Liputan6.com, Tripoli - Faksi pasukan Libya pimpinan Jenderal Khalifa Haftar mengklaim telah menembak jatuh sebuah drone Turki di Bandara Internasional Mitiga, pada Minggu 30 Juni 2019.
Klaim itu muncul di tengah ketegangan antara Libyan National Army (LNA) pimpinan Haftar dengan Turki, setelah Ankara menyatakan dukungannya terhadap lawan sang jenderal; pasukan Government of National Accord (GNA) atau pemerintahan Libya pimpinan PM Fayez al-Sarraj yang diakui internasional.
"Jet tempur kami berhasil menghancurkan (drone) Bayraktar Turki ketika tengah lepas landas," kata LNA dalam sebuah pernyataan di Facebook, dilansir Al Jazeera, Senin (1/7/2019).
Advertisement
"Pesawat itu hendak bersiap menyerang posisi pasukan bersenjata kami," lanjut klaim LNA.
Baca Juga
Sebelumnya pada 28 Juni, juru bicara LNA, mengatakan bahwa Jenderal Haftar telah memerintahkan pasukan untuk menembak kapal dan 'berbagai kepentingan lain' milik Turki yang masuk atau berada di sejumlah wilayah di Libya.
Turki dikabarkan telah memasok drone dan truk untuk pasukan GNA.
Namun, LNA bukan tanpa dukungan asing. Sejumlah diplomat menduga bahwa pasukan pimpinan Haftar itu telah menerima dukungan dari Prancis, Uni Emirat Arab dan Mesir --Al Jazeera melaporkan.
Padahal, PBB menerapkan embargo senjata ke Libya, termasuk yang diperuntukkan bagi GNA maupun LNA.
Eskalasi
Rangkaian konflik berlarut antara LNA dengan GNA tengah berada pada salah satu titik terpanas, setelah pasukan Libya yang loyal kepada PM Sarraj merebut kota Gharyan di selatan dari milisi Haftar pada Rabu 19 Juni lalu.
Kekalahan di Gharyan merupakan sebuah kemunduran bagi LNA, yang bersekutu dengan pemerintah paralel di timur yang berbasis di Benghazi. Mereka sebelumnya juga telah gagal untuk mengambil Ibu Kota Tripoli dari tangan GNA sejak konflik bersenjata pecah beberapa bulan lalu.
Tetapi, LNA memiliki superioritas udara dan telah beberapa kali menyerang bandara internasional Tripoli, Libya yang rutin beroperasi.
Simak video pilihan berikut:
Sekilas Perang Saudara Libya
Libya telah dilanda konflik bersenjata sejak penggulingan mantan pemimpinnya, Kolonel Moammar Gaddafi pada 2011. Lusinan milisi beroperasi di negara ini.
Namun, sejak beberapa waktu terakhir, milisi itu terbelah ke dua kubu: bersekutu dengan GNA yang diakui PBB; atau berkoalisi dengan LNA pimpinan Jenderal Haftar, seorang anti-Islamis yang memiliki dukungan dari Mesir dan Uni Emirat Arab, serta kuat di Libya timur.
Jenderal Haftar membantu Kolonel Gaddafi merebut kekuasaan pada tahun 1969 sebelum jatuh bersamanya dan pergi ke pengasingan di Amerika Serikat. Dia kembali pada tahun 2011 setelah pemberontakan melawan Gaddafi dimulai dan menjadi komandan pemberontak.
Pemerintah persatuan alias GNA dibentuk pada perundingan yang diperantarai komunitas internasional pada tahun 2015. Tetapi sejak itu, Jenderal Haftar telah berjuang untuk menegaskan kontrol nasional.
Di sisi lain, Perdana Menteri Fayez al-Sarraj mengatakan bahwa ia akan mempertahankan mandat kekuasaan atas GNA yang dipercayakan kepadanya.
Sarraj mengklaim bahwa ia telah menawarkan konsesi kepada Jenderal Haftar untuk menghindari pertumpahan darah, namun kemudian "ditusuk dari belakang".
Haftar, yang berusia 75 tahun, telah menggambarkan dirinya sebagai satu-satunya solusi untuk ketidakstabilan Libya, tetapi banyak pihak di negara itu khawatir dia bisa mencoba untuk mengembalikan kekuasaan otoriter.
Advertisement