Hari Raya Galungan Adalah Perayaan Suci Umat Hindu Bali: Makna, Tradisi, dan Rangkaiannya

Hari raya Galungan adalah perayaan kemenangan dharma atas adharma bagi umat Hindu Bali. Simak makna, tradisi, dan rangkaian upacaranya di sini.

oleh Liputan6 diperbarui 12 Nov 2024, 12:05 WIB
Diterbitkan 12 Nov 2024, 12:05 WIB
hari raya galungan adalah
hari raya galungan adalah ©Ilustrasi dibuat AI

Liputan6.com, Jakarta Hari raya Galungan merupakan salah satu perayaan terpenting bagi umat Hindu di Bali. Perayaan yang digelar setiap 210 hari sekali ini memiliki makna yang sangat dalam sebagai simbol kemenangan kebaikan (dharma) atas kejahatan (adharma). Mari kita telusuri lebih jauh tentang makna, tradisi, dan rangkaian upacara dalam perayaan Galungan yang penuh makna ini.

Pengertian dan Makna Hari Raya Galungan

Hari raya Galungan adalah perayaan suci umat Hindu Bali yang diselenggarakan setiap 210 hari sekali berdasarkan perhitungan kalender Bali. Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti "bertarung" atau "berperang". Perayaan ini jatuh pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan dalam penanggalan Bali.

Makna utama dari Galungan adalah untuk memperingati kemenangan dharma (kebenaran/kebajikan) atas adharma (kejahatan/ketidakbenaran). Umat Hindu meyakini bahwa pada hari Galungan, para dewa dan roh leluhur turun ke bumi untuk memberkati umat manusia. Karena itu, Galungan juga menjadi momen untuk menghaturkan rasa syukur dan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) serta para leluhur.

Dalam lontar Sunarigama, makna Galungan dijelaskan sebagai berikut:

"Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep."

Artinya: "Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran."

Jadi, inti dari perayaan Galungan adalah untuk menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang jernih. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri manusia. Sedangkan segala kekacauan pikiran dianggap sebagai wujud adharma yang harus dikalahkan.

Galungan juga dimaknai sebagai hari "Pawedalan Jagat" atau "Oton Gumi", yaitu hari kelahiran alam semesta. Meski begitu, bukan berarti alam semesta lahir pada hari Galungan. Melainkan hari itu ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia dan segala isinya.

Sejarah dan Asal-Usul Perayaan Galungan

Perayaan Galungan memiliki sejarah panjang yang berakar pada tradisi Hindu di Bali. Berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan tanggal 15 tahun Saka 804 atau 882 Masehi. Dalam lontar tersebut disebutkan:

"Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya."

Artinya: "Perayaan Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, Wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka (surga)."

Sejak saat itu, umat Hindu di Bali selalu merayakan Galungan dengan meriah setiap 210 hari sekali. Namun setelah dirayakan selama kurang lebih tiga abad, pada tahun 1103 Saka perayaan Galungan sempat terhenti. Hal ini terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan di Bali.

Konon, selama Galungan tidak dirayakan, terjadi berbagai musibah yang tidak henti-hentinya. Usia para pejabat kerajaan pun menjadi relatif pendek. Pada masa pemerintahan Raja Sri Jayakasunu, ia mulai mempertanyakan mengapa hal-hal tersebut terjadi.

Untuk mendapatkan jawabannya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang dikenal dengan istilah Dewa Sraya (mendekatkan diri pada Dewa). Dewa Sraya itu dilakukannya di Pura Dalem Puri, tidak jauh dari Pura Besakih.

Berkat kesungguhannya dalam bertapa, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau bisikan religius dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu, Dewi Durgha menjelaskan bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu, Dewi Durgha meminta agar Raja Sri Jayakasunu kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku.

Sejak saat itulah, perayaan Galungan kembali dihidupkan dan terus berlangsung hingga saat ini. Peristiwa ini menunjukkan betapa pentingnya Galungan bagi kehidupan spiritual dan sosial masyarakat Hindu Bali.

Rangkaian Upacara Menjelang Galungan

Perayaan Galungan bukan hanya berlangsung satu hari, melainkan terdiri dari serangkaian upacara yang dimulai jauh-jauh hari sebelumnya. Berikut adalah rangkaian upacara menjelang Galungan:

1. Tumpek Wariga

Tumpek Wariga jatuh 25 hari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Sabtu Kliwon Wuku Wariga. Pada hari ini, umat Hindu memuja Sang Hyang Sangkara sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam tugasnya sebagai pencipta dan pelindung segala tumbuh-tumbuhan di dunia.

Tradisi yang dilakukan pada Tumpek Wariga adalah menghaturkan banten (sesaji) berupa bubur sumsum (bubuh) berwarna-warni, antara lain:

  • Bubuh putih untuk umbi-umbian
  • Bubuh merah (bang) untuk tanaman padang-padangan
  • Bubuh hijau (gadang) untuk pohon yang berkembang biak secara generatif
  • Bubuh kuning untuk pohon yang berkembang biak secara vegetatif

Pada hari ini, semua pepohonan akan disirami tirta wangsuhpada (air suci) yang dimohonkan di Pura/Merajan. Pohon-pohon juga diberi sesaji berupa bubur tadi disertai canang pesucian, sesayut tanem tuwuh, dan sasat. Setelah selesai, pemilik pohon akan mengetuk atau mengelus batang pohon sambil mengucapkan harapan agar pohon tersebut dapat segera berbuah atau menghasilkan untuk upacara Galungan.

2. Sugihan Jawa

Sugihan Jawa berasal dari kata "sugi" yang berarti bersih/suci dan "jawa" yang berarti luar. Hari ini jatuh pada Kamis Wage Wuku Sungsang. Sugihan Jawa merupakan hari pembersihan atau penyucian segala sesuatu yang berada di luar diri manusia (Bhuana Agung).

Pada hari ini, umat Hindu melaksanakan upacara yang disebut Mererebu atau Mererebon. Tujuannya adalah untuk menetralisir segala hal negatif yang ada di Bhuana Agung, yang disimbolkan dengan pembersihan Merajan (tempat suci keluarga) dan rumah.

Dalam upacara Ngerebon ini, di lingkungan Sanggah Gede, Panti, Dadya, hingga Pura Kahyangan Tiga/Kahyangan Desa akan menghaturkan banten sesuai kemampuan. Biasanya untuk wilayah pura akan membuat Guling Babi untuk persembahan, yang nantinya setelah selesai upacara dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat sekitar.

3. Sugihan Bali

Sugihan Bali jatuh sehari setelah Sugihan Jawa, yaitu pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang. Berbeda dengan Sugihan Jawa yang fokus pada pembersihan lingkungan luar, Sugihan Bali bermakna penyucian atau pembersihan diri sendiri (Bhuana Alit).

Tata cara pelaksanaan Sugihan Bali meliputi:

  • Mandi dan melakukan pembersihan secara fisik
  • Memohon Tirta Gocara kepada Sulinggih (pemimpin upacara) sebagai simbol penyucian jiwa raga

Rangkaian upacara ini bertujuan untuk menyucikan diri secara lahir dan batin dalam menyambut hari raya Galungan yang semakin dekat.

4. Penyekeban

Penyekeban jatuh pada hari Minggu Pahing Wuku Dungulan. Kata "penyekeban" berasal dari "nyekeb" yang berarti mengekang atau mengendalikan. Hari ini memiliki makna filosofis "nyekeb indriya" yang berarti mengekang diri agar tidak melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama.

Pada hari Penyekeban, umat Hindu diharapkan dapat mengendalikan hawa nafsu dan pikiran-pikiran negatif sebagai persiapan spiritual menjelang Galungan. Ini juga menjadi momen introspeksi diri dan meningkatkan kesadaran spiritual.

5. Penyajaan

Penyajaan dirayakan sehari setelah Penyekeban, yaitu pada hari Senin Pon Wuku Dungulan. Kata "penyajaan" berasal dari "saja" yang dalam bahasa Bali berarti benar atau serius. Hari ini memiliki makna filosofis untuk memantapkan diri dalam menyambut perayaan Galungan.

