Liputan6.com, Nice - Motif pengemudi truk maut Prancis yang menyebabkan 84 orang meninggal saat perayaan Bastille Day, Mohamed Lahouaiej Bouhlel, hingga kini masih diselidiki.
"Tak ada sesuatu pada masa lalunya yang dapat meramalkan tindakan yang ia lakukan sekarang," ujar Menteri Kehakiman, Jean-Jacques Urvoas, di RTL Radio.
Baca Juga
Pria berusia 31 tahun berkewarganegaraan Prancis-Tunisia itu tewas ditembak polisi, setelah ia memacu truk pendingin seberat 19 ton sepanjang dua kilometer di Promenade des Anglais dan menerjang kerumunan warga.
Advertisement
Berdasarkan keterangan Menteri Dalam Negeri, Bernard Cazeneuve, Bouhlel teradikalisasi secara cepat.
Media milik ISIS menyebut bahwa pelaku teror truk maut itu sebagai salah satu militannya, namun kelompok radikal itu berhenti mengklaim telah mengorganisir serangan.
Sementara itu jaksa anti-terorisme Francois Molins mengatakan, Bouhlel tak terdapat pada daftar orang radikal dan penyidik tak menemukan adanya hubungan dengan kelompok teror, demikian seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (18/7/2016).
"Serangan tersebut akan dianggap sebagai bentuk terorisme karena tindakan tersebut didukung oleh kelompok teroris di media online," ujar Molins.
Perlawanan Tanpa Pemimpin
"Operasi ini didasarkan pada prinsip perlawanan tanpa pemimpin, merencanakan, dan meluncurkan serangan secara mandiri daripada diarahkan," demikian menurut laporan kelompok penasehat-risiko Stratfor pada 14 Juli.
Perdana Menteri Prancis, Manuel Valls mengatakan, Bouhlel kemungkinan berperan atas nama ISIS, namun hingga kini masih diselidiki. Sementara itu Cazeneuve memberi keterangan kepada TF1, bahwa pihak penyidik tak menemukan hubungan pelaku dengan kelompok radikal itu.
Pejabat pemerintahan yang menghadiri rapat darurat Kabinet menyebut, hingga kini belum ditemukannya hubungan antara Bouhlel. Pihak penyidik belum selesai memeriksa ponselnya.
Bouhlel lahir pada 3 Januari 1985 di Tunisia dan telah menikah serta memiliki 3 anak. Ia menerima dokumen menjadi warga Prancis pada Januari 2008, demikian menurut harian Le Figaro.
Ia tinggal di sebuah apartemen sewaan di Nice dan bekerja sebagai kurir. Tetangganya mengenal Bouhlel sebagai sosok yang pendiam, sementara lainnya berkata bahwa ia agresif, berperilaku tak menyenangkan, dan paranoid.
Orang-orang dekatnya menganggap Bouhlel sebagai pria yang tak religius. Ia meminum bir, tak berpuasa, dan mengenakan celana pendek.
Menurut Molins, ia juga juga pernah berurusan dengan polisi karena melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan beberapa tindakan kekerasan lainnya.
Kepolisian Prancis juga menyebutkan, Bouhlel menjadi 'langganan' polisi sejak enam bulan terakhir, terhitung dari Januari 2016, akibat tindakan kriminal yang dilakukannya.
Akibat tingkah liarnya tersebut, teroris itu sering dipecat dari pekerjaannya. Seperti saat dia mabuk saat sedang menyetir dan menabrak empat mobil, serta membuat keributan di sebuah bar.
Sulit Diselidiki
Bouhlel termasuk pelaku yang sulit untuk diselidiki, karena ia tak memiliki hubungan dengan pihak lain dan tidak memberikan indikasi adanya rencana serangan, demikian menurut Kepala IHS Jane’s Terrorism and Insurgency Center, Matthew Henman.
"Ketika kamu memiliki kelompok teroganisir, maka terdapat kesempatan bagi pihak keamanan untuk mengawasi dan memeriksa, serta mencegah sebelum mereka berkasi," ujar Henman kepada Bloomberg TV.
"Pelaku seorang diri sangat mustahil untuk dideteksi terlebih dahulu," imbuhnya.
Cazeneuve menambahkan, hal semacam itu menunjukkan upaya anti-teroris yang sangat sulit.