17 Negara Bagian AS Ajukan Gugatan Hukum Terkait Kebijakan Imigrasi Donald Trump

Sebanyak 17 negara bagian di Amerika Serikat mengajukan gugatan hukum terkait kebijakan imigrasi yang dibuat Presiden Donald Trump.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 27 Jun 2018, 10:02 WIB
Diterbitkan 27 Jun 2018, 10:02 WIB
Donald Trump Tinjau Tembok Prototipe di San Diego
Presiden AS, Donald Trump memberikan keterangan kepada awak media seusai meninjau prototipe tembok perbatasan AS dan Meksiko di San Diego, Selasa (13/3). Tembok setinggi 30 kaki itu dibangun Trump untuk mencegah masuknya imigran gelap. (AP/Evan Vucci)

Liputan6.com, Washington DC - Sebanyak 17 negara bagian Amerika Serikat (AS) mengajukan gugatan pada pemerintahan Donald Trump, terkait kebijakan pemisahan keluarga imigran yang dinilai "kejam dan melanggar hukum".

Seluruh negara bagian tersebut, termasuk Washington, New York, dan California, mengajukan gugatan hukum terhadap kebijakan penolakan pencari suaka di perbatasan AS-Meksiko.

Sementara itu, Wakil Presiden Mike Pence telah memperingatkan para imigran tanpa dokumen untuk tidak "membahayakan nyawa anak-anak" dengan mencoba memasuki wilayah AS secara ilegal.

Pada sebuah konferensi pers di Brasil, sebagaimana dikutip dari BBC pada Rabu (27/6/2018), Wapres Pence mengatakan dia memiliki pesan bagi mereka yang merencanakan perjalanan ke Amerika.

"Jika Anda tidak dapat datang secara sah, jangan datang sama sekali."

"Jangan mempertaruhkan nyawa Anda, atau nyawa anak-anak Anda, dengan mencoba datang ke Amerika Serikat seperti yang dilakukan oleh penyelundup obat bius dan sindikat perdagangan manusia," kata Pence menambahkan.

Massachusetts, Delaware, Iowa, Illinois, Maryland, Minnesota, New Jersey, New Mexico, North Carolina, Oregon, Pennsylvania, Rhode Island, Vermont dan Virginia ditambah District of Columbia adalah negara-negara bagian lain yang turut menuntut pemerintahan Presiden Donald Trump.

Tuntutan tersebut merupakan tantangan hukum pertama oleh negara bagian terhadap kebijakan imigrasi Donald Trump. Mereka berpendapat bahwa tatanan eksekutif presiden dari Partai Republik itu menyangkal adanya dampak buruk dari pemisahan keluarga imigran ilegal.

Pekan lalu, Presiden Trump menyerukan deportasi tanpa peradilan, hanya beberapa hari setelah ia mengeluarkan perintah eksekutif untuk menghentikan pemisahan anak-anak migran dan orang tuanya.

Gugatan hukum yang diajukan ke Pengadilan Distrik AS di Seattle, negara bagian Washington, pada Selasa, 26 Juni 2018, menyatakan bahwa perintah eksekutif Trump tidak mengamanatkan berakhirnya perpisahan keluarga, dan tidak mengatakan apa-apa tentang menyatukan kembali keluarga yang sudah terpisah.

Selain itu, gugatan tersebut juga turut menggarisbawahi pernyataan Donald Trump bahwa menjaga keluarga migran tetap bersama adalah "ilusi". Hal tersebut dianggap sebagai "penghinaan" terhadap kepentingan para negara bagian untuk menjaga standar perawatan bagi anak-anak migran, dan menjamin hubungan dengan orang tuanya tidak terpisah.

"Kebijakan dan perilaku yang berkaitan dengan pemerintahan (Trump) telah menyebabkan kerugian parah, yang dampaknya segera terasa bagi Amerika dan masyarakatnya," kata Gurbir Grewal, Jaksa Agung negara bagian New Jersey.

"Setiap hari, sepertinya pemerintah mengeluarkan kebijakan baru yang kontradiktif, dan mengandalkan pembenaran baru yang bersifat serupa," lanjut Grewal.

Ditambahkan oleh Jaksa Agung New York, Barbara Underwood, bahwa anak-anak migran yang ditahan di New York City, terpaksa harus dirawat intensif karena mengalami depresi, kecemasan akut, dan dorongan bunuh diri.

"Dengan merenggut anak-anak dari orang tua mereka dan mengirim mereka ratusan mil jauhnya, pemerintahan Trump telah menyebabkan trauma tak terduga kepada anak-anak ini, sekaligus merusak kepentingan mendasar New York dalam melindungi kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan mereka," kata Underwood.

 

*Pantau hasil hitung cepat atau Quick Count Pilkada 2018 untuk wilayah Jabar, Jateng, Jatim, Sumut, Bali dan Sulsel. Ikuti juga Live Streaming Pilkada Serentak 9 Jam Nonstop hanya di liputan6.com.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

 

Desakan Transparansi Anggaran

Capitol Hill, DPR Amerika Serikat - AP
Capitol Hill, DPR Amerika Serikat - AP

Dalam konferensi pers yang digelar pada Selasa, Kantor Permukiman Pengungsi (ORR) pada Departemen Kesehatan AS menegaskan bahwa 2.047 anak-anak migran saat ini masih berada di bawah pengawasan pihak federal.

Anak-anak telah dikirim ke sel tahanan, gudang yang diubah, tenda gurun atau kamp pengasuhan di sekitar Negeri Paman Sam.

ORR mengatakan ada 11.800 anak di jaringan kamp penampungan anak migran di tingkat nasional. Sebagian besar dari mereka berusia di bawah umur, yang identitas pendampingnya tidak jelas saat melintasi perbatasan.

Direktur ORR Scott Lloyd menolak mengatakan apakah lembaga tersebut masih menerima anak-anak migran yang telah terpisah dari keluarga mereka.

Anggota parlemen di Capitol Hill juga telah mendesak Menteri Keamanan Dalam Negeri Kirstjen Nielsen dan Menteri Kesehatan Alex Aza, untuk memberikan informasi tentang biaya pemisahan keluarga migran.

"Publik berhak mendapatkan penghitungan yang lengkap dan menyeluruh, tentang berapa banyak uang mereka yang telah Anda habiskan untuk memecah ribuan keluarga di perbatasan selatan kita," tulis parlemen dalam sebuah pernyataan resmi.

Lebih dari 100 anggota parlemen kongres telah menandatangani permintaan transparansi anggaran itu, dan memberikan batas waktu hingga 10 Juli untuk melaporkan seluruh rincian biaya yang dikeluarkan.

Pejabat keamanan perbatasan nasional mengatakan kepada wartawan di Texas pada Senin, 24 Juni 2018, bahwa ia telah berhenti sementara melanjutkan tuntutan pidana terhadap merujuk para migran yang secara ilegal memasuki wilayah AS.

Komisaris Customs and Borders Protection (CBP) Kevin McAleenan mengatakan tindakan itu merupakan perintah Presiden Trump. Namun sebagai gantinya, Gedung Putih menyarankan untuk menahan keluarga imigran ilegal bersama sebagai gantinya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya