Krisis Ekonomi Sudan: Mesin ATM Tak Keluarkan Uang, Roti dan Kacang Mahal

Krisis ekonomi dan inflasi membuat banyak orang di Sudan sekarang lebih suka menyimpan uang mereka di bawah kasur daripada di bank.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Jan 2019, 15:00 WIB
Diterbitkan 10 Jan 2019, 15:00 WIB
Kerusuhan kian meluas di Sudan akibat kenaikan harga bahan pokok yang tidak terkendali (AP Photo)
Kerusuhan kian meluas di Sudan akibat kenaikan harga bahan pokok yang tidak terkendali (AP Photo)

Liputan6.com, Khartoum - Banyak orang di Sudan sekarang lebih suka menyimpan uang mereka di bawah kasur daripada di bank. Alasannya karena jika mereka menabung di bank, akan sulit untuk menariknya kembali akibat banyak mesin ATM yang sering kosong, menurut laporan jurnalis Afrika, Zeinab Mohammed Salih di Ibu Kota Khartoum.

"Namun ketika di mana uang tunai tersedia (dalam sebuah mesin ATM), antrean panjang akan mengekor dan itu telah menjadi situasi normal yang baru di Khartoum," kata Salih sebagaimana dilansir BBC, Kamis (10/1/2019).

Pergulatan warga yang hendak membeli roti dan kacang, salah satu pangan primer di Sudan, telah menjadi gambaran tersendiri mengenai krisis ekonomi yang melanda negara yang dipimpin oleh Presiden Omar al-Bashir sejak tiga dekade terakhir, tutur Salih.

"Sepulang dari kerja larut malam, saya sering harus menunggu satu jam untuk sampai ke sebuah toko roti hanya untuk diberi tahu bahwa tidak ada yang tersisa."

"Makanan lain menjadi mahal bagi banyak orang di ibu kota."

"Kacang fava, atau fuul, dianggap sebagai bahan pokok di sini, dan lazimnya dapat ditemukan di setiap sudut toko. Tetapi toko di sebelah tempat saya tinggal sekarang telah berhenti menjualnya, karena pemiliknya menjelaskan kebanyakan orang tidak mampu lagi membelinya."

"Saya melihat, setelah kembali dari tinggal enam bulan di AS sejak September 2018, orang-orang terlihat lebih kurus di sini."

Krisis Ekonomi di Sudan: Mata Uang Melemah dan Inflasi

Zeinab Mohammed Salih menjelaskan, masalah awal dari krisis ekonomi di Sudan berawal dari upaya pemerintah untuk mencegah keruntuhan ekonomi dengan langkah-langkah penghematan darurat dan devaluasi mata uang yang tajam.

Pada Desember 2018, US$ 1 setara sekitar 76 pound Sudan di kios ilegal barter valuta. Itu menunjukkan melemahnya mata uang pound Sudan terhadap dolar AS, yang enam bulan sebelumnya berkisar di taraf US$ 1 untuk 40 pound Sudan.

Harga juga naik. Tingkat inflasi tahunan mencapai 68 persen di bulan November dibandingkan dengan 25 persen di tahun sebelumnya.

Sebagai bagian dari langkah-langkah penghematan, pemerintahan Presiden Sudan Omar al-Bashir telah mengurangi subsidi pada bahan bakar dan roti, yang mengarah pada kenaikan biaya komoditas dasar.

Kenaikan harga roti bulan lalu memicu gelombang protes massa, yang masih berlangsung. Mereka memulai di kota Atbara di timur pada 19 Desember 2018 untuk kemudian membakar markas besar Partai Kongres Nasional (NCP) yang berkuasa.

 

Simak video pilihan berikut:

 

Warga Sudan Meminta Presiden Turun

20160307-Presiden Sudan Omar Al Bashir -Jakarta
Presiden Sudan Omar Al Bashir ketika melakukan wawancara khusus dengan redaksi Liputan6.com di Jakarta, Senin (7/3/2016). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Krisis ekonomi telah berubah menjadi demonstrasi yang menyerukan untuk mengakhiri pemerintahan Presiden Omar al-Bashir selama hampir tiga dekade.

Para pengunjuk rasa, yang mengadopsi jargon gerakan Arab Spring, terdengar meneriakkan "Rakyat menginginkan jatuhnya rezim" berulang kali.

Demonstrasi terbaru akhir-akhir ini di Khartoum adalah yang terbesar terhadap Presiden Bashir sejak ia berkuasa pada tahun 1989 dalam kudeta militer yang didukung kelompok politik dan militan Islam.

