Liputan6.com, Yangon - Ketika Representasi Khusus Amerika Serikat untuk Kebijakan Korea Utara, Joseph Yun, menyambangi Asia Tenggara pada minggu ini, pengamat menilai Yun tengah melaksanakan misi diplomasi krusial. Apakah itu?
Pertama, pria yang juga merangkap jabatan sebagai Asisten Deputi Bidang Korea dan Jepang untuk Kementerian Luar Negeri AS itu kemungkinan besar akan menekan Myanmar--partner militer terdekat Korea Utara--untuk membatasi hubungan dengan negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Sejumlah analis juga menduga kunjungan Joseph Yun ke Myanmar merupakan salah satu taktik simbolik pemerintahan Presiden Donald Trump untuk menghentikan arus finansial Korea Utara yang bersumber dari Yangon. Demikian seperti diwartakan oleh CNN, Senin (17/7/2017).
Kedua, diplomat yang berperan dalam proses pembebasan mendiang Otto Warmbier--warga AS yang sempat ditahan di Korut--itu juga dilaporkan menyambangi Singapura.
Meski datang dalam kapasitas sebagai pembicara pada Northeast Asia Cooperation Dialogue, kunjungan Yun ke Singapura turut memiliki motif tersembunyi. Diduga, ia melakukan lobi politik kepada sejumlah entitas bisnis di sana--yang dicurigai memiliki relasi finansial dengan Korut--guna menghentikan hubungan dengan Pyongyang.
"Paling tidak, kehadirannya (Yun) ke sana merupakan simbol pengingat bahwa Amerika Serikat memantau mereka," kata Anthony Ruggiero, mantan Deputi Direktur Kementerian Keuangan AS dankini pakar analisis risiko transaksi keuangan.
Uniknya, Korea Utara merupakan negara peserta Northeast Asia Cooperation Dialogue. Namun, menurut menurut Kemlu AS, perwakilan Pyongyang tidak ikut berpartisipasi pada perhelatan tahun ini.
Saksikan juga video berikut ini
Myanmar Beli Senjata dari Korea Utara?
Amerika Serikat menduga bahwa sejumlah entitas asal Myanmar dan Singapura memiliki riwayat, bahkan hingga kini masih, membeli persenjataan produksi Korea Utara.
Pada 2015, Kementerian Keuangan AS meyakini junta militer yang pada saat itu memerintah Myanmar, merupakan salah satu pembeli sistem misi balistik produksi Korut. Penjualan itu dipercaya sebagai sumber dana program pengembangan rudal, hulu ledak nuklir, dan gaya hidup mewah Kim Jong-un. Washington, DC pun menjatuhkan sanksi terhadap beberapa entitas yang berbasis di Burma.
"Myanmar pada saat itu merupakan negara yang berbeda. Pertanyaannya kini, seberapa banyak individu di militer Burma yang masih menjalin hubungan dengan Korea Utara, tak peduli meski mereka telah dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Karena, hanya membutuhkan satu-dua orang untuk menjalin kontak dengan Pyongyang," ujar Ruggiero.
"Meski sanksi telah dicabut sejak reformasi Myanmar, saya kira masih ada segelintir pihak yang setia dengan Korea Utara," ucap Ruggiero.
Meski kini junta militer Myanmar telah kehilangan relevansinya di pemerintahan, kekuatan politik mereka masih memiliki pengaruh besar. Mereka juga diduga rutin menjalin kontak dengan Korea Utara.
Awal tahun ini, Directorate of Defense Industries (DDI) Myanmar merupakan satu dari 30 lembaga dunia yang dijatuhi sanksi oleh Kemlu AS. Meski penjatuhan sanksi tak menyebut keterkaitan dengan Korut sebagai faktor, pada 2012Â DDI sempat menuduh hal serupa. Dan pada 2013, kepala DDI Letnan Jenderal Thei Htay resmi dijatuhi sanksi oleh Kemenkeu AS.
Saat ini, Kementerian Luar Negeri Myanmar belum merespons CNN yang meminta keterangan terkait hubungan junta militer dengan Korea Utara.
Sementara itu, beberapa firma asal Singapura turut diduga menjalin hubungan dengan entitas Korea Utara.
Laporan dari PBB awal tahun ini sempat menyebut bahwa sebuah perusahaan bernama Pan Systems Pyongyang memanfaatkan jaringan agensi finansial asal China, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah, untuk mengelabui mekanisme sanksi yang diterapkan oleh AS Cs. Skema itu dimanfaatkan untuk melakukan perdagangan material persenjataan produksi Korea Utara.
Ketika dimintai keterangan oleh CNN terkait hal tersebut, Pan Systems belum memberikan respons.
Namun pada Maret lalu, Pan Systems membantah memiliki relasi dengan Korea Utara dengan mengatakan, "mereka menggunakan nama kami, namun pada nyatanya mereka beroperasi mewakili diri mereka sendiri," jelas Louis Low, managing director untuk Pan Systems.
Pada 2014 lalu, Chinpo Shipping yang terdaftar di Singapura dipidana dan divonis sanksi denda oleh pengadilan setempat karena terbukti menjalin bisnis dengan North Korea's Ocean Maritime Management. Peristiwa itu telah dikonfirmasi oleh Kementerian Luar Negeri Singapura.
Advertisement
Sanksi AS untuk Negara Pro-Korut
Baru-baru ini, upaya untuk memotong arus finansial ilegal Korea Utara yang bersumber dari negara lain menjadi salah satu agenda prioritas Washington, DC. Urgensi agenda itu semakin menjadi, khususnya sejak Pyongyang berhasil melakukan tes rudal untuk yang ke-11 kalinya sepanjang tahun 2017.
"Aksi global dibutuhkan untuk menghentikan ancaman yang bersifat global pula. Setiap negara yang membantu Korea Utara, dari aspek ketenagakerjaan, ekonomi, atau militer, jelas-jelas melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB," jelas Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson.
Akhir Juni lalu, Kementerian Keuangan AS telah menjatuhkan sanksi terhadap empat entitas finansial asal China, yang diduga berperan sebagai "pipa penghubung" untuk mendukung aktivitas finansial ilegal Korut. Sanksi itu dijatuhkan pada Bank of Dandong, satu perusahaan, dan dua individu pegiat finansial.
"Kami akan terus memotong arus keuangan Korea Utara sampai mereka taat pada ketentuan yang ada," kata Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin, 30 Juni 2017.
Kebijakan sanksi AS juga turut merambah ke Afrika. Salah satu negara yang dijatuhi sanksi adalah Sudan.
Hingga kini, Sudan masih meninjau sanksi yang diterapkan AS tersebut. Negara dengan Ibu Kota Khartoum itu akan merespons penjatuhan sanksi Washington, DC pada Oktober tahun ini.
Dan kini, kunjungan Joseph Yun, menurut Ruggeiro, menjadi simbol merambahnya kebijakan sanksi AS ke kawasan Asia Tenggara.
"Pesan yang ingin disampaikan oleh AS ke Korut adalah, 'kami akan berada di mana pun Anda berada'. Sementara itu, negara pihak ketiga dapat memilih dua opsi, mematuhi AS atau tetap bekerja sama dengan Korut," ujar Ruggeiro.
Meski sejumlah sanksi itu diterapkan, Ruggeiro pesimistis kebijakan tersebut mampu secara krusial menekan arus dana bagi Korut. Karena di satu sisi, China, yang menguasai 85 persen impor ke Pyongyang (menurut PBB), masih belum bersungguh-sungguh untuk menghentikan relasi finansial dengan Kim Jong-un.
Setidaknya itu yang dipikirkan oleh Presiden Donald Trump. Sepanjang 2017 ini, presiden ke-45 AS itu telah berulang-kali meminta agar Negeri Tirai Bambu melakukan "pengetatan" arus finansial ke Pyongyang.
"Saya harap China dapat membantu kami untuk membuat Korea Utara lebih segan terhadap AS. Namun tampaknya, upaya mereka (China) tidak berhasil," ujar Presiden Trump lewat akun Twitter-nya, @realDonaldTrump, pada Juni 2017.