Liputan6.com, Jenewa - Bukan tanpa alasan mengapa penampakan Frankenstein yang menyeramkan muncul di Plainpalais, Jenewa, Swiss, memamerkan dadanya yang penuh bekas jahitan kasar -- meski hanya sekedar patung dari perunggu setinggi 2,4 meter.
Penulis terkenal Mary Shelley memilih area itu sebagai setting pembunuhan pertama dalam novelnya -- di mana saudara Victor Frankenstein, William tewas.
Jenewa juga menjadi tempat kelahiran gagasan soal 'mayat hidup' Frankenstein.
Pada Juni 1816, 200 tahun lalu, lima orang muda dari Inggris berkumpul di sebuah vila yang menghadap Danau Jenewa. Masing-masing mengarang cerita horor untuk menakut-nakuti yang lain.
Lima orang tersebut dikenal sebagai 'para seniman berpikiran bebas, bohemian -- atau aliran kreatif alternatif dalam istilah saat ini.
Salah satunya adalah Mary Godwin -- yang kemudian jadi Mary Shelley -- kala itu baru berusia 18 tahun.
Advertisement
Awalnya, di villa yang disewa Byron, mereka mendengarkan antologi cerita hantu Jerman, hanya diterangi cahaya lilin temaram. Setelahnya, sang tuan rumah mendorong mereka untuk menciptakan cerita-cerita seram.
Suatu malam, perempuan mengalami 'waking dream' atau mimpi dalam kondisi sadar. Perempuan itu kemudian menceritakannya di depan para audiens, salah satunya penyair Inggris, Lord Byron dan Percy Shelley (23) -- yang meninggalkan istri pertama dan anak-anaknya demi bersama Mary.
Kisah Mary Shelley berawal dari gagasan tentang apa akan terjadi jika seorang ilmuwan menciptakan menciptakan kehidupan dengan cara mengalirkan listrik ke tubuh tak bernyawa.
Byron kemudian mendorong Mary untuk menuliskan kisahnya, yang kemudian diberi judul Frankenstein.
Byron mengirimkan naskah tersebut ke publisitasnya, yang kemudian merespons, "Karya yang bagus untuk gadis berusia 18 tahun," demikian tulis John Malathronas, sepert dikutip dari CNN, Senin (27/6/2016).
Hari yang Suram Akibat Amuk Tambora
Fondation Martin Bodmer yang berbasis di Jenewa adalah salah satu perpustakaan buku langka. Bulan ini mereka merayakan 200 tahun kisah horor Mary Shelley dengan menggelar pameran.
Ada potret, lukisan, dan manuskrip yang menjelaskan latar belakang dan menciptakan kembali setting penulisan kisah horor itu.
"Itu adalah tahun tanpa musim panas," kata Profesor David Spurr dari University of Geneva, kurator
pameran. "Gunung Tambora meletus di Indonesia pada 1815, salah satu letusan terbesar dalam
sejarah."
"Abu vulkanik menyembur ke angkasa, mendinginkan atmosfer, mengacaukan pola cuaca tiga tahun ke depan."
Ia menunjukkan data meteorologi pada tahun 1816 dari Swiss: bahwa suhu udara maksimum pada bulan Juni, di puncak musim panas, antara 10-12 derajat Celcius.
Tulisan tangan tersebut mengungkapkan, bahkan pada akhir bulan, "Tak ada satu daun pun yang tertinggal di pohon oak."
Amuk Tambora berlangsung 10 April hingga 12 April 1815. Tiga hari itu sungguh mengerikan. Letusan diiringi halilintar sambung-menyambung bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer.
Kekuatan letusan Tambora adalah yang terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah. Sebanyak 92.000 nyawa terenggut, abu dan panas menyembur melubangi atmosfer, suhu rata-rata global merosot 3 derajat Celcius.
Bahkan di belahan Bumi utara, tak ada musim panas di tahun berikutnya, 1816, 'the year without summer'. Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya.
Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1985. Media The Times mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda. "Kita baru mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah terjadi di manapun di muka Bumi," tulis dia, seperti dimuat situs sains, NewScientist.
Suasana suram dan cuaca yang mendung 'abadi' itulah, yang memaksa para penyair dan penulis itu menghibur diri mereka.
Byron menyewa penginapan di Villa Diodati di puncak sebuah bukit di Cologny, sedangkan Shelley tinggal di sebuah rumah kecil di Montalegre, 10 menit berjalan kaki dari danau.
Kisah Nyata Frankenstein
Kisah Nyata
Sebelumnya ada ilmuwan 'gila' asal Italia, Giovanni Aldini pada tahun 1803 terkenal dengan ulahnya mengalirkan arus listrik ke jasad pria yang tewas digantung, di depan para tamu undangan di London.
Para penonton bersorak saat jasad jenazah tersebut mulai berkedut, dan anggota badannya kemudian mulai bergerak.
Buku Mary yang diterbitkan kemudian akhirnya sukses besar. Namun, edisi perdananya tak mencantumkan nama sang pengarang. Pihak penerbit khawatir, penjualan akan terganggu jika para pembaca tahu bahwa itu adalah karya seorang wanita muda.
Bagaimana dengan nama Frankenstein yang bersinonim dengan teror dan horor?
Faktanya ada desa bernama Frankenstein di Pfalz, 40 kilometer di barat Sungai Rhine di Jerman.
Desa itu terletak di wilayah yang tinggi. Ada reruntuhan kastil dan pemakaman tua di sana.
Kurang dari 100 km dari sana, di sisi lain sungai berdiri Kastil Frankenstein di dekat Darmstadt, tempat lahir ahli kimia Johann Conrad Dippel yang melakukan eksperimen dengan tubuh manusia.
Mary dan Percy Shelley berlayar di Rhine dalam perjalanan pulang ke London. Bisa jadi ia mampir ke sana.
Namun, Profesor David Spur punya opsi berbeda. Ia menunjukkan buku The Mirror of True Events versi Prancis karya Francois Felix Nogaret, yang dipublikasikan ada 1790.
"Di dalam buku itu ada penemu bernama Frankenstein yang menciptakan clockwork automata alias robots untuk seorang gadis cantik yang menganggapnya seperti Prometheus," kata dia
"Nogaret bisa jadi ada di Pfalz atau Darmstadt. Pasangan Shelley ada di Paris pada 1814, jadi Mary mungkin telah membaca buku itu."
Apapun yang menginspirasinya, Mary Shelley telah menghasilkan karya 'abadi' yang melintasi zaman. Frankenstein adalah miliknya.
Saksikan juga video Weekly Highlights yang membahas soal fenomena iblis Valak di Conjuring 2:
**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.
Advertisement