Rusia Sabotase Suara Warga Keturunan Afrika di Pemilu AS 2016?

Rusia dituduh melakukan sabotase terhadap preferensi suara warga keturunan Afrika dalam pemilu AS 2016. Benarkah demikian?

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 18 Des 2018, 11:03 WIB
Diterbitkan 18 Des 2018, 11:03 WIB
Ilustrasi Rusia dan Bendera Rusia (AP PHOTO/Alexander Zemlianichenko)
Ilustrasi Rusia dan Bendera Rusia (AP PHOTO/Alexander Zemlianichenko)

Liputan6.com, Washington DC - Sebuah hasil penyelidikan terbaru menyebut propagandis Rusia secara agresif menargetkan warga keturunan Afrika di Amerika Serikat (AS), untuk menekan dukungan suara terhadap Hillary Clinton pada pemilu presiden 2016 lalu.

Analis menemukan bahwa Rusia menggunakan media sosial untuk "mengecoh, mengalihkan perhatian, dan pada akhirnya mencegah" warga kulit hitam memberikan dukungan suara kepada Clinton.

Bahkan, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Selasa (18/12/2018), propaganda terselubung itu menggunakan beberapa klaim palsu, seperti salah satunya menuding Clinton diam-diam menerima uang dari sekte Ku Klux Klan yang pro kulit putih.

Menurut Biro Sensus AS, jumlah pemilih dari warga keturunan Afrika menurun pada 2016, yang merupakan pertama kalinya terjadi di pemilu presiden dalam 20 tahun terakhir.

Jumlah partisipasi masyarakat keturunan Afrika dalam pemilu presiden 2016 menurun sebanyak 60 persen, yang berselisih tipis dengan rekor tertinggi pada 2012, yakni sebanyak 66,6 persen. Menariknya, jajak pendapat yang menyertainya menyebut bahwa warga kulit hitam sangat mendukung Hillary Clinton dibandingkan Donald Trump.

Temuan baru pada kegiatan rahasia oleh Internet Research Agency (IRA), yang dikenal sebagai "troll factory" (pabrik hasutan) pemerintah Rusia, terungkap pada Senin 17 Desember dalam sepasang laporan kepada komite intelijen Senat AS.

Salah satunya dipimpin oleh para ahli dari Oxford University dan yang lainnya oleh New Knowledge, sebuah firma keamanan siber asal Amerika Serikat.

Laporan baru itu mengatakan Rusia telah melancarkan "perang propaganda" selama lima tahun terhadap publik AS.

Para peneliti Oxford mengatakan bahwa sementara propaganda dimaksudkan untuk "mendorong dan menarik" orang Amerika ke arah yang berbeda, "yang jelas adalah bahwa semua pesan tersebut berusaha untuk menguntungkan partai Republik, dan khususnya, Donald Trump".

Kedua laporan menyalahkan perusahaan media sosial utama --Facebook, Twitter dan Google-- atas kegagalan untuk menyerahkan data lengkap kepada pihak berwenang AS yang menyelidiki kampanye Rusia.

Mark Warner, senior komite Demokrat, mengatakan undang-undang baru diperlukan untuk mengatasi krisis di sekitar media sosial.

"Serangan-serangan terhadap negara kami jauh lebih komprehensif, kalkulasi dan tersebar luas daripada yang diungkapkan sebelumnya," kata Warner.

Lebih dari belasan orang Rusia telah dijatuhi pidana atas peretasan dan aktivitas online lainnya oleh penasihat khusus Robert Mueller, yang menyelidiki gangguan Moskow dalam kampanye pilpres 2016.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Seruan Memboikot Pilpres AS 2016

17 Tahun Dirampas AS, Lonceng Balangiga Dikembalikan kepada Filipina
Bendera Amerika Serikat (AS) berkibar saat pengembalian lonceng Balangiga dari pemerintah AS ke Filipina di Pasay, Manila, Selasa (11/12). Lonceng Balangiga dihormati oleh orang Filipina sebagai simbol kebanggaan nasional. (AP Photo/Bullit Marquez)

Beberapa laporan baru mengatakan bahwa sementara hasutan Rusia membanjiri media sosial dengan materi pro-Trump, upaya halus mereka mendorong warga kulit hitam untuk memboikot pemilu atau memilih kandidat pihak ketiga, hampir tidak disadari.

Salah satu akun Facebook palsu yang dibuat oleh Rusia, Blacktivist, meraih sekitar 4,6 juta tanda suka (likes). Ia mengatakan kepada para pengikutnya di pekan-pekan terakhir kampanye pilpres AS 2016, bahwa "tidak ada hal penting bagi Hillary Clinton".

Unggahan akun palsu itu juga menyebut bahwa warga kulit hitam harus menganjurkan kandidat Partai Hijau, Jill Stein, dan sama sekali tidak meggunakan hak pilih demi keselamatan bangsa.

Para peneliti Oxford juga menemukan fakta bahwa warga AS keturunan Afrika juga ditargetkan dengan lebih banyak iklan di Facebook dan Instagram, daripada kelompok lain.

Lebih dari 1.000 iklan berbeda diarahkan pada pengguna Facebook yang tertarik pada isu-isu Amerika Afrika, di mana mencapai hampir 16 juta orang.

Materi itu dimaksudkan untuk mengobarkan kemarahan tentang tingkat kemiskinan, pemenjaraan, dan penggunaan kekuatan yang dipaksakan oleh polisi di antara warga kulit hitam Amerika.

Hal di atas bertujuan "mengalihkan energi dan perhatian mereka dari lembaga-lembaga politik yang mapan", kata laporan itu, seraya menambahkan bahwa konten serupa turut didorong oleh Orang Rusia di Twitter dan YouTube.

Para peneliti New Knowledge setuju bahwa "upaya IRA yang paling produktif" di Facebook dan Instagram ditargetkan kepada warga kulit hitam Amerika dalam "ekosistem pengaruh imersif", yang menghubungkan banyak halaman berbeda dengan mengunggah beberapa informasi saling berkaitan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya