Belanja Senjata Saudi Meningkat Jadi 212 Persen, Siaga Perang?

Pasokan senjata Arab Saudi sangat bergantung dari sekutu utamanya, Amerika Serikat.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 20 Feb 2017, 12:40 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2017, 12:40 WIB
Perang yang terjadi di Yaman hingga kini masih bergejolak
Perang yang terjadi di Yaman hingga kini masih bergejolak (Reuters)

Liputan6.com, Washington, DC - Transfer senjata secara global meningkat dalam lima tahun terakhir mencapai volume tertinggi sejak akhir Perang Dingin. Sementara itu, impor di kawasan Timur Tengah dikabarkan melonjak dua kali lipat.

Menurut Stockholm International Peace Research Institute (Sipri) "lalu lintas" senjata antara tahun 2012-2016 lebih banyak dibanding sejak tahun 1990-1995. Arab Saudi, yang memimpin intervensi militer di Yaman merupakan importir terbesar kedua di dunia setelah India. Volume impor senjata negara itu, terutama dari Amerika Serikat (AS) dan Inggris meningkat menjadi 212 persen.

Sejumlah negara di Asia seperti India, Pakistan, dan China merupakan wilayah penerima senjata terbanyak di mana kawasan ini menguasai 13 persen impor global. Negeri Hindustan mendapat sebagian besar senjata mereka dari Rusia, sementara Arab Saudi sangat bergantung pada sekutunya, Negeri Paman Sam.

AS dan Rusia merupakan pemasok dari setengah jumlah ekspor senjata global. Beberapa negara lainnya seperti China, Prancis, dan Jerman juga masuk dalam lima eksportir teratas.

"Dengan tidak adanya instrumen untuk mengontrol peredaran senjata, negara-negara di Asia terus memperluas persenjataan mereka," jelas Siemon Wezeman, peneliti senior di Sipri seperti dikutip dari The Guardian, Senin, (20/2/2017).

Vietnam, khususnya, secara dramatis meningkatkan impor senjata hingga 202 persen. Hal ini menempatkan negara itu dalam daftar 10 importir terbesar.

"Sementara kemampuan China untuk menggantikan impor dengan produk buatan sendiri meningkat, India justru masih bergabung pada raksasa teknologi senjata seperti Rusia, AS, negara-negara Eropa, Israel, dan Korea Selatan," terang Wezeman.

Meski angka impor senjata di Timur Tengah meningkat 245 persen, namun tidak demikian dengan Iran. Negeri Para Mullah itu hanya menerima 1,2 persen dari transfer senjata ke kawasan tersebut. Pada tahun 2016, Iran mendapat kiriman sistem rudal pertahanan udara S-300 dari Rusia dalam sebuah impor signifikan pertama sejak tahun 2007.

Dalam menanggapi peringatan Presiden Donald Trump setelah uji-coba rudal balistik yang dilakukan negaranya, Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif mengatakan, pihaknya menghabiskan pengeluaran yang cukup kecil untuk senjata dibandingkan negara tetangga mereka.

"Selama lima tahun terakhir, sebagian besar negara di Timur Tengah telah berpaling ke AS dan Eropa dalam mengejar akselerasi kecanggihan militer," ungkap peneliti senior Sipri lainnya, Pieter Wezeman.

Tingginya tuntutan persenjataan di Timur Tengah dinilai kontras dengan jatuhnya harga minyak.

"Meski harga minyak rendah, negara-negara di kawasan itu terus menerus memesan lebih banyak senjata pada tahun 2016, mengacu pada kepentingan untuk menangani konflik dan ketegangan regional," tambah Wezeman.

Tiongkok mengukuhkan posisinya di deretan pemasok utama senjata dengan meningkatkan ekspor sebesar 6,2 persen dibandingkan periode 2007-2011 sebesar 3,8 persen sedangkan ekspor Jerman menurun sebesar 36 persen pada kurun waktu yang sama. Di Afrika, pengimpor utama senjata adalah Aljazair.

Soal senjata, Negeri Paman Sam memiliki tiga pelanggan utama, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Turki. Tak hanya jadi pembeli senjata AS, Arab Saudi ternyata juga menjadi pelanggan utama Inggris.

Nyaris setengah produksi senjata Inggris terjual ke Arab Saudi. Data Sipri menunjukkan, AS saat ini masih menjadi pemasok senjata utama setidaknya bagi 100 negara di dunia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya