Liputan6.com, Naypyidaw - Konflik di negara bagian Kachin, Myanmar, kian memanas. Militer dilaporkan melakukan pengeboman udara dan menggunakan artileri serta senjata berat di kawasan sipil yang dekat dengan perbatasan China.
"Warga sipil yang tidak bersalah terbunuh dan terluka, ratusan keluarga kini melarikan diri demi menyelamatkan hidup mereka," ujar Yanghee Lee, Pelapor Khusus PBB untuk situasi HAM di Myanmar pada hari Selasa, seperti dikutip dari situs PBB, Rabu (2/5/2018).
"Apa yang kami lihat di negara bagian Kachin selama beberapa minggu terakhir sepenuhnya tidak dapat diterima, dan harus segera dihentikan".
Advertisement
Menurut laporan PBB, lebih dari 5.000 warga sipil telah mengungsi dari desa-desa di dekat perbatasan China dalam tiga pekan terakhir. Anak-anak, wanita hamil, orang tua dan penyandang disabilitas termasuk di antara mereka yang mengungsi.
Baca Juga
Dalam pernyataan persnya, Yanghee menegaskan kembali bahwa semua pihak yang terlibat dalam konflik harus mematuhi hukum humaniter internasional, dan mengambil tindakan pencegahan agar tidak merugikan warga sipil.
"Warga sipil tidak boleh mengalami kekerasan selama konflik. Seluruh pihak harus mengambil semua langkah yang diperlukan demi memastikan keselamatan dan keamanan mereka," tegas Yanghee.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Warga Sipil Terjebak
Yanghee lebih lanjut menyuarakan keprihatinan atas laporan bahwa lebih dari 100 warga sipil telah terperangkap di desa Man Wai selama tiga pekan terakhir, dengan akses yang tidak memadai ke makanan atau obat-obatan.
Sebuah konvoi bantuan makanan, yang diorganisir oleh Palang Merah Myanmar dilaporkan dilarang memasuki desa itu minggu lalu.
"Semua pihak yang terlibat konflik harus mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk. Setiap hambatan yang disengaja dapat diperhitungkan sebagai kejahatan perang di bawah hukum internasional," terang Yanghee.
Pada bulan Maret, ketika perhatian dunia terfokus pada situasi di negara bagian Rakhine dan krisis pengungsi Rohingya, Pelapor Khusus PBB telah mengingatkan bahwa situasi di Kachin, Shan dan daerah lain yang juga terkena konflik memburuk.
"Di negara bagian Kachin, di mana kekerasan sporadis dan pembunuhan intermiten telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan frekuensi dan intensitas bentrokan antara Tatmadaw (angkatan bersenjata Myanmar) dan Kachin Independence Army (KIA) sejak Oktober 2017, mengakibatkan kematian dan pengungsian warga sipil," tutur Yanghee dalam laporannya kepada Dewan HAM PBB.
Pelapor Khusus PBB dan ahli independen ditunjuk oleh Dewan HAM PBB yang bermarkas di Jenewa, Swiss, untuk memeriksa dan melaporkan kembali kondisi HAM atau situasi di sebuah negara. Mereka tidak dibayar atas tugasnya.
Di samping menghadapi krisis Rohingya di bagian barat, pemerintah Myanmar juga menghadapi pemberontakan etnis Kachin di bagian utara. Etnis Kachin, yang kebanyakan Kristen, telah berjuang untuk mendapat otonomi yang lebih besar di negara yang mayoritas beragama Buddha sejak tahun 1961.
Selama enam tahun terakhir, pemerintah Myanmar gencar berupaya menggelar kesepakatan damai dengan sejumlah kelompok pemberontak. Akan tetapi, upaya perdamaian berjalan sangat alot.
Meski krisis Kachin berbeda dengan krisis Rohingya, ada pertautan antar-keduanya. Hal tersebut diungkapkan Zau Raw, yang mengepalai komite pemberontak yang mengawasi bantuan kemanusiaan di daerah pegunungan yang dikuasai kelompok itu di sepanjang perbatasan China.
"Sama seperti Rohingya, Kachin mulai menyadari bahwa militer ingin 'membersihkan' kami. Ini adalah perang untuk memusnahkan kami," tutur Zau Raw.
Pemberontak dari kelompok Kachin Independence Army telah bertemu militer berulang kali untuk pembicaraan damai, tetapi mereka menolak untuk menandatangani gencatan senjata karena pemerintah tidak mengakui beberapa kelompok pemberontak yang bersekutu dengan mereka. Kachin juga menolak mengakui konstitusi 2008, yang memberi militer kekuatan yang luar biasa.
Seperti kebanyakan minoritas lainnya, mereka memandang perjuangannya sebagai perjuangan eksistensial untuk bertahan hidup dan persamaan hak. Militer, sebaliknya, melihat para pemberontak sebagai kekuatan "teroris" yang bertekad untuk mengacaukan negara, demikian menurut petinggi kelompok pemberontak, Maran Zaw Tawng.
Advertisement