Liputan6.com, Ankara - Presiden Reccep Tayyip Erdogan dielu-elukan, setelah memberikan pidato kepada puluhan ribu massa pada 15 Juli 2017 waktu setempat, menandai genapnya satu tahun peristiwa kudeta Turki yang jatuh pada tanggal serupa.
Dalam pidatonya, Erdogan memuji seluruh pihak yang berhasil menggagalkan kudeta, juga para figur yang menyatakan kesetiaan padanya. Ia juga mendukung pelaksanaan hukuman mati pada setiap individu yang terlibat coup de etat. Demikian seperti diwartakan oleh BBC, Minggu (16/7/2017).
Advertisement
Baca Juga
Keberhasilan para faksi tentara dan sipil pro-Erdogan itulah yang menjadi fokus utama pujian sang presiden pada pidato perayaannya di Istanbul, Turki.
"Warga sipil pada saat itu tidak memiliki senjata, mereka hanya punya bendera dan yang terpenting, kepercayaan," kata Presiden Erdogan dihadapan puluhan ribu massa pendukungnya.
Sang presiden juga memuji para warga yang menghadang tentara pro-kudeta di Jembatan Bosphorus, Istanbul, serta total 250 korban tewas dari kalangan sipil yang berhasil menggagalkan coup de etat.
"Saya sangat bersyukur kepada seluruh warga negara yang membela Turki. Mereka yang tewas untuk menggagalkan kudeta, jelas mati terhormat membela negara," puji Erdogan.
Demi mengenang peristiwa di Jembatan Bosphorus itu, Erdogan mengubah nama lokasi tersebut menjadi 'the Bridge of the Martyrs of July 15'. Sebuah memorial juga didirikan dekat dengan jembatan tersebut.
Sementara itu, pada perayaan serupa di Ankara, Presiden Erdogan mengatakan bahwa, "Pada malam tahun lalu, bangsa kita menunjukkan seberapa bersatunya kita semua."
Salah seorang peserta perayaan di Ankara mengatakan, "Jika kejadian serupa terjadi lagi, aku tidak akan ragu untuk turun ke jalan. Tahun lalu, kejadian itu seperti perang, dan seluruh warga nampak menunjukkan semangat kepemilikan mereka atas negara ini," jelas seorang pria menceritakan pengalamannya.
Sejak kudeta, tanggal 15 Juli telah ditetapkan sebagai perayaan 'Democracy and National Unity Day' di Turki. Perdana Menteri Binali Yildrim juga menyebut tanggal itu sebagai 'a second War of Independence' di hadapan parlemen.
Sekitar 250 orang tewas dan 2.196 lainnya terluka dalam upaya kudeta yang dilakukan oleh oposisi (sebagian besar merupakan angkatan bersenjata) pada 15 Juli 2016. Sejak itu, pemerintahan Erdogan menerapkan hukuman keras terhadap para pendukung kudeta, ditandai dengan pemecatan 150.000 pegawai negeri dan penangkapan sekitar 50.000 individu yang diduga terlibat dalam coup de etat.
Tahun lalu, aktor kudeta berusaha untuk menangkap Presiden Erdogan saat ia berlibur di Aegan, Turki. Namun, penangkapan gagal karena sang presiden telah meninggalkan lokasi lebih awal. Di saat yang hampir bersamaan, sejumah faksi militer berusaha menduduki sejumlah lokasi pemerintahan vital di Ibu Kota Ankara. Namun, upaya itu juga berhasil dicegah oleh tentara dan warga sipil pro-Erdogan.
Kudeta yang diduga didalangi oleh Fethullah Gulen itu gagal terlaksana karena sejumlah alasan, salah satunya adalah minimnya dukungan dari eselon tinggi militer dan kurangnya dukungan politik serta publik.
Media Barat menilai, kesatuan nasional di Turki --yang muncul pasca-kudeta-- kini nampak memudar. Kini, satu tahun pasca-coup de etat, kelompok oposisi kembali muncul.
Dalam kurun seminggu sebelum parade, kelompok oposisi berusaha memboikot perayaan satu tahun kudeta. Dalam upaya pemboikotan itu, kelompok oposisi menyebut bahwa, pemerintahan Erdogan, selama satu tahun terakhir, nampak berusaha untuk menghapuskan perbedaan pendapat di Turki. Pemboikotan itu juga dilatarbelakangi oleh pemecatan sekitar 7.000 pegawai negeri yang diduga anti-Erdogan.
Selain itu, partai oposisi Republican People's Party juga mulai lantang mengemukakan pendapat. Kepala partai, Kemal Kilicdaroglu mengatakan, "Parlemen ini, yang bertahan dalam bom, telah dianggap usang dan kewenangannya dihapus. Pada tahun lalu, keadilan telah hancur. Alih-alih normalisasi cepat, keadaan darurat permanen justru diimplementasikan," jelasnya.
Saksikan juga video berikut ini