Filipina Sebut Perjanjian Pertahanan AS Berisiko Picu Perang dengan China

Otoritas Filipina menuding perjanjian pertahanan dengan AS dapat memicu perang dengan Tiongkok di Laut China Selatan.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 06 Mar 2019, 13:00 WIB
Diterbitkan 06 Mar 2019, 13:00 WIB
Tentara memegang bendera Filipina (AFP)
Tentara memegang bendera Filipina (AFP)

Liputan6.com, Manila - Pejabat tinggi pertahanan Filipina mempertanyakan perjanjian kunci dengan Amerika Serikat (AS), karena khawatir hal itu dapat menyeret Manila ke dalam perang di Laut China Selatan.

Berbicara pada Selasa 5 Maret, Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana menilai Perjanjian Pertahanan Bersama Filipina-AS (MDT) sebagai kesepakatan yang ambigu dan kabur, di mana berisiko menyebabkan "kebingungan dan kekacauan selama krisis."

"Filipina tidak dalam konflik dengan siapa pun dan tidak akan berperang dengan siapa pun di masa depan," tegas Lorenzana, sebagaimana dikutip dari CNN pada Rabu (6/3/2019).

"Tetapi Amerika Serikat, dengan semakin sering kapal-kapal angkatan lautnya berlayar di Laut Filipina Barat, lebih mungkin terlibat perang, dan berdasarkan MDT, Filipina akan secara otomatis terlibat (di dalamnya)," lanjutnya menjelaskan.

Laut Filipina Barat adalah istilah lokal untuk menyebut Laut China Selatan, tempat kapal-kapal angkatan laut AS berlayar bebas, dan memicu kecaman keras dari Tiongkok, yang mengklaim sebagian besar wilayah itu sebagai wilayahnya.

Pada hari Senin, sebuah pesawat bomber B-52 milik AS terbang di dekat pulau-pulau yang diperebutkan di Laut China Selatan, menurut Pasukan Udara Pasifik AS, yang mengawasi operasi udara di wilayah tersebut.

Ini adalah patroli udara pertama yang melibatkan B-52 berkemampuan nuklir sejak November lalu.

Disepakati pada Dekade 1950-an

MDT antara AS dan Filipina ditandatangani pada 1951, pada tahun-tahun awal Perang Dingin. Dalam kesepakatan ini, kedua negara berkomitmen untuk saling membantu dalam hal "serangan bersenjata di wilayah metropolitan salah satu pihak, atau di wilayah pulau di bawah yurisdiksinya di Pasifik, atau pada angkatan bersenjata, berupa kapal-kapal publik dan pesawat di Pasifik".

Presiden AS, Donald Trump berbincang dengan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte dalam acara makan malam bersama konferensi ASEAN ke-31 di Manila, Minggu (12/11). Trump dan Duterte berbincang mengenai sejumlah isu. (AP Photo/Andrew Harnik)

Pada Desember lalu, Lorenzana memerintahkan peninjauan kembali apakah perjanjian itu "masih berlaku atau masih relevan hari ini."

"Itu adalah perjanjian yang disepakati 67 tahun lalu. Apakah itu masih relevan dengan kepentingan nasional kita? Itulah yang harus kita perhatikan. Mari kita lihat tanpa perasaan, tanpa mempertimbangkan tentang ikatan masa lalu, tentang ikatan masa depan, tanpa perasaan," katanya, menambahkan tujuan akhirnya adalah "mempertahankannya, memperkuatnya, atau membuangnya".

Menurut Dewan Hubungan Luar Negeri (CFR) --sebuah lembaga politik independen yang berbasis di Manila-- perjanjian itu telah lama menjadi sumber pertengkaran di Filipina, karena ketidakjelasan bagaimana hal tersebut mencakup wilayah yang disengketakan, seperti pulau-pulau di Laut China Selatan, yang diklaim oleh Manila dan Beijing sebagai milik mereka.

"Perbedaan interpretasi muncul dari fakta bahwa Amerika Serikat tidak secara eksplisit menyatakan apakah wilayah sengketa yang diklaim Filipina berada di bawah ketentuan perjanjian pertahanan bersama," kata CFR dalam laporan 2016.

"Beberapa klaim teritorial ini dibuat pada era 1970-an, beberapa dekade setelah perjanjian itu diratifikasi," lanjutnya.

 

Simak video pilihan berikut: 

 

Filipina Berada dalam Hubungan Internasional yang Canggung

Presiden Filipina Rodrigo Duterte (AP/Bullit Marquezz)
Presiden Filipina Rodrigo Duterte (AP/Bullit Marquezz)

Awal bulan ini, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo bertemu dengan Presiden Filipina Rodrigo Duterte dan pejabat tinggi lainnya, di mana ia berusaha meyakinkan Manila tentang komitmen Washington terhadap MDT.

"Karena Laut China Selatan adalah bagian dari Pasifik, setiap serangan bersenjata terhadap pasukan Filipina, pesawat, atau kapal umum di Laut China Selatan akan memicu kewajiban pertahanan timbal balik berdasarkan Pasal 4 Perjanjian Pertahanan Bersama kami," kata Pompeo.

Berbicara di sampingnya, Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin mengatakan kedua pemerintah "berbagi pandangan bahwa aliansi tersebut harus dapat memastikan pertahanan timbal balik yang tidak pernah gagal dari kedua negara kita".

Namun pada hari Senin, Lorenzana menunjuk pada apa yang dia katakan sebelumnya adalah kegagalan AS untuk menegakkan bagiannya pada kesepakatan tersebut, dan mempertahankan integritas teritorial Filipina.

Sementara itu, Manila telah berada dalam hubungan yang canggung antara Beijing dan Washington selama bertahun-tahun.

Di bawah pemerintahan Benigno Aquino sebelumnya, pemerintah memenangkan kasus penting melawan Tiongkok di pengadilan internasional, yang memutuskan bahwa sebagian besar klaim teritorial Beijing di Laut China Selatan tidak sah.

Di bawah Duterte, Manila justru bergerak lebih dekat ke Beijing, bahkan ketika sang presiden terus menyuarakan keprihatinan tentang ambisi teritorial China. Pada November lalu, kedua negara sepakat untuk bekerja sama dalam eksplorasi minyak dan gas di Laut China Selatan, yang Duterte sebut "telah dikelola Beijing".

"Sekarang (migas) ada di tangan mereka. Jadi mengapa kita harus menciptakan friksi (dan melakukan) aktivitas militer yang kuat, yang akan mendorong respons dari China?" kata Presiden.

Kekhawatiran serupa tampaknya ada di benak Lorenzana pada hari Senin, ketika dia berkata, "Bukan karena kurangnya kepastian yang membuat saya khawatir, namun lebih kepada risiko terlibat dalam perang yang tidak kita cari, dan tidak kita inginkan".

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya