Liputan6.com, Jakarta - Anda senang belanja? Baru saja mendapat gaji dan ada diskon besar-besaran di mal dekat kantor atau rumah?
Waspadalah, karena belanja adalah suatu pertempuran. Ya, pertempuran antara pembeli – yaitu kebanyakan di antara kita -- melawan perusahaan.
Tentu saja kita ingin mengeluarkan biaya sesedikit mungkin.
Advertisement
Jadi jangan heran kalau perusahaan-perusahaan memiliki segudang cara untuk menjerumuskan kita mengeluarkan lebih dari yang sebenarnya kita rencanakan.
Baca Juga
Ada berbagai macam cara, mulai dari yang tersamar seperti pengurangan ukuran ubin di lantai toko, hingga cara yang lebih langsung semisal 'tatapan' produk kepada anak-anak kita.
Dikutip dari listverse.com pada Kamis (28/9/2017), berikut ini adalah sejumlah trik yang dilakukan perusahaan untuk memenangkan 'pertempuran' melawan kita:
1. Harga 'Umpan'
Ingat ketika kita pergi menonton film di bioskop yang menyediakan popcorn dan cemilan lain? Tentu saja kita semua tahu bahwa harga-harganya keterlaluan mahal, tapi tetap ada saja trik agar kita membeli lebih.
Perhatikan ada beberapa ukuran sajian popcorn dengan harga masing-masing, misalnya sajian kecil (Rp 40 ribu), sedang (Rp 90 ribu), dan besar (Rp 100 ribu).
Perhatikan jarak harga yang berdekatan antara ukuran sedang dengan ukuran besar. Banyak orang menyangka mereka mendapatkan deal terbaik ketika membeli yang besar karena harganya hanya sedikit lebih mahal daripada sajian ukuran sedang, bukan?
Pada dasarnya, itulah yang disebut dengan harga "umpan" agar pembeli merasa mendapat tawaran yang lebih baik.
Profesor Dan Ariely dari MIT melakukan penelitian untuk menggambarkan kecenderungan ini dengan bantuan para mahasiswanya. Ia membagi mereka menjadi 2 kelompok untuk berlangganan majalah The Economist.
Kelompok A ditawari langganan daring US$ 59 per tahun dan langganan campuran daring serta cetak senilai US$ 125 per tahun. Sekitar 68 persen mahasiswa memilih langganan daring yang lebih murah.
Ia sedikit mengubah penawaran untuk kelompok B menjadi 3 pilihan, yaitu langganan situs senilai US$ 59 per tahun, langganan edisi cetak senilai US$ 125 per tahun, dan langganan gabungan daring dan edisi cetak senilai US$ 125.
Kali ini, sekitar 84 persen memilih pilihan terakhir yang mencakup langganan daring dan edisi cetak karena mereka menyangka mendapatkan penawaran terbaik.
Hanya dengan pilihan umpan, tingkat penjualan melonjak sebesar 30 persen. Jadi, pikirkan lagi ketika berbelanja atau jajan dan mendapat tawaran, misalnya, "Mau tambah Rp 10 ribu lagi untuk mendapat minuman dengan gelas lebih besar?
Advertisement
2. Tanpa Simbol Mata Uang
Ketika kita pergi ke restoran keren yang kekinian, seringkali kita melihat daftar menu yang disodorkan tidak mencantumkan simbol mata uang. Ternyata, itu bukan sekedar gaya karena dimaksudkan agar kita memesan lebih banyak.
Menurut para peneliti di Cornell University, para pengunjung restoran rata-rata mengeluarkan 8 persen lebih banyak di restoran ketika daftar menu tidak mencantumkan simbol mata uang.
Profesor Sheryl E. Kimes memberikan penjelasannya, "Acuan kepada dolar (simbol mata uang), baik dalam kata-kata maupun simbol, mengingatkan orang kepada 'keberatan ketika membayar.'"
3. Ubin Berukuran Kecil di Lantai
Peningkatan belanja daring (online shopping) membuat para pelaku toko tradisional memutar akal mencari siasat baru secara kreatif.
Suatu penelitian terkini oleh Profesor Nico Heuvinck dari IESEG School of Management di Prancis pada 4.000 pembelanja mendapati bahwa "garis-garis mendatar yang berdekatan di lantai memperlambat kecepatan pembelanja berjalan di lorong, sehingga mendorong mereka berkeliling dan belanja lebih banyak."
"Ketika celah diperlebar antara garis-garisnya, maka para pembelanja bergerak lebih cepat dan berbelanja lebih sedikit."
Peneliti itu mengamati bahwa para penjual cenderung menggunakan ubin yang lebih kecil di lorong tempat produk yang lebih mahal dan menggunakan ubin yang lebih besar di tempat yang tidak boleh berjejal, seperti di pintu masuk.
Advertisement
4. Harga '999'
Pernahkah kita belanja produk atau membeli suatu makanan seharga Rp 149.999? Apakah jauh lebih murah daripada barang atau makanan Rp 150.000? Ternyata tidak jauh lebih murah bukan?
Dalam suatu penelitian 2005 oleh New York University, para peneliti mendapati bahwa harga yang diakhiri dengan "999" memiliki dampak besar yang diistilahkan dengan "dampak digit kiri pada kognisi harga."
"Harga yang berakhiran dengan angka 9 dipandang jauh lebih murah daripada harga yang hanya 1 rupiah lebih mahal," demikian menurut laporan penelitian.
Begini penjelasannya. Karena kita membaca dari kiri ke kanan, maka angka pertama di kiri adalah yang paling menjadi perhatian kita. Secara tidak sadar, otak kita menganggap bahwa Rp 149.000 lebih dekat kepada Rp 140.000, bukan ke angka Rp 150.000.
Selain itu, akhiran "999" membuat kita merasa bahwa barang itu sedang diskon, padahal tidak demikian.
Kekuatan pemberian harga seperti itu didemonstrasikan dalam penelitian penting yang dilakukan oleh para profesor dari University of Chicago dan MIT.
Para peneliti menggunakan satu jenis pakaian wanita dan menempelkan 3 jenis harga, yaitu US$ 34, US$ 39,99 dan US$ 44. Mengejutkan, karena baju yang sama jenisnya lebih laku pada harga US$ 39,99 walaupun harga itu lebih mahal daripada harga termurah senilai US$ 34.
5. Penawaran 'Rp 100.000 Untuk 10 Unit'
Apakah kita cukup sering melihat tanda "Rp 100.000 Untuk 10 Unit" di toko dan kemudian kita jadi tergugah untuk membeli sekaligus 10 produk yang ditawarkan tersebut?
Sadarkah bahwa kita sebenarnya tidak memerlukan 10 produk sekaligus agar bisa meraih manfaat terbesar? Sebenarnya, penulisan "Rp 100.000 Untuk 10 Unit" adalah sekedar cara penulisan lain untuk menyebutkan "Rp 10.000 Untuk 1 Unit."
Tapi tetap saja kebanyakan orang membeli lebih banyak produk sekaligus, demikian menurut William Poundstone, penulis buku "Priceless: The Myth of Fair Value and How to Take Advantage of It."
Advertisement
6. Tenaga Penjual yang Kasar
Kita mungkin menyangka bahwa tenaga penjual yang ramah lebih berarti bagi bisnis perusahaan. Tapi sejumlah temuan oleh para peneliti Sauder School of Business di University of British Columbia mengungkap hal sebaliknya.
Menurut para peneliti, semakin ketus tenaga penjualan di toko barang mewah, semakin besar keuntungan yang diraup.
Profesor Darren Dahl, penulis penelitian, menjelaskan, "Sepertinya kesombongan (snobbiness) bisa menjadi suatu kualifikasi yang pantas dipikirkan untuk merek-merek mewah seperti Louis Vuitton atau Gucci."
"Penelitian kami menunjukkan bahwa mereka bisa memberikan dampak "dalam kelompok" (in group) seperti ketika di SMA, sehingga orang-orang lain malah ingin bergabung."
Pada dasarnya, orang-orang yang berbelanja di toko-toko mahal senang bisa masuk dalam kerumunan high-fashion. Para pembelanja mewah berpendapat bahwa tenaga penjual ketus karena mereka (pembelanja) belum punya barang mahal itu dan, setelah membelinya, mereka menjadi bagian dari suatu kelompok ekslusif.
Yang menarik, para peneliti mendapati bahwa fenomena demikian tidak terlihat di antara pembelanja department store untuk pasar kaum kebanyakan (mass market).
Menurut Dahl, "Penelitian kami menunjukkan bahwa seseorang harus memiliki suatu jenis kesombongan tertentu di jenis toko yang tepat agar dampak itu terasa."
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
7. 'Selama Persediaan Masih Ada'
Kita pernah ke pasar swalayan dan kemudian melihat ada penawaran menarik. Sayangya ada pembatasan pembelian untuk tiap pelanggan, misalnya susu kemasan besar hanya Rp 26 ribu, tapi tiap pengunjung hanya boleh membeli 4.
Kenapa ada pembatasan jumlah? Tentunya bukan karena kekurangan susu, tapi karena cara ini efektif untuk menjebak agar pelanggan membeli lebih banyak daripada yang mereka butuhkan.
Trik ini membuat para pembelanja mengira ada permintaan besar untuk produk tertentu yang langka sehingga mereka malah membeli 4 kemasan besar susu daripada pembelanjaan biasa yang hanya 1 atau 2 kemasan. Mereka takut kehabisan.
Tipuan dampak kelangkaan didemonstrasikan dalam suatu penelitian psikologi tahun 1975.
Dalam eksperimen, para peneliti menunjukkan 2 wadah kue yang identik kepada para peserta tes.Satu wadah berisi 10 kue dan wadah lainnya berisi 2 kue.
Peserta uji memberi nilai lebih kepada kue yang ada dalam wadah berisi 2 kue. Mereka beralasan, wadah berisi 2 kue itu karena kuenya memang tersedia lebih sedikit.
Jadi pikirkan tentang hal ini ketika kita sedang memesan tiket penerbangan atau kamar hotel secara daring, lalu mendapat pesan, "Hanya tersisa 11 unit lagi. Beli sekarang!"
Advertisement
8. Menggunakan Huruf Berukuran Kecil
Misalnya kita adalah seorang manajer toko yang ingin mempromosikan suatu penjualan. Katakanlah, kita ingin menjual sweater yang biasanya seharga Rp 650 ribu dengan harga Rp 400 ribu.
Mungkin kita menyangka menuliskan harga Rp 400 ribu itu dengan huruf tebal dan besar. Sebaliknya, suatu penelitian menyebutkan bahwa ukuran penulisan harga malah harus lebih kecil daripada ukuran penulisan harga biasa?
Mengapa demikian? Ternyata, secara tidak sadar, otak kita mengkaitkan ukuran huruf yang lebih kecil dengan harga yang lebih rendah. Para peneliti menyebut itu "kongruensi representasi magnitude."
Penelitian 2005 oleh para profesor dari Clark University dan University of Connecticut mendapati bahwa, jika dibandingkan dengan para pembelanja yang melihat harga jual dalam huruf berukuran besar, maka orang yang melihat harga yang sama dalam huruf kecil akan lebih berkemungkinan membelinya.
9. Penggunaan Penjelasan Berlebihan
Ada dua jenis menu di restoran-restoran, yaitu yang hanya mencantumkan menu dan yang menjelaskan secara terinci. Misalnya, bandingkan antara "steak taco" dengan "taco tepung jagung otentik dengan cilantro segar, bawang, dan limau, dibungkus dengan tortilla buatan tangan, dihiasi dengan salsa avokad."
Pengusaha restoran tidak menuliskan penjelasan hanya agar kita mengetahui apa yang kita makan, tapi penulisan demikian menambah keuntungan.
Menurut para peneliti dari Cornell University dan University of Illinois di Urbana-Champaign, menu dengan penjelasan menaikkan penjualan sebesar 27 persen dibandingkan dengan menu tanpa penjelasan.
Yang menarik, salah satu cara efektif untuk menjelaskan menu dan menaikkan penjualan adalah dengan memberitahu pelanggan tentang merek bahan yang dipakai, misalnya "saus wiski Jack Daniels", bukan sekedar "saus wiski."
Advertisement
10. Arah Tatapan Anak-Anak
Kita mengetahui anak kecil menyukai gula, tapi ada alasan tambahan mengapa anak-anak menyukai, misalnya, Cocoa Puffs.
Suatu penelitian 2014 oleh para peneliti Cornell University dan T.H. Chan School of Public Health di Harvard University mengamati lebih dari 65 sereal di 10 pasar swalayan berbeda.
Mereka mengamai posisi rak-rak toko dan mendapati bahwa sereal yang dipasarkan kepada anak-anak ditempatkan di rak-rak yang tingginya sedikit di atas bidang pandang anak.
Mengapa di bidang pandangan anak? Inilah alasannya, mereka mendapati bahwa "rata-rata sudut tatapan ke karakter pada kotak sereal yang dipasarkan kepada anak-anak menatap ke bawah sebesar 9,6 derajat."
Dengan demikian, anak-anak mendapat kesan bahwa karakter sereal favorit mereka sedang menatap langsung.
Para peneliti melanjutkan dengan penelitian ke dua dan menentukan bahwa para peserta penelitian 28 persen lebih tinggi kemungkinannya membeli sereal jika karakter di kotak produk melakukan 'kontak mata' dengan mereka.