Liputan6.com, Jakarta - Ketua Tim Khusus Negosiasi Kasus TKI Satinah Maftuh Basyuni membantah pernyataan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar terkait negosiasi uang diyat Satinah dengan keluarga korban. Muhaimin menuding, kegagalan akibat tim tak bisa berbahasa Arab.
"Bukan itu. Kalau itu saya tidak bisa bahasa Arab, yang dampingi saya Dubes Arab, yang mimpinnya aja pakai bahasa Arab. Mimpinnya. Jadi (tuduhan) itu salah," tegas Maftuh dalam konferensi pers di Kemenkopolhukam, Jakarta, Selasa (15/4/2014).
Maftuh malah balik menuding Menakertrans. Selama ini, kata Maftuh, Menakertrans justru tak pernah memberi arahan kepada tim negosiasi tentang apa yang harus mereka lakukan. Padahal, timnya telah berupaya optimal meringankan uang diyat sebesar SAR 7 juta atau Rp 21 miliar itu.
"Yang tepat adalah Menaker tidak pernah berikan kontribusi dan petunjuk apa yang harus kami lakukan," cetus Mantan Menteri Agama Kabinet Indonesia Bersatu I itu.
Menakertrans Muhaimin Iskandar sebelumnya menyatakan, Pemerintah RI gagal dalam negosiasi diyat yang lebih murah. Tim yang tak pandai berbahasa Arab, disebut-sebut sebagai kegegalan.
"Soal kenaikan diyat Satinah itu karena diplomasi kita lemah. Masa tim negosiasi pakai penerjemah, baru tahu saya. Harusnya rekrut yang bisa Bahasa Arab," kata Muhaimin usai melakukan pencolosan Pemilu Legislatif di TPS Widya Chandra, Rabu 9 April lalu.
Dibandingkan dengan kasus Darsem, diyat Satinah tergolong sangat mahal. Saat kasus Darsem -- yang kala itu dijatuhi hukuman pancung karena membunuh majikannya, keluarga korban hanya minta diyat sebesar Rp 4,7 miliar yang dipenuhi Pemerintah RI.
Sedangkan kasus Satinah, Pemerintah RI harus membayar mahal sebelum akhirnya negosiasi disepakati di angka Rp 21 miliar. Sebelum negosiasi, ahli waris korban meminta diyat senilai SAR 15 juta atau sekitar Rp 45 miliar.
Namun, negosiasi yang dilakukan Pemerintah RI sejak 2011 itu berhasil menurunkan diyat menjadi SAR 7 juta atau sekitar Rp 21 miliar. Dengan demikin, diyat Satinah 4 kali lebih mahal ketimbang diyat Darsem.
Sementara Ketua Komnas HAM Hafid Abbas menilai, penebusan nyawa Satinah yang dituduh mencuri dan membunuh keluarga majikan itu dinilai masih kurang bijak. Solusi ini dinilai menjadi preseden bagi kasus TKI lainnya.
"Kompensasi seperti itu bukanlah solusi mendasar yang harus ditempuh yang bahkan dinilai akan rawan memunculkan modus pemerasan oleh negara lain kepada warga negara kita yang lemah yang tak memiliki posisi tawar di negara lain," kata Ketua Komnas HAM Hafid Abbas dalam keterangan tertulisnya, Jumat 4 April.
Menurut Hafid, langkah terbaik yang dapat diambil untuk menghindari modus pemerasan ini adalah melakukan upaya-upaya preventif dengan menertibkan dan membenahi proses keberangkatan TKI ke luar negeri. Tak hanya dengan pembekalan keterampilan fungsional yang dibutuhkan negara tujuan, tapi juga pembekalan pemahaman sistem hukum yang dianut di sana.
Menurut catatan Komnas HAM, saat ini masih ada 6 juta TKI yang bekerja di berbagai negara. Lebih dari 200 kasus yang menimpa TKI di Arab Saudi dan Malaysia yang menunggu untuk dibebaskan dari putusan hukuman mati.
Rombak Menakertrans
Melihat banyaknya kasus TKI, Maftuh meminta agar stuktur Kemenakertrans dirombak. "Yang mengirim (TKI) itu juga harus dirombak karena mengirim untuk cari untung saja. Lepas tangan. Depnaker juga harus dirombak karena itu banyak penyakitnya. Macam-macam," ujar Maftuh.
Usulan itu, kata Maftuh, lantaran moratorium atau penghentian sementara pengiriman TKI ke Arab Saudi justru dilanggar Kemenakertrans sendiri -- yang menandatangani MoU atau nota kesepahaman dengan Pemerintah Arab Saudi baru-baru ini. Menurutnya, moratorium sebaiknya tetap dilakukan karena Pemerintah RI belum ada kesiapan.
"Selain lembaganya, penyalur (TKI) juga harus bertanggung jawab. Ternak dari Selandia Baru saja lengkap, masa TKI kita dikirim begitu saja," ketusnya.
Maka ia, sebagai warga negara dan pihak yang turut serta dalam penyelesaian kasus Satinah, Maftuh meminta pemerintah merombak struktural Kemenakertrans. Baik dari segi sistem, struktur, maupun mekanisme pengiriman TKI.
"Saya sebagai warga negara itu harus ada perbaikan. Pertama yang dikirim itu orang yang ngerti tugasnya," tegas Maftuh. (Elin Yunita Kristanti)
Advertisement