Dan banyak hal telah berubah menjadi mematikan. Para pejabat mengatakan 19 orang telah tewas setelah pasukan keamanan berusaha memadamkan protes, tetapi kelompok hak asasi Amnesty International mengatakan mereka memiliki laporan yang kredibel bahwa 37 pengunjuk rasa tewas.

Banyak pendukung oposisi telah ditangkap dan wartawan telah ditahan dan menjadi target kekerasan akibat meliput demonstrasi.

Ini semua telah meningkatkan tekanan pada Presiden Bashir yang berusia 75 tahun, di mana orang mengatakan ia telah tampak lelah dan agak bingung ketika berbicara kepada para perwira polisi topnya sepekan lalu.

Presiden Bashir mendesak mereka untuk menggunakan kekuatan yang lebih sedikit terhadap para pengunjuk rasa, tetapi, kemudian menyatakan pernyataan kontradiktif nan misterius yang mengisyaratkan bahwa ia memberi lampu hijau kepada aparat keamanan untuk penanggulangan demonstrasi yang lebih brutal.

Presiden Sudan Omar Al Bashir ketika melakukan wawancara khusus dengan redaksi Liputan6.com di Jakarta, Senin (7/3/2016). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Keesokan harinya, ribuan orang berbaris di pusat kota Khartoum, tiga orang ditembak di kepala dan satu dokter ditembak di pahanya oleh penembak jitu, kata para aktivis.

Di sisi lain, pemerintah menuduh beberapa orang dari wilayah barat Darfur berada di belakang protes dan melakukan tindakan sabotase dan perusakan.

"Sekelompok mahasiswa muda keturunan non-Arab di Darfur ditangkap dan diduga mereka sedang dilatih oleh dinas rahasia Israel untuk menyabot negara. Teman-teman mereka telah membantah ini dan menuduh pemerintah menggunakan mereka sebagai kambing hitam," kata Zeinab Mohammed Salih melaporkan di Ibu Kota Khartoum, sebagaimana dilansir BBC.

Dalam solidaritas dengan para mahasiswa yang ditangkap, para pengunjuk rasa telah menambahkan nyanyian baru selama demonstrasi mereka, berteriak, "Kamu rasis yang sombong, kita semua adalah warga Darfur."

Presiden Bashir telah menjanjikan kenaikan gaji untuk pegawai negeri sipil dalam upaya untuk meringankan masalah, tetapi ini dianggap tidak efektif tanpa mengatasi penyebab krisis yang paling mendasar: melambungnya harga kebutuhan pokok.

Pada Rabu 9 Januari 2019, ia mengangkat topik soal Suriah sebagai peringatan saat berpidato di depan kerumunan pendukungnya di Khartoum, mengatakan ketidakstabilan di Sudan dapat membuat mereka menjadi pengungsi sebagaimana di Suriah.

Beberapa warga Sudan terlihat sedang menyiapkan makanan sebelum makan malam Iftar di pinggir jalan raya Khartoum di desa al-Nuba (AFP)

Tetapi negara itu telah berjuang secara ekonomi selama beberapa tahun, dan masalahnya diperburuk dengan pemisahan diri Sudan Selatan pada 2011, yang memiliki tiga perempat dari produksi minyak negara itu.

Sudan juga telah terisolasi secara internasonal dan perekonomian mereka belum membaik, meski negara itu telah lepas dari sanksi ekonomi Amerika Serikat pada 2017 lalu.

AS sebelumnya menerapkan sanksi setelah menuduh Sudan mendukung dan menampung bos kelompok teroris Al-Qaeda, Osama bin Laden medio 1990-an.

Upaya oleh presiden untuk menemukan sekutu baru, melalui mengunjungi presiden Suriah yang diperangi dan mengirim pasukan untuk mendukung Arab Saudi, juga tidak membuahkan hasil.

Sementara itu, suasana di Khartoum telah berubah sejak awal demonstrasi beberapa pekan lalu.

"Ada rasa takut. Beberapa perempuan mengatakan mereka telah berhenti keluar karena mereka tidak ingin anak-anak mereka meninggalkan rumah dan bergabung dengan protes seperti yang terjadi selama demonstrasi anti-pemerintah lima tahun lalu," kata Zeinab Mohammed Salih melaporkan di Ibu Kota Khartoum, sebagaimana dilansir BBC.

Namun ada juga keberanian. Orang-orang terdengar berteriak kepada para perwira bersenjata yang memandang mereka dari atap gedung: "Penembak jitu, kami bisa melihatmu!"

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya