik atau masyarakat luas.
- Tanpa hak: Khusus untuk UU ITE, perbuatan tersebut dilakukan tanpa izin atau persetujuan dari pihak yang bersangkutan.
- Melalui media elektronik: Untuk kasus yang diatur dalam UU ITE, pencemaran nama baik dilakukan melalui sistem elektronik seperti internet, media sosial, atau platform digital lainnya.
Penting untuk dicatat bahwa tidak semua kritik atau pernyataan negatif tentang seseorang dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Hukum memberikan pengecualian untuk pernyataan yang dibuat demi kepentingan umum atau dalam rangka membela diri.
Advertisement
Perkembangan Interpretasi Hukum Terkait Pencemaran Nama Baik
Seiring berjalannya waktu, interpretasi hukum terkait pencemaran nama baik telah mengalami perkembangan signifikan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah beberapa kali mengeluarkan putusan yang memberikan tafsir baru terhadap pasal-pasal pencemaran nama baik, terutama yang diatur dalam UU ITE.
Salah satu putusan penting adalah Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008, yang menyatakan bahwa pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE harus ditafsirkan dalam konteks yang sama dengan ketentuan serupa dalam KUHP. Ini berarti bahwa unsur "di muka umum" harus terpenuhi, dan pasal tersebut merupakan delik aduan, bukan delik biasa.
Lebih lanjut, Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 memberikan penafsiran baru terhadap Pasal 310 ayat (1) KUHP. Mahkamah menyatakan bahwa pasal tersebut inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup perbuatan "dengan cara lisan". Putusan ini bertujuan untuk menyesuaikan ketentuan KUHP dengan perkembangan dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) yang akan berlaku pada tahun 2026.
Perkembangan interpretasi hukum ini menunjukkan upaya untuk menyeimbangkan perlindungan terhadap kehormatan individu dengan jaminan kebebasan berekspresi yang merupakan hak fundamental dalam masyarakat demokratis.
Implementasi Pasal Pencemaran Nama Baik dalam Kasus-kasus Konkret
Penerapan pasal pencemaran nama baik dalam praktik peradilan di Indonesia telah memunculkan berbagai kontroversi dan perdebatan. Beberapa kasus yang menarik perhatian publik menggambarkan kompleksitas dan tantangan dalam mengimplementasikan ketentuan ini:
- Kasus Prita Mulyasari (2009): Prita, seorang ibu rumah tangga, dituntut oleh sebuah rumah sakit setelah mengirimkan email berisi keluhan tentang pelayanan yang diterimanya. Kasus ini memicu perdebatan luas tentang batasan kritik konsumen dan pencemaran nama baik.
- Kasus Florence Sihombing (2014): Mahasiswa pascasarjana ini dituntut atas tuduhan pencemaran nama baik setelah mengunggah status di media sosial yang dianggap menghina warga Yogyakarta. Kasus ini memunculkan diskusi tentang batas antara kebebasan berekspresi dan pencemaran nama baik di media sosial.
- Kasus Dandhy Dwi Laksono (2019): Jurnalis dan pembuat film dokumenter ini ditangkap atas tuduhan menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian terkait unggahannya di media sosial tentang situasi di Papua. Kasus ini menimbulkan kekhawatiran tentang penggunaan pasal pencemaran nama baik untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
- Kasus Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti (2021): Kedua aktivis HAM ini dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, atas tuduhan pencemaran nama baik setelah mereka mempublikasikan hasil riset tentang dugaan kepemilikan saham di perusahaan tambang. Kasus ini memicu perdebatan tentang penggunaan pasal pencemaran nama baik terhadap aktivis dan peneliti.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa implementasi pasal pencemaran nama baik seringkali bersinggungan dengan isu-isu sensitif seperti kebebasan berekspresi, kritik terhadap pemerintah atau korporasi, dan hak publik untuk mendapatkan informasi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa pasal tersebut dapat disalahgunakan untuk membungkam suara kritis atau mengintimidasi warga negara yang menyampaikan pendapat atau keluhan mereka.
Advertisement
Kritik dan Kontroversi Seputar Pasal Pencemaran Nama Baik
Keberadaan dan penerapan pasal pencemaran nama baik, terutama dalam UU ITE, telah menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Beberapa poin utama yang sering diangkat dalam kritik tersebut antara lain:
- Potensi pembatasan kebebasan berekspresi: Banyak pihak menilai bahwa pasal ini dapat digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik dan membatasi kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi.
- Ketidakjelasan definisi dan batasan: Kritik juga ditujukan pada ketidakjelasan definisi "pencemaran nama baik" yang dapat menimbulkan multitafsir dan berpotensi disalahgunakan.
- Ancaman pidana yang tidak proporsional: Sanksi pidana yang diancamkan, terutama dalam UU ITE, dianggap terlalu berat dan tidak sebanding dengan tindak pidana yang dilakukan.
- Potensi kriminalisasi terhadap jurnalis dan aktivis: Ada kekhawatiran bahwa pasal ini dapat digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis, aktivis, atau whistleblower yang mengungkap informasi penting bagi publik.
- Dampak pada iklim demokrasi: Penggunaan pasal ini secara luas dianggap dapat menciptakan "chilling effect" di mana masyarakat menjadi takut untuk menyampaikan pendapat atau kritik.
Menanggapi berbagai kritik tersebut, pemerintah dan DPR telah beberapa kali melakukan revisi terhadap UU ITE, termasuk menurunkan ancaman pidana dan memperjelas definisi pencemaran nama baik. Namun, banyak pihak menilai bahwa perubahan tersebut belum cukup untuk mengatasi permasalahan mendasar dari pasal pencemaran nama baik.
Perbandingan dengan Negara Lain
Untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas, penting untuk membandingkan pengaturan pencemaran nama baik di Indonesia dengan praktik di negara-negara lain:
- Amerika Serikat: AS memiliki perlindungan yang sangat kuat terhadap kebebasan berekspresi melalui Amandemen Pertama. Pencemaran nama baik umumnya ditangani melalui gugatan perdata, bukan pidana. Beban pembuktian ada pada pihak yang merasa dicemarkan, terutama untuk figur publik.
- Inggris: Meskipun masih memiliki undang-undang pencemaran nama baik, Inggris telah melakukan reformasi signifikan pada tahun 2013 untuk memperkuat perlindungan terhadap kebebasan berekspresi. Pencemaran nama baik lebih sering ditangani melalui jalur perdata.
- Jerman: Pencemaran nama baik masih diatur dalam hukum pidana, namun penerapannya lebih hati-hati dan seimbang. Ada perlindungan khusus untuk pernyataan yang dibuat demi kepentingan umum.
- Filipina: Pada tahun 2012, Filipina menghapuskan pencemaran nama baik dari hukum pidana dan mengalihkannya ke ranah perdata, meskipun masih ada pengecualian untuk kasus-kasus tertentu.
- Jepang: Pencemaran nama baik diatur dalam hukum pidana dan perdata. Namun, ada pengecualian untuk pernyataan yang dibuat demi kepentingan umum dan dapat dibuktikan kebenarannya.
Perbandingan ini menunjukkan bahwa banyak negara cenderung bergerak menuju dekriminalisasi pencemaran nama baik atau setidaknya memberikan perlindungan yang lebih kuat terhadap kebebasan berekspresi. Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara ini dalam menyeimbangkan perlindungan reputasi individu dengan jaminan kebebasan berekspresi.
Advertisement
Dampak Pasal Pencemaran Nama Baik terhadap Kebebasan Pers
Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan dalam diskusi tentang pasal pencemaran nama baik adalah dampaknya terhadap kebebasan pers. Jurnalis dan media massa memiliki peran vital dalam demokrasi sebagai penyedia informasi dan pengawas kekuasaan. Namun, keberadaan pasal pencemaran nama baik, terutama dalam UU ITE, telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan jurnalis.
Beberapa dampak yang dirasakan oleh komunitas pers antara lain:
- Ancaman kriminalisasi: Jurnalis merasa terancam dengan kemungkinan dijerat pasal pencemaran nama baik ketika melaporkan isu-isu sensitif atau mengkritik pejabat publik dan korporasi.
- Self-censorship: Ketakutan akan tuntutan hukum dapat mendorong jurnalis dan media untuk melakukan sensor diri, menghindari topik-topik kontroversial, dan pada akhirnya mengurangi kualitas informasi yang diterima publik.
- Hambatan dalam investigasi: Pasal pencemaran nama baik dapat digunakan sebagai alat untuk menghalangi jurnalis melakukan investigasi mendalam terhadap kasus-kasus korupsi atau pelanggaran HAM.
- Intimidasi terhadap sumber berita: Ancaman hukum juga dapat membuat sumber-sumber potensial enggan berbicara kepada jurnalis, khawatir akan konsekuensi hukum.
- Beban finansial: Tuntutan hukum, bahkan jika akhirnya dimenangkan oleh jurnalis, dapat membebani media massa secara finansial dan mengancam keberlangsungan mereka.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat setidaknya ada 4 jurnalis yang pernah dijerat oleh polisi dan jaksa penuntut umum dengan pasal pencemaran nama baik dan penyebaran berita bohong dalam UU ITE. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa kekhawatiran komunitas pers bukan tanpa alasan.
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa pihak mengusulkan agar ada perlindungan khusus bagi jurnalis dalam menjalankan tugas profesional mereka. Namun, hal ini juga menimbulkan perdebatan tentang definisi "jurnalis" di era di mana batas antara jurnalisme profesional dan citizen journalism semakin kabur.
Upaya Reformasi dan Revisi UU ITE
Menanggapi berbagai kritik dan kontroversi seputar pasal pencemaran nama baik, terutama dalam UU ITE, pemerintah dan DPR telah melakukan beberapa upaya reformasi. Beberapa langkah yang telah diambil antara lain:
- Revisi UU ITE tahun 2016: Perubahan ini menurunkan ancaman pidana maksimal dari 6 tahun menjadi 4 tahun dan menambahkan penjelasan bahwa ketentuan pencemaran nama baik mengacu pada ketentuan dalam KUHP.
- Penerbitan SKB 3 Menteri tahun 2021: Surat Keputusan Bersama ini memberikan pedoman interpretasi pasal-pasal dalam UU ITE, termasuk pasal pencemaran nama baik, untuk menghindari multitafsir.
- Rencana revisi kedua UU ITE: Pemerintah dan DPR telah menyatakan komitmen untuk melakukan revisi lebih lanjut terhadap UU ITE, termasuk kemungkinan menghapus atau merevisi pasal-pasal yang dianggap bermasalah.
Namun, banyak pihak menilai bahwa upaya-upaya tersebut belum cukup untuk mengatasi permasalahan mendasar dari pasal pencemaran nama baik. Beberapa usulan yang sering diajukan untuk reformasi lebih lanjut antara lain:
- Dekriminalisasi pencemaran nama baik: Mengalihkan penanganan kasus pencemaran nama baik dari ranah pidana ke ranah perdata.
- Memperkuat unsur "kepentingan umum": Memberikan perlindungan lebih kuat untuk pernyataan yang dibuat demi kepentingan umum atau dalam konteks kritik terhadap kebijakan publik.
- Menaikkan standar pembuktian: Mewajibkan penuntut untuk membuktikan adanya niat jahat (malice) dalam kasus pencemaran nama baik, terutama untuk figur publik.
- Membatasi penggunaan penahanan: Menghindari penahanan dalam kasus pencemaran nama baik kecuali dalam situasi yang sangat khusus.
- Memperkuat peran mediasi: Mendorong penyelesaian kasus pencemaran nama baik melalui mediasi sebelum masuk ke proses hukum formal.
Proses reformasi ini tentu membutuhkan dialog yang intensif antara pemerintah, DPR, masyarakat sipil, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya untuk mencapai keseimbangan yang tepat antara perlindungan reputasi individu dan jaminan kebebasan berekspresi.
Advertisement
Peran Teknologi dan Media Sosial dalam Konteks Pencemaran Nama Baik
Perkembangan teknologi, terutama media sosial, telah mengubah secara drastis lanskap komunikasi dan penyebaran informasi. Hal ini membawa implikasi signifikan terhadap isu pencemaran nama baik:
- Kecepatan dan jangkauan penyebaran informasi: Media sosial memungkinkan informasi, termasuk yang berpotensi mencemarkan nama baik, menyebar dengan sangat cepat dan luas.
- Anonimitas: Platform online sering memungkinkan pengguna untuk menyembunyikan identitas mereka, yang dapat mempersulit proses hukum dalam kasus pencemaran nama baik.
- Konteks yang hilang: Sifat singkat dan cepat komunikasi di media sosial dapat menghilangkan konteks, meningkatkan risiko kesalahpahaman.
- Permanensi digital: Informasi yang diunggah online dapat bertahan lama dan sulit dihapus sepenuhnya, memperparah dampak potensial dari pencemaran nama baik.
- Lintas batas: Sifat global internet menimbulkan tantangan yurisdiksi dalam penanganan kasus pencemaran nama baik lintas negara.
Menghadapi tantangan-tantangan ini, beberapa pendekatan yang diusulkan antara lain:
- Peningkatan literasi digital: Mendidik masyarakat tentang penggunaan media sosial yang bertanggung jawab dan dampak potensial dari unggahan mereka.
- Kerjasama dengan platform teknologi: Mendorong platform media sosial untuk mengembangkan mekanisme yang lebih baik dalam menangani konten yang berpotensi mencemarkan nama baik.
- Pengembangan mekanisme penyelesaian sengketa online: Menciptakan jalur alternatif untuk menyelesaikan kasus pencemaran nama baik di dunia digital tanpa harus melalui proses pengadilan formal.
- Penyesuaian hukum: Memperbarui kerangka hukum untuk lebih baik mengakomodasi realitas komunikasi digital, termasuk mempertimbangkan faktor-faktor seperti jangkauan dan dampak potensial unggahan online.
Peran teknologi dalam konteks pencemaran nama baik menunjukkan bahwa pendekatan hukum tradisional mungkin tidak lagi memadai. Diperlukan pemikiran inovatif dan kolaborasi lintas sektor untuk menghadapi tantangan-tantangan baru ini.
Pendidikan Publik dan Literasi Digital
Salah satu aspek penting dalam mengatasi permasalahan seputar pencemaran nama baik di era digital adalah meningkatkan pemahaman publik melalui pendidikan dan literasi digital. Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi:
- Integrasi literasi digital dalam kurikulum pendidikan: Memasukkan materi tentang etika berkomunikasi online, dampak unggahan di media sosial, dan pemahaman tentang hukum yang berlaku di dunia digital ke dalam kurikulum sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
- Kampanye kesadaran publik: Melakukan kampanye edukasi masyarakat luas tentang penggunaan media sosial yang bertanggung jawab dan potensi konsekuensi hukum dari tindakan online.
- Pelatihan untuk profesional: Memberikan pelatihan khusus bagi jurnalis, aktivis, dan profesional lain yang sering berkomunikasi di ruang publik tentang cara menghindari tuduhan pencemaran nama baik sambil tetap melaksanakan peran mereka secara efektif.
- Kolaborasi dengan platform teknologi: Bekerja sama dengan perusahaan media sosial untuk mengembangkan dan mempromosikan fitur-fitur yang mendorong komunikasi yang lebih bertanggung jawab.
- Forum diskusi publik: Menyelenggarakan diskusi dan dialog publik tentang keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan reputasi di era digital.
Pendidikan dan literasi digital yang efektif dapat membantu mencegah kasus-kasus pencemaran nama baik sebelum terjadi, sekaligus meningkatkan kualitas diskusi publik secara keseluruhan.
Advertisement
Perspektif Hak Asasi Manusia dalam Pencemaran Nama Baik
Isu pencemaran nama baik memiliki dimensi hak asasi manusia yang kompleks, melibatkan keseimbangan antara hak atas reputasi dan kebebasan berekspresi. Beberapa pertimbangan penting dari perspektif HAM meliputi:
- Kebebasan berekspresi sebagai hak fundamental: Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang atas kebebasan berpendapat dan berekspresi. Pembatasan terhadap hak ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
- Perlindungan terhadap reputasi: Di sisi lain, Pasal 12 DUHAM juga melindungi individu dari serangan terhadap kehormatan dan nama baiknya. Ini menciptakan kebutuhan untuk menyeimbangkan dua hak yang sama-sama penting.
- Prinsip proporsionalitas: Pembatasan terhadap kebebasan berekspresi, termasuk melalui hukum pencemaran nama baik, harus proporsional dengan tujuan yang ingin dicapai dan tidak boleh lebih dari yang diperlukan.
- Standar internasional: Berbagai instrumen HAM internasional dan regional telah mengembangkan standar tentang bagaimana menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan perlindungan reputasi.
- Peran pengadilan HAM: Pengadilan HAM regional, seperti Pengadilan HAM Eropa, telah mengembangkan yurisprudensi penting tentang isu ini yang dapat menjadi referensi bagi negara-negara lain.
Dalam konteks Indonesia, penting untuk memastikan bahwa penerapan hukum pencemaran nama baik sejalan dengan komitmen negara terhadap perlindungan HAM sebagaimana tercantum dalam konstitusi dan perjanjian internasional yang telah diratifikasi.
Kesimpulan
Pasal pencemaran nama baik, baik dalam KUHP maupun UU ITE, merupakan isu yang kompleks dan multidimensi. Di satu sisi, ada kebutuhan yang sah untuk melindungi reputasi individu dari serangan yang tidak berdasar. Di sisi lain, penerapan yang terlalu ketat dari pasal ini dapat mengancam kebebasan berekspresi yang merupakan fondasi penting bagi masyarakat demokratis.
Beberapa poin kunci yang perlu diperhatikan dalam upaya reformasi ke depan:
- Keseimbangan: Mencari keseimbangan yang tepat antara perlindungan reputasi dan jaminan kebebasan berekspresi harus menjadi prioritas utama.
- Konteks digital: Revisi hukum harus mempertimbangkan realitas komunikasi di era digital, termasuk peran media sosial dan teknologi baru.
- Standar internasional: Indonesia dapat belajar dari praktik terbaik di negara lain dan standar internasional dalam menangani isu pencemaran nama baik.
- Pendekatan non-pidana: Perlu dipertimbangkan untuk lebih mengedepankan pendekatan perdata atau alternatif penyelesaian sengketa dalam kasus pencemaran nama baik.
- Edukasi publik: Peningkatan literasi digital dan pemahaman hukum di masyarakat dapat membantu mencegah kasus-kasus pencemaran nama baik.
- Perlindungan jurnalisme: Perlu ada jaminan khusus untuk melindungi kebebasan pers dan investigasi jurnalistik yang dilakukan demi kepentingan publik.
- Evaluasi berkelanjutan: Mengingat cepatnya perubahan lanskap digital, perlu ada mekanisme untuk mengevaluasi dan memperbarui hukum secara berkala.
Pada akhirnya, penanganan isu pencemaran nama baik memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan tidak hanya reformasi hukum, tetapi juga peningkatan kesadaran publik, pengembangan teknologi, dan penguatan institusi demokrasi. Dengan pendekatan yang seimbang dan berpihak pada kepentingan publik, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang melindungi reputasi individu sekaligus menjamin kebebasan berekspresi yang vital bagi perkembangan demokrasi.
Advertisement