Berunding Damai, Presiden Prancis - Komandan Militer Libya Siap Bertemu

Presiden Prancis Emmanuel Macron akan bertemu komandan militer Libya timur, Khalifa Haftar dalam rangka pembicaraan perundingan damai kedua negara.

oleh Liputan6.com diperbarui 17 Mei 2019, 16:42 WIB
Diterbitkan 17 Mei 2019, 16:42 WIB
Presiden Prancis Emmanuel Macron (AP/Phillipe Wojazer)
Presiden Prancis Emmanuel Macron (AP/Phillipe Wojazer)

Liputan6.com, Paris - Presiden Prancis Emmanuel Macron akan bertemu dengan komandan militer Libya timur Jenderal Khalifa Haftar, pada pekan depan. Keduanya akan membicarakan soal perundingan damai di negara yang pernah dipimpin oleh Moammar Khadafi. Demikian menurut informasi dari sumber-sumber kepresidenan Prancis pada Kamis, 16 Mei 2019.

Setelah menerima perdana menteri Libya yang diakui PBB, Fayez al-Serraj, Presiden Macron pekan lalu berseru perlunya dilakukan gencatan senjata dalam pertempuran yang sudah berlangsung selama sebulan di Tripoli, demikian sebagaimana dilansir dari VOA Indonesia pada Jumat (17/5/2019).

Sementara itu, Perdana Menteri Italia Giuseppe Conte bertemu dengan Khalifa Haftar hari Kamis dalam upaya Eropa untuk mengakhiri konflik di Libya. Gejolak di negara itu bermula dengan pasukan Haftar menyerang ibu kota Tripoli, mematahkan perundingan damai yang diprakarsai PBB.

Setelah bertemu dengan Presiden Macron pekan lalu, pemerintahan Perdana Menteri Libya Serraj meminta kepada 40 perusahaan asing termasuk perusahaan minyak Prancis TOTAL untuk memperbaharui izin mereka, atau operasi mereka di Libya akan dihentikan. 

Ada Jejak Misil dan Drone Buatan China di Libya

Khalifa Haftar mengepalai Tentara Nasional Libya yang memproklamirkan diri (AFP Photo)
Khalifa Haftar mengepalai Tentara Nasional Libya yang memproklamirkan diri (AFP Photo)

Sebuah laporan yang bocor, yang dibuat oleh panel ahli kepada Dewan Keamanan PBB telah mengidentifikasi rudal air-to-surface Blue Arrow buatan China di Libya, menurut laporan AFP.

Serangan mematikan di pinggiran selatan Tripoli menewaskan sedikitnya 227 orang dan melukai lebih dari 1.000, menurut para pejabat, ketika pasukan yang setia kepada figur militer pemberontak, Jenderal Khalifa Haftar berjuang untuk merebut ibu kota dari pemerintah yang diakui PBB.

Panel PBB mengatakan, "hampir pasti" bahwa rudal yang digunakan dalam serangan itu dipasok secara tidak langsung oleh pabrikan, atau oleh China, ke Libya. Mereka telah meminta informasi dari China untuk membantu mengidentifikasi pemasok.

Panel PBB juga menyelidiki penggunaan pesawat tak berawak buatan Tiongkok dan kemungkinan peran Uni Emirat Arab (UEA) dalam misi maut yang dilakukan oleh Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Haftar.

"Dugaan penggunaan varian pesawat udara tak berawak (UAV) Wing Loong oleh Tentara Nasional Libya (LNA), atau oleh pihak ketiga untuk mendukung LNA," sedang diselidiki oleh panel, menurut laporan yang akan diterima Dewan Keamanan PBB pada Kamis 9 Mei 2019 mendatang, seperti dikutip dari The South China Morning Post.

Wing Loong adalah drone dengan daya tahan lama di ketinggian sedang yang dikembangkan oleh Chengdu Aircraft Industry Group (CAIG).

Penggunaan drone itu "kemungkinan merupakan sebuah ketidakpatuhan baru atas regulasi embargo senjata ... sistem senjata yang dilaporkan juga belum diidentifikasi di Libya sebelumnya", kata para ahli.

Menurut laporan, UAV itu dioperasikan oleh pemerintah UEA dan dilaporkan terlihat berputar-putar di atas ibukota Libya selama penyerbuan malam dalam beberapa hari terakhir.

Armada drone UEA termasuk pesawat CAIG Wing Loong dan Wing Loong II.

Ratusan orang Telah Tewas

Pasukan dari Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Haftar meluncurkan serangan hampir dua pekan lalu untuk merebut Tripoli (AFP/Mahmud Turkia)
Pasukan dari Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Haftar meluncurkan serangan hampir dua pekan lalu untuk merebut Tripoli (AFP/Mahmud Turkia)

Setidaknya hampir 400 orang tewas dan 1.936 lainnya terluka sejak pasukan pemberontak pimpinan Jenderal Khalifa Haftar melancarkan serangan untuk merebut ibu kota Libya, Tripoli bulan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) melaporkan pada Jumat 3 Mei 2019.

Sementara itu lebih dari 50.000 telah mengungsi sebagai akibat langsung "dari konflik bersenjata yang semakin meningkat di Tripoli", menurut badan PBB lainnya, Organisasi untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA).

"Kami prihatin dengan angka perpindahan yang mengkhawatirkan," kata OCHA pada hari Jumat di Twitter, seperti dikutip Manila Bulletin.

Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Haftar memulai kampanye militer terhadap Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli pada 4 April 2019.

Pasukan loyalis GNA yang diakui secara internasional sejak itu telah meluncurkan serangan balasan, yang mengarah ke kebuntuan di wilayah pinggiran selatan ibukota.

Othman Abdel Jalil, menteri pendidikan GNA dan kepala komite krisis pemerintah, pada hari Kamis 2 Mei mengatakan 55.000 orang telah mengungsi.

Jalil mengatakan bahwa 40 pusat penampungan dan 27 sekolah telah membuka pintu mereka untuk menyambut para pengungsi yang membutuhkan.

Sebagian besar warga sipil Libya yang melarikan diri dari pertempuran telah menemukan perlindungan dengan kerabat atau teman, tanpa mendaftar kepada pihak berwenang, menurut lembaga kemanusiaan --mengindikasikan bahwa jumlah pengungsi bisa lebih tinggi dari yang diperkirakan.

Jalil juga mengatakan bahwa pihak berwenang telah "menempatkan cadangan strategis komoditas yang bisa bertahan selama beberapa bulan."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya