Liputan6.com, Pretoria - Apa yang terjadi pada suatu hari di bulan Januari 2014, tak akan lekang dari ingatan James Komape, pria asal Afrika Selatan. Putranya, Michael Komape yang baru berusia 5 tahun tenggelam di lubang WC di sekolahnya di Desa Chebeng, Polokwane.
Ia terjatuh ke toilet jenis pit lantrine, di mana lubang penampungan kotoran berada tepat di bawahnya.
Baca Juga
Kala nyawanya terenggut dengan tragis, bocah cilik tersebut sedang semangat-semangatnya sekolah.
Advertisement
"Saat saya tiba di lokasi kejadian, hanya sesosok tangan kecil yang terlihat di dalam lubang toilet yang terbuka," kata dia saat mengunjungi sekolah di mana putranya meninggal seperti dikutip dari BBC, Selasa (5/6/2018).
"Sejumlah orang berdiri, mereka melongok ke dalam lubang toilet. Tak ada satu pun yang berniat untuk mengeluarkannya. Itu adalah hal paling menyedihkan yang pernah kusaksikan," tambah James.
Menghela napas panjang, ia menambahkan, tak seharusnya ada orang yang meninggal seperti itu.
"Anak saya pasti berusaha meminta bantuan, atau memanjat untuk menyelamatkan diri. Sungguh sulit diterima bahwa putraku tewas sendirian, dan dalam kondisi ketakutan."
Matanya menatap deretan kamar kecil berdinding bata, dengan WC baru, yang dibangun setelah kematian putranya -- di kakus maut yang hanya berjarak beberapa meter dari sana.
Michael Komape tewas setelah lembaran besi karatan yang menutup lubang WC ambrol. Bocah cilik itu jatuh, bersamaan dengan dudukan toilet dan tutupnya yang terbuat dari plastik.
Masalah tersebut ternyata tak hanya dialami satu sekolah, namun meluas di Afrika Selatan.
Meski akses ke sanitasi yang layak adalah hak asasi manusia dasar yang diabadikan dalam konstitusi Afrika Selatan, namun banyak murid yang tak punya pilihan. Mereka harus menggunakan toilet yang tak layak bahkan membahayakan.
Lebih dari 4.500 sekolah memiliki WC yang tak layak, yang dibuat dari logam murah, dibangun seadanya, bahkan tak ditutup.
Analis mengatakan, kasus kakus maut adalah bagian dari warisan sistem apartheid.
Apartheid adalah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan dari sekitar awal abad ke-20 hingga tahun 1990.
Kala itu, nyaris tak ada sumber dana yang dialokasikan untuk membangun sekolah-sekolah untuk penduduk miskin, yang didominasi siswa kulit hitam.
Faktor lainnya adalah ketidakmampuan sekolah-sekolah di Afrika Selatan untuk menjaga dan merawat fasilitas yang sudah ada.
Maut di WC Sekolah
Kini, empat tahun berlalu, James Komape menuntut keadilan bagi putranya yang telah lama tiada.
Dengan bantuan kantor pengacara hak manusia Section27, ia mengajukan banding atas putusan pengadilan tingkat pertama yang menolak klaimnya.
Gugatan yang diajukan Komape diarahkan ke Departemen Pendidikan Provinsi Limpopo yang diduga lalai.
"Kasus Komape sangat tragis, namun itu adalah gambaran umum dari fasilitas sekolah yang mengerikan di negara ini," kata Zukiswa Pikoli dari Section27 kepada BBC.
"Kami sangat terkejut ketika mendengar tentang tragedi itu. Tak mungkin kami tak membantu mereka."
Pikoli menambahkan, pihaknya berniat akan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Konstitusi, lembaga peradilan tertinggi di Afrika Selatan.
Michael Komape bukan satu-satunya bocah yang tewas di kakus sekolah.
Awal tahun ini, di Eastern Cape, seorang bocah berusia 5 tahun tenggelam di jamban sekolahnya.
Awalnya, Lumka Mkhethwa, nama korban, dilaporkan menghilang tanpa jejak di Luna Primary School pada Maret 2018.
Upaya pencarian telah dilakukan sepanjang malam. Namun ia tak kunjung ditemukan.
Hari berikutnya, polisi turun tangan, mencari ke sekolah di mana sosoknya terakhir dilaporkan berada.
Anjing pelacak yang dikerahkan menemukan temuan mengerikan. Tubuh korban yang mungil ternyata berada di dasar lubang WC yang gelap dan dipenuhi kotoran.
Setelah kematiannya yang tragis, Presiden Afrika Selatan yang baru, Cyril Ramaphosa memerintahkan penghapusan toilet jenis pit lantrine di seluruh negeri harus dilakukan sebelum akhir 2018.
Program tersebut membutuhkan dana 11 miliar rand atau sekitar US$ 876 juta. "Kami harus mengatasi dampak dari bertahun-tahun pengabaian. Namun, perubahan harus dilakukan, meski perlahan," kata Elijah Mhlanga, seorang pejabat di kementerian pendidikan dasar.
Sementara itu di Sekolah Dasar Sebushi, yang sederhana, tapi bersih dan terawat dengan baik. Di belakang kebun sayur ada sederetan lubang jamban. Program pembangunan toilet layak belum menjangkau sekolah itu.
Untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan, para guru bergiliran memantau para murid yang menggunakan jamban tersebut.
"Setiap pagi mulai pukul 06.00, seorang guru melakukan patroli toilet, mengawasi siapa yang keluar-masuk," kata Joseph Mashishi, kepala sekolah SD negeri itu.
Ia menambahkan, pihaknya tak mau apa yang terjadi pada keluarga Komape terjadi di sekolahnya. "Tak ada anak yang semestinya tewas di tumpukan kotoran manusia. Sungguh tak manusiawi," kata dia.
Warga di sekitar rumah Michael Komape juga bertindak. Mereka menuntut, berjuang agar toilet baru yang lebih layak dibangun di semua sekolah di wilayahnya, sebagai penghormatan pada seorang bocah cilik yang nyawanya terenggut dengan tragis di usia dini.
Advertisement