Menurut kepercayaan, pada hari Penyajaan umat akan digoda oleh Sang Bhuta Dungulan. Ini dipandang sebagai ujian untuk menguji sejauh mana tingkat pengendalian diri umat Hindu menjelang Galungan. Karena itu, umat diharapkan untuk semakin memantapkan niat dan tekad dalam menjalankan dharma.

6. Penampahan

Penampahan jatuh sehari sebelum Galungan, tepatnya pada hari Selasa Wage Wuku Dungulan. Kata "penampahan" atau "penampan" berasal dari "nampa" yang berarti menyambut. Pada hari ini, umat Hindu mulai sibuk dengan berbagai persiapan menyambut Galungan.

Kegiatan utama pada hari Penampahan antara lain:

  • Pembuatan penjor (bambu panjang yang dihias) sebagai simbol ungkapan syukur kepada Tuhan atas segala anugerah yang diterima
  • Penyembelihan babi untuk dijadikan lauk dalam sesaji dan hidangan Galungan
  • Pembuatan berbagai jenis sesaji dan hidangan khas Galungan

Penyembelihan babi pada hari Penampahan juga mengandung makna simbolis, yaitu membunuh segala nafsu kebinatangan yang ada dalam diri manusia. Ini menjadi simbol penyucian diri menjelang hari suci Galungan.

Menurut kepercayaan masyarakat Bali, pada hari Penampahan para leluhur mulai turun ke bumi untuk mengunjungi keturunannya. Karena itu, masyarakat juga menyiapkan suguhan khusus berupa nasi, lauk-pauk, jajanan, buah, kopi, air, sirih-pinang atau rokok yang ditujukan bagi para leluhur yang "menyinggahi" rumah mereka.

Pelaksanaan Hari Raya Galungan

Hari raya Galungan yang jatuh pada hari Rabu Kliwon Wuku Dungulan merupakan puncak dari rangkaian perayaan ini. Pada hari yang suci ini, umat Hindu melaksanakan berbagai ritual dan tradisi, di antaranya:

1. Persembahyangan

Pagi hari, umat Hindu memulai Galungan dengan melakukan persembahyangan, baik di rumah masing-masing maupun di pura-pura terdekat. Persembahyangan ini ditujukan untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewa, dan leluhur yang diyakini turun ke bumi pada hari Galungan.

Dalam persembahyangan, umat mengenakan pakaian adat Bali dan membawa berbagai sesaji seperti canang sari, banten, dan buah-buahan. Doa-doa dipanjatkan sebagai ungkapan syukur atas kemenangan dharma dan memohon berkah serta perlindungan.

2. Tradisi Mudik

Galungan juga menjadi momen bagi umat Hindu Bali yang merantau untuk pulang ke kampung halaman. Tradisi mudik ini memiliki makna spiritual untuk bersembahyang di pura keluarga atau desa asal, sekaligus momen untuk berkumpul dengan keluarga besar.

3. Mamunjung ka Setra

Bagi umat yang memiliki anggota keluarga yang telah meninggal dan masih berstatus "Makingsan di Pertiwi" (dikubur), ada kewajiban untuk membawa sesaji ke kuburan. Ritual ini disebut Mamunjung ka Setra.

Sesaji yang dibawa dalam Mamunjung ka Setra terdiri dari:

  • Punjung (sesaji khusus)
  • Tigasan atau kain seadanya
  • Air kumkuman (air bunga)

Ritual ini bertujuan untuk mendoakan arwah leluhur dan mengundang mereka untuk turut merayakan Galungan bersama keluarga yang masih hidup.

4. Tradisi Ngelawang

Ngelawang adalah sebuah tradisi unik yang biasanya dilakukan oleh anak-anak pada hari Galungan. Dalam tradisi ini, anak-anak akan menarikan Barong (makhluk mitologi Bali yang melambangkan kebajikan) dari rumah ke rumah, diiringi gamelan.

Saat rombongan Ngelawang tiba di depan rumah, pemilik rumah akan keluar membawa canang (sesaji kecil) dan sesari (uang persembahan). Masyarakat percaya bahwa tarian Barong ini dapat mengusir aura negatif dan mendatangkan energi positif ke dalam rumah.

