Besim Hasani, Imam Masjid Tertua di Melbourne yang Bisa 6 Bahasa

Hasani mengaku ia menguasai beberapa bahasa, dan hal itu bermanfaat saat dirinya menjadi seorang imam di Melbourne, Australia.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 13 Jun 2017, 06:27 WIB
Diterbitkan 13 Jun 2017, 06:27 WIB
Dr Besim Hasani. Imam di masjid Melbourne yang bisa 6 bahasa. (ABC Australia/Erwin Renaldi)
Dr Besim Hasani. Imam di masjid Melbourne yang bisa 6 bahasa. (ABC Australia/Erwin Renaldi)

Liputan6.com, Melbourne - Masjid di kawasan Carlton North merupakan rumah ibadah umat Muslim tertua yang terletak di kota Melbourne, Australia. Dibangun tahun 1969 oleh warga asal Albania, yang pada saat itu juga mendapat bantuan dari warga setempat yang bukan Muslim.

Imam yang bertugas di masjid itu saat ini adalah Dr Besim Hasani. Dia menguasai enam bahasa, termasuk bahasa Melayu.

Di setiap malam Ramadan, masjid ini ramai dipenuhi para jamaah dari berbagai latar belakang untuk menunaikan ibadah salat tarawih. Imam Dr Hasani memberikan ceramah soal penjelasan surat-surat pendek dari Alquran.

Ia banyak mengingatkan soal kerukunan hidup bermasyarakat, serta peranan Muslim sebagai komunitas minoritas di Australia.

"Saat berusia 14 tahun, saya tidak tahu banyak soal Islam. Keluarga saya di Albania adalah Muslim, tapi tidak religius seperti keluarga Muslim di Albania kebanyakan," kata Hasani kepada Erwin Renaldi dari ABC Australia Plus yang dikutip Selasa (13/6/2017).

"Negara kami saat itu di bawah komunisme, sehingga tidak tahu soal Islam. Saya pernah memutuskan untuk sekolah kedokteran, sampai ada seseorang yang datang menemui ayah saya dan bertanya mengapa tak belajar agama Islam saja," jelas Hasani.

Hasani mengaku ia kemudian memutuskan untuk mengambil studi Islam.

"Ada sesuatu di dalam hati saya yang mengatakan pergilah dan belajar Islam. Saya melanjutkan ke sekolah menengah Islam, kemudian mendapat beasiswa untuk belajar Hukum Syariah di Universiti Brunei Darussalam, lanjut hingga master."

"Lalu Menteri Pendidikan dan Menteri Keagamaan Brunei saat itu mendukung saya untuk tinggal di sana dan melanjutkan PhD di Sultan Sharif Ali Islamic University (UNISSA). Saya menjadi mahasiswa pertama yang menyelesaikan program Doktor di universitas tersebut."

"Usia saya saat itu 27 tahun. Lalu memutuskan pergi ke Australia untuk menjadi imam di tahun 2010.

Hasani mengaku ia menguasai beberapa bahasa, dan hal itu bermanfaat saat dirinya menjadi seorang imam.

"Saya bisa bahasa Albania, Bosnia, Arab, Turki, Inggris, dan Melayu yang hingga sekarang masih belajar. Saya melihat orang dari berbagai budaya datang ke sini, sehingga jika saya bisa berbicara dengan bahasa yang sama dengan mereka, mereka merasa diterima untuk datang ke masjid ini. Dengan bahasa Melayu, saya membuat banyak mahasiswa dari Indonesia, Malaysia, Brunei, merasa disambut di sini," paparnya.

Hasani menuturkan, menjadi imam adalah sebuah tantangan. Sebab setiap harinya ada saja yang terjadi. "Ada yang sakit, meninggal, ada pula yang menikah, atau mereka yang butuh konsultasi. Jadi dari mulai saya bangun di pagi hari sampai saya beranjak tidur, telepon saya tak pernah berhenti berdering."

Terkait imam-imam yang kemudian menjadi ternama, Hasani pun punya sebutan sendiri untuk mereka.

"Ya, sebutannya imam selebritis. Sebagai imam, kita harus berhati-hati dengan misi kita. Misi kita adalah untuk mengedukasi diri sendiri dan orang lain tentang Islam. Ketika mendapat reputasi baik, menjadi selebriti, banyak yang memuji, jika berdampak negatif pada diri kita dan kita mulai membanggakan diri dan mengubah misi kita, sebaiknya kita menghindar menjadi imam."

"Artinya Anda tidak siap menjadi imam. Menjadi seorang imam yang utama adalah takut pada Tuhan. Selalu tanyakan niat Anda apa, mengapa Anda melakukan ini."

Muslim di Australia

Saat Islam menjadi bahan pembicaraan di Australia, Hasani pun mengatakan dirinya harus berhati-hati.

"Menjadi imam, Anda harus berhati-hati dengan apa yang Anda katakan, kapan, dan bagaimana menyampaikannya. Jika kita mengikuti Alquran dan Hadits, kita tidak akan pernah salah."

"Saya selalu memberikan pernyataan soal Islam dan mengutuk keras aksi-aksi yang mengatasnamakan Islam. Koran-koran dan media hanya membicarakan hal yang buruk tentang Islam, untuk menarik perhatian orang. Tapi mereka tidak memberitakan apa yang komunitas Islam katakan sebenarnya."

Hasani mengaku menjadi seorang Muslim di Australia memiliki tantangan tersendiri. Apalagi sebelumnya ia hidup di lingkungan yang tak minoritas beragama Islam -- dibesarkan di Albania, kemudian sekolah di Brunei hampir 10 tahun.

"Hidup di negara yang mayoritas bukan Muslim, seperti Australia, adalah sebuah tantangan besar. Begitu kita buka pintu rumah, ada banyak godaan di mana-mana. Jadi jika tidak cukup kuat, tidak punya iman yang kuat, kita bisa dengan mudah tergelincir ke dalam hal-hal yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Tapi tantangan terbesar adalah pendidikan untuk anak-anak dan generasi selanjutnya."

Menurutnya, hidup di negara barat sangat sulit. Tapi di saat bersamaan juga bisa lebih berpahala, karena berbaur dengan agama dan kepercayaan lain.

"Jumlah kita (Muslim di Australia) hanya dua persen. Karenanya kita harus terus bersatu, menolong satu sama lain, saling mengingatkan, seperti yang dikatakan Nabi Muhammad."

Hasani pun berupaya agar tidak ada jemaah yang menyalahgunakan ajaran Islam di Australia.

"Penting bagi kami untuk berkomunikasi dengan Kepolisian negara bagian Victoria dan Kepolisian Federal Australia. Saya selalu mencoba mengedukasi jemaah di sini."

"Jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan, baik dari kalangan Muslim atau bukan, terlepas dia punya janggut atau menggunakan jubah, teleponlah 000 (layanan darurat Australia)."

"Dengan melakukan ini, Anda membantu masjid ini, membantu komunitas Muslim, dan tentunya ikut menjaga negara ini. Australia telah membuka tangannya dengan lebar agar kita bisa tinggal di sini, jadi komunitas Muslim pun perlu ikut serta menjaga negara ini tetap aman."

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya