Apa Itu Klitih? Fenomena Kekerasan Jalanan yang Meresahkan

Klitih adalah fenomena kekerasan jalanan yang marak terjadi di Yogyakarta. Pelajari sejarah, penyebab, dan upaya pencegahan klitih dalam artikel ini.

oleh Shani Ramadhan Rasyid diperbarui 13 Feb 2025, 21:09 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2025, 21:08 WIB
apa itu klitih
apa itu klitih ©Ilustrasi dibuat AI... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Fenomena klitih telah menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Istilah yang awalnya memiliki makna positif ini kini berubah menjadi tindakan kriminal yang meresahkan. Artikel ini akan membahas secara mendalam tentang apa itu klitih, sejarahnya, penyebab, dampak, serta upaya pencegahan dan penanganannya.

Definisi dan Sejarah Klitih

Klitih berasal dari bahasa Jawa yang awalnya memiliki arti positif. Kata ini merujuk pada aktivitas keluar rumah atau jalan-jalan santai tanpa tujuan yang jelas, sekadar untuk mengisi waktu luang. Dalam kamus Bahasa Jawa karya SA Mangunsuwito, klitih merupakan bentuk kata ulang dari "klithah-klithih" yang berarti berjalan bolak-balik dengan sedikit kebingungan.

Namun seiring berjalannya waktu, makna klitih mengalami pergeseran yang signifikan. Saat ini, istilah tersebut identik dengan aksi kekerasan jalanan yang dilakukan oleh sekelompok remaja, terutama di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya. Perubahan makna ini terjadi secara bertahap sejak era 1990-an.

Sejarah klitih sebagai tindak kriminal dapat ditelusuri ke belakang hingga awal tahun 1990-an. Pada masa itu, kepolisian di Yogyakarta mulai memetakan keberadaan geng-geng remaja yang kerap melakukan tindak kejahatan. Fenomena ini semakin berkembang pasca runtuhnya Orde Baru, ketika tawuran antar pelajar menjadi hal yang lumrah terjadi.

Memasuki era 2000-an, pemerintah kota Yogyakarta di bawah kepemimpinan Wali Kota Herry Zudianto mengeluarkan ancaman keras terhadap pelajar yang terlibat tawuran. Mereka terancam dikeluarkan dari sekolah. Kebijakan ini justru memicu munculnya bentuk baru kenakalan remaja, di mana para pelajar mulai berkeliling kota untuk mencari musuh atau melakukan aksi klitih.

Karakteristik dan Modus Operandi Klitih

Klitih memiliki beberapa karakteristik khas yang membedakannya dari tindak kriminal lainnya:

  • Pelaku umumnya adalah remaja atau pelajar SMP dan SMA
  • Dilakukan secara berkelompok atau geng
  • Terjadi pada malam hari atau dini hari
  • Sasaran awalnya adalah pelajar dari sekolah lain, namun kini berkembang ke masyarakat umum
  • Menggunakan senjata tajam seperti celurit, pedang, atau gir motor
  • Motif bukan selalu perampokan, tapi lebih ke pencarian eksistensi atau balas dendam

Modus operandi klitih biasanya dimulai dengan berkeliling menggunakan sepeda motor di malam hari. Para pelaku akan mencari target potensial di jalan-jalan yang sepi. Ketika menemukan korban, mereka akan melakukan penyerangan secara mendadak, baik dengan memukul, menendang, atau menyerang menggunakan senjata tajam.

Yang membedakan klitih dari aksi begal atau perampokan biasa adalah tujuannya. Pelaku klitih seringkali tidak mengambil barang berharga korban. Mereka lebih puas dengan melihat korban terluka atau tak berdaya. Ini menunjukkan bahwa aksi klitih lebih didorong oleh keinginan untuk menunjukkan eksistensi dan kekuatan kelompok, bukan motif ekonomi.

Penyebab Terjadinya Klitih

Fenomena klitih tidak muncul begitu saja. Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya perilaku menyimpang ini di kalangan remaja. Beberapa penyebab utama terjadinya klitih antara lain:

1. Faktor Psikologis dan Perkembangan Remaja

Masa remaja adalah periode kritis dalam perkembangan psikologis seseorang. Mengacu pada teori perkembangan psikososial Erik Erikson, remaja berada pada tahap "Identity vs Role Confusion". Pada tahap ini, remaja sedang mencari jati diri dan ingin diakui keberadaannya oleh lingkungan sosial.

Ketika remaja gagal menemukan identitas positif, mereka rentan terjerumus ke dalam perilaku menyimpang seperti klitih. Aksi kekerasan dianggap sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan dan rasa hormat dari teman sebaya atau kelompok mereka.

2. Pengaruh Lingkungan dan Pertemanan

Lingkungan pergaulan memainkan peran krusial dalam pembentukan karakter remaja. Teori ekologi Bronfenbrenner menjelaskan bagaimana interaksi antara individu dan lingkungannya mempengaruhi perkembangan perilaku. Dalam konteks klitih, kelompok pertemanan atau geng menjadi microsystem yang sangat berpengaruh.

Remaja yang bergaul dalam kelompok yang menganggap kekerasan sebagai hal yang "keren" atau cara untuk mendapatkan status sosial, cenderung akan mengadopsi perilaku tersebut. Proses ini dijelaskan dalam teori pembelajaran sosial Albert Bandura, di mana individu belajar perilaku melalui observasi dan imitasi.

3. Masalah Keluarga dan Pola Asuh

Kondisi keluarga yang tidak harmonis atau pola asuh yang tidak tepat dapat mendorong remaja mencari pelarian di luar rumah. Beberapa faktor keluarga yang berkontribusi pada munculnya perilaku klitih antara lain:

  • Kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua
  • Pola asuh yang terlalu permisif atau otoriter
  • Kekerasan dalam rumah tangga
  • Perceraian atau ketidakhadiran salah satu atau kedua orang tua
  • Tekanan ekonomi keluarga

Remaja yang merasa terabaikan atau tidak mendapatkan panutan yang baik di rumah cenderung mencari figur dan pengakuan di luar, yang seringkali berujung pada keterlibatan dalam kelompok yang menyimpang.

4. Faktor Sosial dan Budaya

Yogyakarta sebagai kota pelajar dan pusat kebudayaan memiliki dinamika sosial yang kompleks. Persaingan antar sekolah, kesenjangan sosial ekonomi, serta pergeseran nilai-nilai budaya turut berkontribusi pada munculnya fenomena klitih.

Selain itu, adanya romantisasi kekerasan dalam media dan budaya populer juga dapat mempengaruhi cara pandang remaja terhadap tindakan agresif. Film, musik, dan video game yang menggambarkan kekerasan sebagai sesuatu yang "keren" atau heroik dapat membentuk persepsi yang keliru di kalangan remaja.

Dampak Klitih terhadap Masyarakat

Fenomena klitih telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Beberapa konsekuensi serius dari maraknya aksi klitih antara lain:

1. Keresahan dan Ketakutan Publik

Klitih telah menciptakan atmosfer ketakutan di kalangan masyarakat, terutama bagi mereka yang harus beraktivitas di malam hari. Orang tua menjadi cemas ketika anak-anak mereka keluar rumah, sementara warga umum merasa tidak aman saat bepergian sendirian di malam hari. Kondisi ini tentu mengganggu kenyamanan dan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.

2. Korban Jiwa dan Trauma

Beberapa kasus klitih telah mengakibatkan korban jiwa, terutama ketika serangan dilakukan dengan senjata tajam. Bahkan bagi korban yang selamat, pengalaman menjadi sasaran klitih seringkali meninggalkan trauma psikologis yang mendalam. Hal ini dapat mempengaruhi kesehatan mental dan fungsi sosial korban dalam jangka panjang.

3. Citra Negatif Kota Yogyakarta

Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai kota pelajar dan destinasi wisata yang aman dan nyaman, kini mulai mendapat citra negatif akibat maraknya kasus klitih. Hal ini berpotensi mempengaruhi sektor pariwisata dan pendidikan yang menjadi tulang punggung perekonomian kota.

4. Degradasi Moral Generasi Muda

Fenomena klitih mencerminkan adanya pergeseran nilai-nilai moral di kalangan remaja. Tindakan kekerasan yang dianggap sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan sosial menunjukkan adanya krisis identitas dan moralitas pada generasi muda. Jika tidak ditangani dengan baik, hal ini dapat berdampak serius pada masa depan bangsa.

Upaya Pencegahan dan Penanganan Klitih

Menghadapi fenomena klitih yang semakin meresahkan, berbagai pihak telah melakukan upaya pencegahan dan penanganan. Beberapa langkah yang telah dan dapat diambil antara lain:

1. Penegakan Hukum yang Tegas

Aparat kepolisian telah meningkatkan patroli dan pengawasan, terutama di area-area yang rawan terjadi klitih. Pelaku yang tertangkap diproses secara hukum dengan menerapkan pasal-pasal terkait penganiayaan atau pembunuhan berencana, yang memiliki ancaman hukuman lebih berat.

Meski demikian, mengingat sebagian besar pelaku adalah anak di bawah umur, proses hukum juga harus mempertimbangkan aspek perlindungan anak dan upaya rehabilitasi, bukan semata-mata penghukuman.

2. Program Pembinaan Remaja

Pemerintah daerah bekerja sama dengan sekolah dan organisasi masyarakat telah menginisiasi berbagai program pembinaan remaja. Ini termasuk kegiatan ekstrakurikuler yang positif, pelatihan keterampilan hidup, dan program mentoring. Tujuannya adalah memberikan wadah bagi remaja untuk mengekspresikan diri dan mengembangkan potensi secara positif.

3. Penguatan Peran Keluarga dan Masyarakat

Keluarga memiliki peran krusial dalam membentuk karakter dan perilaku remaja. Oleh karena itu, edukasi bagi orang tua tentang pola asuh yang tepat dan pentingnya komunikasi efektif dengan anak remaja menjadi sangat penting. Selain itu, masyarakat juga didorong untuk lebih peduli dan berperan aktif dalam mengawasi dan membimbing remaja di lingkungan mereka.

4. Pendekatan Psikologis dan Konseling

Penyediaan layanan konseling dan pendampingan psikologis bagi remaja yang berisiko atau yang telah terlibat dalam aksi klitih sangat diperlukan. Pendekatan ini bertujuan untuk membantu remaja mengatasi masalah-masalah psikologis, meningkatkan keterampilan sosial, dan membangun konsep diri yang positif.

5. Revitalisasi Nilai-nilai Budaya dan Kearifan Lokal

Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa memiliki kekayaan nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman hidup. Upaya untuk menghidupkan kembali dan menginternalisasi nilai-nilai ini ke dalam kehidupan remaja dapat menjadi benteng moral yang efektif melawan perilaku menyimpang seperti klitih.

Kesimpulan

Fenomena klitih merupakan masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan komprehensif dalam penanganannya. Tidak hanya melalui penegakan hukum, tetapi juga melalui upaya-upaya preventif yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pemahaman mendalam tentang akar masalah, mulai dari faktor psikologis, sosial, hingga kultural, sangat diperlukan untuk merancang solusi yang efektif.

Meski klitih telah menjadi momok yang menakutkan, kita tidak boleh menyerah pada keadaan. Dengan komitmen bersama dan pendekatan yang tepat, fenomena ini dapat diatasi. Yang terpenting adalah membangun lingkungan yang kondusif bagi perkembangan remaja, di mana mereka dapat menemukan identitas positif dan mengekspresikan diri secara konstruktif. Hanya dengan demikian, kita dapat memulihkan citra Yogyakarta sebagai kota yang aman, nyaman, dan kaya akan nilai-nilai luhur.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Disclaimer: Artikel ini ditulis ulang oleh redaksi dengan menggunakan Artificial Intelligence

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya