Liputan6.com, Khartoum - Sudan telah resmi menghapus aturan hukum publik yang mengatur perihal bagaimana wanita seharusnya berpakaian dan berperilaku di depan umum.
Dalam akun Twitternya @SudanPMHamdok, Perdana Menteri Abdalla Hamdok turut prihatin kepada para wanita yang telah "mengalami kekejaman akibat penerapan hukum ini".
Dikutip dari BBC, Sabtu (30/11/2019), otoritas transisi negara itu juga membubarkan partai mantan Presiden Omar al-Bashir.
Advertisement
Bashir merebut kekuasaan dalam kudeta 1989 dan memerintah selama hampir 30 tahun sebelum protes damai menggulingkannya pada April 2019.
Sudan saat ini dipimpin oleh dewan militer dan sipil bersama, serta kabinet yang dipimpin sipil dan dikepalai oleh Perdana Menteri Hamdok.
Pencabutan hukum dan pembubaran Partai Kongres Nasional (NCP) merupakan tanggapan terhadap tuntutan utama gerakan protes, yang bertujuan untuk membubarkan rezim Bashir.
Masyarakat kemudian merayakannya di jalan-jalan ibu kota Khartoum semalaman setelah mendengar berita mengenai gerakan itu.
Aisha Musa, salah satu dari dua wanita di Dewan Sovereign baru Sudan, mengatakan kepada BBC Newsday bahwa sementara rezim sebelumnya berfokus pada bagaimana wanita berpakaian dan bertindak - termasuk mencegah wanita mengenakan celana panjang - mereka juga telah mengabaikan pendidikan dan kesehatan mereka.
"Sudah saatnya semua korupsi ini berhenti, bahwa semua perlakuan ini untuk para wanita Sudan dihentikan," katanya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Apa Isi Larangan Tersebut?
Sebuah laporan di 2017 oleh dua badan amal menggambarkan pembatasan itu sebagai campuran dari larangan hukum dan moral "yang dirancang untuk memberi pengecualian dan mengintimidasi perempuan yang berpartisipasi aktif dalam kehidupan publik".
Mereka memberi mandat kepada pihak berwenang untuk secara semena-mena mengendalikan apa yang dikenakan wanita, yang mereka ajak bicara dan lihat, dan pekerjaan apa pun yang mungkin mereka lakukan. Hal itu dapat ditindak lanjuti setelahnya dimana pelaku yang dianggap menyalahi aturan akan menerima hukuman cambuk, atau dalam kasus yang jarang terjadi rajam dan bahkan eksekusi.
Selain itu, aturan ketertiban umum dijaga secara "tidak jelas dan terbuka sehingga memungkinkan adanya eksploitasi sebagai alat kontrol sosial oleh pihak berwenang," kata laporan itu.
Aktivis HAM Hala al-Karib mengatakan kepada BBC Newsday bahwa pencabutan undang-undang itu adalah "langkah besar" bagi negaranya, dengan alasan undang-undang tersebut telah menegakkan ideologi rezim lama, yang "berbasis teror dan diskriminasi".
Pihak berwenang memiliki kekuatan untuk "sepenuhnya memburu perempuan", katanya, dan undang-undang ini secara tidak proporsional berdampak pada perempuan miskin, perempuan dari zona konflik dan orang-orang di luar Khartoum.
Tetapi sementara dia menyambut pencabutan undang-undang itu, Karib mengatakan masih banyak hal yang harus dilakukan untuk mengakhiri "kerangka kerja hukum yang sangat diskriminatif".
Selama ini, kaum wanita berada di garis terdepan dalam gerakan yang menggulingkan Bashir. Mereka menuntut kebebasan yang lebih besar untuk diri sendiri serta negara mereka.
"Kami membutuhkan negara yang adil. Kami telah banyak menderita bahkan lebih dari laki-laki. Perempuan harus berada di pusat pemerintahan," kata seorang aktivis kepada kantor berita Al Jazeera pada April.
Seorang siswa berusia 22 tahun Alaa Salah menjadi ikon bagi para demonstran setelah sebuah video nyanyian-nyanyian terkemukanya terhadap mantan pemimpin itu beredar. Itu membuatnya mendapat julukan "Ratu Nubia".
Pada 25 November, Sudan mengadakan pawai pertamanya dalam beberapa dasawarsa untuk Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Â
Advertisement