5. Makan Bersama Keluarga

Setelah rangkaian ritual selesai, keluarga berkumpul untuk makan bersama. Hidangan khas Galungan seperti lawar (campuran sayuran dan daging cincang dengan bumbu kelapa), sate lilit, ayam betutu, dan berbagai jajanan tradisional Bali disajikan sebagai simbol kebersamaan dan sukacita.

Makna dan Filosofi di Balik Simbol-Simbol Galungan

Perayaan Galungan kaya akan simbol-simbol yang memiliki makna mendalam. Beberapa di antaranya adalah:

1. Penjor

Penjor adalah hiasan khas Galungan berupa bambu panjang yang dihias dan dipasang di depan setiap rumah umat Hindu. Penjor melambangkan Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa. Hiasan pada penjor juga memiliki makna tersendiri:

  • Ujung penjor yang melengkung: melambangkan bhuwana agung (alam semesta)
  • Sampian (hiasan janur): melambangkan kesucian
  • Buah-buahan dan umbi-umbian: melambangkan hasil bumi sebagai wujud syukur
  • Kain putih kuning: melambangkan Rwabhineda (dua hal yang berbeda namun saling melengkapi)

2. Banten (Sesaji)

Berbagai jenis banten atau sesaji yang digunakan dalam Galungan memiliki makna simbolis, di antaranya:

  • Canang sari: persembahan sederhana yang melambangkan kesucian pikiran
  • Daksina: sesaji yang melambangkan alam semesta
  • Pejati: sesaji yang melambangkan ketulusan hati dalam bersembahyang
  • Suci: sesaji yang melambangkan kesucian Sang Hyang Widhi Wasa

3. Barong

Barong yang ditarikan dalam tradisi Ngelawang melambangkan kekuatan baik yang mengalahkan kejahatan. Barong juga diyakini sebagai pelindung masyarakat dari pengaruh negatif.

Hari Raya Kuningan: Penutup Rangkaian Galungan

Sepuluh hari setelah Galungan, umat Hindu Bali merayakan Hari Raya Kuningan. Kuningan jatuh pada hari Sabtu Kliwon Wuku Kuningan dan menjadi penutup dari rangkaian perayaan Galungan.

Beberapa hal penting tentang Hari Raya Kuningan:

1. Makna Kuningan

Kuningan diyakini sebagai hari di mana para dewa dan leluhur kembali ke kahyangan (surga). Umat melakukan pemujaan untuk memohon keselamatan, umur panjang (kedirgayusan), perlindungan, dan tuntunan lahir-batin kepada para dewa dan leluhur sebelum mereka kembali.

2. Perlengkapan Khas Kuningan

  • Tamiang: hiasan berbentuk bulat yang menyerupai cakra, simbol senjata Dewa Wisnu
  • Kolem: simbol senjata Dewa Mahadewa
  • Endong: simbol kantong perbekalan para dewa dan leluhur

3. Keunikan Perayaan Kuningan

Beberapa keunikan dalam perayaan Kuningan antara lain:

  • Penggunaan warna kuning yang dominan, termasuk dalam nasi tumpeng
  • Persembahyangan harus selesai sebelum tengah hari (jam 12 siang), karena diyakini setelah itu para dewa telah kembali ke kahyangan

4. Makna Filosofis

Warna kuning dalam Kuningan melambangkan kebahagiaan, keberhasilan, dan kesejahteraan. Batasan waktu persembahyangan mengandung nilai disiplin dan manajemen waktu yang baik.

Nilai-Nilai Universal dalam Perayaan Galungan

Meski Galungan merupakan hari raya khas umat Hindu Bali, perayaan ini mengandung nilai-nilai universal yang relevan bagi semua orang, terlepas dari latar belakang agama atau budaya. Beberapa nilai tersebut antara lain:

1. Kemenangan Kebaikan atas Kejahatan

Galungan mengingatkan kita untuk selalu memperjuangkan kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari. Ini mengajarkan bahwa meski kejahatan kadang terlihat menang, pada akhirnya kebaikanlah yang akan berjaya.

2. Keseimbangan Spiritual dan Material

Rangkaian upacara Galungan mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan spiritual dan material. Meski sibuk dengan persiapan fisik, umat juga diminta untuk mempersiapkan diri secara batin.

3. Pengendalian Diri

Melalui ritual seperti Penyekeban, Galungan mengajarkan pentingnya pengendalian diri dan hawa nafsu. Ini relevan dengan konsep pengendalian diri dalam berbagai ajaran moral dan etika universal.

4. Rasa Syukur

Galungan menjadi momen untuk bersyukur atas segala berkah yang diterima. Sikap bersyukur ini penting untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan mental.

5. Harmoni dengan Alam

Ritual seperti Tumpek Wariga mengingatkan akan pentingnya menjaga harmoni dengan alam dan lingkungan. Ini sejalan dengan gerakan pelestarian lingkungan global.

6. Penghormatan pada Leluhur

Galungan mengajarkan pentingnya menghormati dan mengingat jasa para leluhur. Nilai ini universal dan ditemukan dalam berbagai budaya di dunia.

7. Kebersamaan Keluarga

Momen mudik dan berkumpul bersama keluarga dalam Galungan mengingatkan akan pentingnya ikatan keluarga di tengah kesibukan hidup modern.

Tantangan dan Adaptasi Perayaan Galungan di Era Modern

Seperti halnya tradisi lain, perayaan Galungan juga menghadapi berbagai tantangan di era modern. Beberapa di antaranya:

1. Urbanisasi dan Migrasi

Banyak umat Hindu Bali yang merantau ke kota besar atau luar negeri, sehingga tidak selalu bisa pulang saat Galungan. Ini menimbulkan tantangan dalam melestarikan tradisi.

2. Modernisasi dan Efisiensi

Tuntutan efisiensi di era modern kadang membuat beberapa ritual disederhanakan atau dipersingkat. Tantangannya adalah bagaimana mempertahankan esensi spiritual di tengah tuntutan efisiensi.

3. Perubahan Gaya Hidup

Gaya hidup modern yang serba cepat kadang membuat orang kurang memiliki waktu untuk persiapan Galungan yang memakan waktu cukup lama.

4. Tantangan Ekonomi

Biaya untuk upacara dan sesaji Galungan cukup besar, yang bisa menjadi beban bagi sebagian umat, terutama di masa sulit ekonomi.

5. Globalisasi dan Pengaruh Budaya Luar

Masuknya berbagai pengaruh budaya luar kadang menggeser minat generasi muda terhadap tradisi lokal seperti Galungan.

Namun demikian, masyarakat Hindu Bali terus beradaptasi untuk melestarikan tradisi Galungan di tengah arus modernisasi:

  • Perayaan Galungan virtual untuk yang tidak bisa pulang kampung
  • Penyederhanaan ritual tanpa menghilangkan esensi
  • Edukasi tentang makna Galungan kepada generasi muda melalui media sosial dan teknologi modern
  • Inovasi dalam pembuatan penjor dan sesaji yang lebih efisien namun tetap bermakna
  • Penyelenggaraan festival budaya untuk mempromosikan tradisi Galungan kepada masyarakat luas

Kesimpulan

Hari raya Galungan merupakan perayaan yang kaya akan makna dan nilai-nilai luhur. Lebih dari sekadar ritual keagamaan, Galungan menjadi cerminan filosofi hidup masyarakat Hindu Bali yang menjunjung tinggi keseimbangan, harmoni, dan spiritualitas. Meski menghadapi berbagai tantangan di era modern, semangat Galungan terus hidup dan beradaptasi, membuktikan relevansinya yang abadi dalam kehidupan umat Hindu Bali.

Bagi masyarakat umum, memahami makna dan nilai-nilai di balik perayaan Galungan dapat memperkaya wawasan budaya dan spiritual. Lebih jauh lagi, nilai-nilai universal yang terkandung dalam Galungan - seperti perjuangan kebaikan, rasa syukur, pengendalian diri, dan harmoni dengan alam - dapat menjadi inspirasi bagi siapa saja dalam menjalani kehidupan yang lebih bermakna.

Dengan demikian, Galungan bukan hanya menjadi warisan budaya yang patut dilestarikan, tetapi juga sumber kearifan yang dapat memperkaya kehidupan kita di era modern. Semoga pemahaman tentang Galungan ini dapat menumbuhkan rasa hormat dan apresiasi terhadap keberagaman budaya, sekaligus menginspirasi kita untuk terus memperjuangkan nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan sehari-hari.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya