Belanda Bakal Bantu Upaya Sertifikasi Sawit Indonesia untuk Ekspor ke Pasar Eropa

Belanda berkomitmen membantu Indonesia dalam upaya sertifikasi produk kelapa sawit yang akan dipasarkan ke Negeri Kincir Angin, dan secara luas, pasar Eropa.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 08 Okt 2019, 11:31 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2019, 11:31 WIB
Jokowi dan PM Belanda
Presiden Joko Widodo atau Jokowi (kanan) berbincang dengan PM Belanda Mark Rutte (kiri) sebelum pertemuan di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin (7/10/19). Pertemuan itu membahas kerja sama strategis antara Indonesia dan Belanda kedepan berdasarkan prinsip kemitraan komprehensif. (AP/Dita Alangkara)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Belanda berkomitmen untuk membantu Indonesia dalam upaya sertifikasi produk kelapa sawit yang akan dipasarkan ke Negeri Kincir Angin, dan secara luas, pasar Eropa.

Komitmen itu datang di tengah sentimen negatif dan narasi diskriminasi dari organisasi multilateral Benua Biru terhadap komoditas ekspor unggulan Tanah Air tersebut.

Harapannya, menurut sejumlah pejabat RI, sertifikasi tersebut akan menjadikan proses produksi dan produk kelapa sawit Indonesia memenuhi prinsip berkelanjutan (sustainability), ramah lingkungan, dan mampu bersaing dengan produk biofuel Eropa.

Penegasan atas komitmen tersebut terjadi dalam pertemuan kedua kepala negara, Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte, di Istana Bogor, Senin (7/10/2019).

"Kita sepakat untuk terus meningkatkan perdagangan yang terbuka, dalam hal ini saya sampaikan kembali concern Indonesia untuk kebijakan Uni Eropa terhadap kelapa sawit," ucap Presiden Jokowi dalam pernyataan pers bersama PM Rutte.

Pada bagiannya, Rutte mengatakan bahwa sektor kelapa sawit memiliki masalah yang cukup kompleks, namun, "Kami berupaya untuk mengubah situasi (kompleks) ini menjadi sebuah peluang," tegasnya.

Beberapa pekan sebelum pertemuan tingkat tinggi itu, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi dan Menteri Perdagangan Luar Negeri Belanda Sigrid Kaag telah meneken memorandum kesepahaman (MoU) 'Joint Production on Sustainable Palm Oil' di sela-sela Sidang Majelis Umum ke-74 PBB di New York' pada 26 September 2019.

Memorandum itu, kata Retno pada September lalu, akan memberikan mekanisme pemberdayaan bagi sejumlah petani-petani sawit untuk menghasilkan produk yang berkelanjutan (sustainable).

Mekanisme kemitraan itu juga ditujukan untuk memberikan dukungan penguatan kapasitas agar produk kelapa sawit RI mampu bersertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

Dalam sebuah pernyataan pers Kemlu RI, Menteri Kaag menegaskan, "Belanda, sebagai top importir kelapa sawit di kalangan negara Uni Eropa, mengapresiasi komitmen Indonesia dalam meningkatkan kapasitas produk-produk sawit berkelanjutan."

"Belanda juga mengakui nilai ekonomi kelapa sawit dan kontribusinya untuk meningkatkan mata pencaharian petani kecil di Indonesia," kata Kaag seperti dikutip dari situs resmi Badan Pengelola Dana Perkebunan kelapa Sawit (BPDP-KS).

Simak video pillihan berikut:

Penguatan Kapasitas Petani Sawit Berskala Kecil

Sawit
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan provinsi itu per tahun 2019, kabupaten dengan Hak Guna Usaha (HGU) kebun kelapa sawit terluas di Aceh, yakni 71,661.53 hektare. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Pelaksana Tugas Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI, Teuku Faizasyah mengatakan, MoU 'Joint Production on Sustainable Palm Oil' yang diteken antara RI dan Belanda, "akan diimplementasikan dalam bentuk program-program penguatan kapasitas yang menyasar petani-petani sawit kecil, bekerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat dari Belanda," ujarnya dalam kesempatan terpisah di Jakarta, 7 Oktober 2019.

Memorandum dan program-program tersebut, "juga secara luas berperan sebagai payung sertifikasi produk kelapa sawit Indonesia yang akan diekspor ke Belanda dengan tujuan akhir pasar Eropa," lanjut Faizasyah.

Sementara itu, Wakil Kepala Bagian Ekonomi Kedutaan Besar Belanda di Indonesia, Joost Nuitjen mengatakan bahwa pemerintah negaranya "berkomitmen bekerjasama dengan Indonesia dalam menghasilkan produk kelapa sawit yang berkelanjutan," ujarnya dalam kesempatan terpisah di Jakarta, Senin 7 Oktober.

Senada dengan apa yang dikatakan oleh Faizasyah, Nuitjen mengatakan bahwa Belanda "akan menyiapkan sejumlah proyek yang berlandaskan pada MoU yang ditandatangani kedua menteri di New York pada September (2019) lalu."

Seorang pejabat Kemlu RI yang memahami proses kerja sama tersebut menjelaskan, Belanda akan mendasari bentuk-bentuk bantuan sertifikasi kelapa sawit Indonesia menggunakan mekanisme 'The Amsterdam Declaration in Support of a Fully Sustainable Palm Oil Supply Chain by 2020'.

Deklarasi itu ditandatangani pada 2015 oleh menteri dari enam negara Eropa; Denmark, Prancis, Jerman, Belanda, Norwegia, dan Inggris --mengatasnamakan diri sebagai negara anggota Uni Eropa.

Meski harga sawit cenderung belum stabil, komoditi ini tetap menjadi primadona bagi petani di Provinsi Jambi. (Dok. Istimewa/B Santoso)

Dalam naskah pembukaan, para penandatangan "menegaskan kembali pentingnya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang menyerukan, antara lain, produksi berkelanjutan dan konsumsi, dan memastikan keamanan pangan dan gizi, mengakhiri kemiskinan, memerangi perubahan iklim, dan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati, degradasi lahan dan deforestasi."

Indonesia --bersama Argentina, Kolombia, Ghana, Pantai Gading, dan Malaysia-- sebagai negara produsen kelapa sawit menjadi negara "target sasaran". Mereka, bekerjasama dengan negara penandatangan dan pemangku kepentingan lain dan sektor swasta (secara kolektif disebut sebagai Amsterdam Declarations Partnership), akan melakukan "peningkatan kapasitas dalam produksi komoditas minyak kelapa sawit yang berkelanjutan," demikian dikutip dari situs resmi the Sustainable Trade Initiative (IDH).

Situs resmi Amsterdam Declaration Partnership menyebut bahwa nilai kemitraan itu mencapai angka 52,5 juta euro (Rp 815 miliar) yang akan disalurkan ke negara mitra produsen kelapa sawit.

"Yang tersalurkan ke Indonesia akan bernilai sekitar 5 juta euro (Rp 77,6 miliar) untuk menyasar sekitar 15.000 petani sawit kecil, yang akan dieksekusi pada 2020," kata pejabat Kemlu RI tersebut yang berbicara dalam sarat anonimitas.

"Harapannya, produk yang dihasilkan setelah terjamah program bisa bersertifikasi sesuai dengan mekanisme tersebut, sesuai dengan prinsip berkelanjutan, ramah lingkungan, dan berdaya saing Eropa," lanjutnya yang menambahkan bahwa kedua negara segera memulai diskusi di tataran pelaksana kerja untuk target pelaksanaan 2020.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya