Liputan6.com, New York - Apakah Anda pernah merasakan takut naik pesawat? Jika memang demikian, itu adalah sebuah kewajaran. Ketakutan semacam ini disebut sebagai aerofobia.
Meski moda transportasi udara jauh lebih aman ketimbang jenis kendaraan lainnya, namun berdasarkan pengamatan ahli transportasi, masih banyak orang yang merasa khawatir tentang kemungkinan pesawat yang mereka naiki jatuh. Perasaan tersebut kian memuncak pasca-mendengar insiden kecelakaan, salah satunya yang menimpa Lion Air JT 610 pada Senin 29 Oktober 2018.Â
Menurut seorang terapis psikologi kenamaan asal Inggris, Christopher Paul Jones, ada sejumlah pemicu mengapa seseorang takut terbang.Â
Advertisement
Baca Juga
Ia mendebat beberapa mitos penerbangan, sebagai upaya untuk meredakan stigma buruk publik terhadap pesawat.Â
"Setelah Anda melihat fobia itu dengan cara yang rasional dan menyadari bahwa sebenarnya fobia tersebut hanya mitos, maka inilah waktunya untuk melawan rasa takut tersebut," tegasnya, seperti dikutip dari Express.co.uk, Selasa 30 Oktober 2018.
Jones menjelaskan bahwa kemungkinan mengalami kecelakaan ketika terbang adalah 1Â dibanding 11.000.000 kejadian.
Perbandingan tersebut jauh lebih kecil dari peluang kecelakaan mobil, yakni 1 dibanding 200, menurut versi Lembaga Kesehatan Dunia (WHO).
Fakta tersebut mungkin akan membuat seseorang mengubah perspektif tentang perjalanan udara.
Kemudian, Jones melihat bahwa aerofobia muncul akibat adanya pengaruh dari media massa. Sebuah kecelakaan pesawat yang menewaskan seluruh penumpang di dalamnya, termasuk para kru, bisa menjadi berita utama (headline). Tak hanya sehari. Tapi berhari-hari.Â
Hal tersebut dikarenakan insiden semacam itu sangat jarang terjadi. Seperti misal, jatuhnya Lion Air JT 610 di Tanjung Karawang pada 29 Oktober, yang disorot oleh media lokal dan mancanegara.
Atau kematian satu orang penumpang pesawat maskapai Southwest Airlines dengan nomer penerbangan 1380, yang melaju dari New York ke Dallas, Texas, pada 17 April 2018.
Burung besi yang membawa 144 penumpang dan 5 anggota awak itu mengalami kegagalan mesin, sehingga terpaksa melakukan pendaratan darurat di Philadelphia.
"Ada 100.000 penerbangan per hari. Bayangkan jika dibandingkan dengan berapa banyak kecelakaan yang terjadi di jalanan, masih banyak di darat ketimbang di udara," jelas Jones.
Â
Saksikan video pilihan berikut ini:
Â
Transportasi Udara Adalah yang Teraman?
Sementara itu, seorang sejarawan dan novelis Amerika, Noah Charney, juga turut mengeksplorasi mitos dan realitas seputar perjalanan udara, kengerian ketika membayangkan berada di ketinggian tertentu, dan sains di balik ketakutan irasional seseorang.
"Adrenalin adalah musuh bebuyutan saya, tapi saya tidak pernah takut terbang. Mungkin agak sedikit aneh, mengingat kekhawatiran saya terhadap apapun yang memicu adrenalin," ungkap pria bergelar Doktor itu, seperti dilansir dari situs Adventure.com.
Menurut Noah, perbandingan kemungkinan seseorang meninggal dalam kecelakaan transportasi darat di Amerika Serikat, misalnya, adalah 1 dibanding 6.800.
"Sedangkan kemungkinan tewas dalam kecelakaan pesawat? Lebih kecil, 1 dibanding 13 juta. Namun fakta ini masih saja tidak dapat menghentikan pikiran negatif mereka yang mengalami aerofobia. Saat hendak memesan tiket pesawat, ia harus berpikir dua kali. Namun ketika mengendarai mobil untuk bepergian jarak jauh, tak pernah terbesit sedikit pun angka tersebut," Noah menjabarkan.
"Selain itu, saya jarang sekali menemukan headline berita yang melaporkan tentang 26.678 korban jiwa kecelakaan mobil di Amerika setiap tahunnya. Namun satu kecelakaan pesawat bisa menjadi berita utama di seluruh dunia," lanjut pendiri Association for Research Into Crimes Against Art itu.
Bertumpu pada data yang dibuat oleh Journalist Resource, rata-rata dari 548 orang Amerika meninggal setiap tahun dalam kecelakaan penerbangan antara tahun 2000 hingga 2009.
"Akan tetapi, 85% dari kecelakaan itu merupakan kecelakaan pesawat jet pribadi. Jadi, jika Anda terbang dengan pesawat komersial, Anda sudah berada di tangan yang tepat," ucap Jones.
Di Amerika Serikat, ada 0,07 korban jiwa per miliar mil penumpang. Bila dianalogikan: Jika Anda terbang 500 mil setiap hari selama setahun, Anda memiliki risiko kematian 1 dibanding 85.000.
"Singkatnya, terbang sejauh ini adalah moda transit teraman."
Advertisement