Liputan6.com, Seoul - Juru mudi tak berpengalaman pegang kemudi, nakhoda yang ngacir duluan meninggalkan kapalnya yang miring di tengah laut, awak yang mengeluarkan perintah agar penumpang tetap diam di tempat, serta sistem evakuasi yang buruk -- dianggap sebagai faktor penyebab mengapa tragedi kecelakaan Sewol merenggut demikian banyak nyawa.
Dari 476 orang yang ada dalam pelayaran dari Incheon menuju Pulau Jeju, 159 di antaranya dipastikan tewas. Sementara, 143 lainnya masih dinyatakan hilang--nyaris tak ada harapan selamat.
Tak hanya memeriksa para awak kapal dan menetapkan 11 dari mereka sebagai tersangka, termasuk kapten Lee Joon-seok, polisi menggeledah kantor perusahaan pemilik feri Sewol.
Para jaksa penyelidik juga menggeledah kantor 20 organisasi usaha yang berafiliasi dengan Cheonghaejin Marine Co, termasuk rumah Yoo Byung-eun, triliuner yang keluarganya mengendalikan perusahaan tersebut. Demikian dikabarkan Yonhap News Agency, seperti Liputan6.com kutip dari CNN, Kamis (24/4/2014).
Yoo Byung-eun dikenal sebagai 'miliuner tanpa wajah' karena ia jarang muncul di depan publik. Sejumlah media Negeri Ginseng menyebut, orang kaya itu punya alter ego yang artistik: Ahae -- sebagai fotografer yang memenangkan sejumlah penghargaan internasional.
Dalam situsnya, Yoo memajang fotonya yang sedang membidik kamera. Wajahnya sama sekali tak terlihat.
Melalui investasi dan anak perusahaannya, Yoo dan 2 putranya mengendalikan perusahaan yang mengoperasikan Sewol. Otoritas pajak Korea mengatakan bahwa di bawah kepemilikan keluarga itu, perusahaan feri telah berjuang keras dan melaporkan kerugian tahun lalu.
Beberapa hari setelah kecelakaan, perusahaan tersebut merilis pernyataan maaf para direksinya. Tapi bukan Yoo sendiri yang menyampaikannya. Ia diketahui punya reputasi buruk.
Pada 1987, Yoo Byung-eun adalah seorang kepala sekte. Lebih dari 30 anggota alirannya ditemukan tewas, terikat dengan mulut tersumbat di sebuah pabrik di luar kota Seoul. Polisi kala itu menyelidiki insiden tersebut sebagai pembunuhan atau bunuh diri massal. Namun, tak ada bukti yang mengarah pada Yoo.
Penyelidik di Busan juga menyelidiki organisasi swasta yang bertanggungjawab menginspeksi dan mengeluarkan sertifikasi kapal di Korsel.
Juga dicari apakah ada bukti kemungkinan kesalahan dalam kaitannya dengan inspeksi keselamatan yang dilakukan Korean Register of Shipping terhadap Sewol.
Sejauh ini belum diketahui pasti penyebab kecelakaan Sewol. Berdasarkan manifes yang diberikan perusahaan serta pihak penjaga pantai, tak ada indikasi kapal tersebut kelebihan penumpang. Namun, pihak penjaga pantai tidak mengetahui seberapa berat muatan kargo yang dibawa kapal itu.
Harapan Itu Pudar
Sementara di lokasi kecelakaan, proses evakuasi masih dilakukan tim SAR. Namun, harapan untuk menemukan korban selamat makin pudar.
Para penyelam yang dikerahkan ke kapal yang sudah sepenuhnya tenggelam, sama sekali tak menemukan 'kantung udara' -- ruang kosong yang tak dipenuhi air -- di dek ketiga dan keempat, di mana kebanyakan kabin penumpang berada serta kafetaria.
Jasad-jasad beku yang berhasil dikeluarkan dari kapal kebanyakan berasal dari area kamar tidur.
Duka atas tenggelamnya kapal tersebut telah menyebar di seluruh Semenanjung Korea. Bahkan 'musuh bebuyutan' Korea Utara menyampaikan ucapan duka cita.
Advertisement
Lebih dari dua per tiga penumpang kapal adalah murid-murid Danwon High School di Ansan, sekitar 1 jam perjalanan mobil dari Seoul. Sebuah monumen peringatan tragedi Sewol akan dirikan di Ansan.
Advertisement
"Usia mereka sama seperti cucuku," kata Bae So-ja sambil mengelap air mata yang mengalir ke pipinya. Nenek 73 tahun itu sengaja datang melayat perkabungan korban Sewol. Dia memang tak mengenal para mendiang, tapi dadanya sesak oleh rasa sedih. (Mevi Linawati)