Liputan6.com, Jakarta - Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah akhirnya angkat suara terkait artikel Wall Street Journal (WSJ) yang menyebut pihak mereka bungkam soal derita Uighur. WSJ menuding ada perubahan sikap ormas Islam Indonesia setelah diajak jalan-jalan pemerintah China ke Xinjiang.
Muhammadiyah pun membantah bahwa sikap mereka berubah. Pihak mereka pun menepis implikasi bahwa mereka mendapat uang dari pemerintah China. Uang akomodasi kopi pun dianggap lebih kecil ketimbang uang yang Muhammadiyah habiskan di Xinjiang.
Advertisement
Baca Juga
"Dana yang kami habiskan lebih banyak ketimbang dana yang diberikan untuk minum kopi di airport," ujar Ketua Biro Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional PP Muhammadiyah KH Muhyiddin Junaidi di Jakarta, Senin (16/12/2019).
"Sekali lagi kami tegaskan, no money, no corruption, nothing," ucapnya.
Muhyiddin ikut rombongan pemerintah China untuk mengecek kondisi ke Xinjiang pada Februari lalu. Ia pun menyebut melihat ada sejumlah keanehan yang terjadi di daerah tersebut, mulai dari hotel hingga kamp.
Namun, mereka mengaku memilih menyampaikan langsung ke pemerintah karena khawatir muncul pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Apa saja keanehan yang ditemukan rombongan Muhyiddin? Berikut 5 keanehan di Xinjiang versi Muhammadiyah.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
1. Tak Bisa Salat Subuh di Masjid
Ketika baru tiba di ibu kota Xinjiang, Muhyiddin meminta kepada wakil China Islamic Association (CIA) untuk diantar salat subuh di masjid. Tak disangka, permintaan itu ditolak.
"Dikatakan di sini masjidnya agak jauh dan kami susah membawa ke sana karena suhu udara yang sangat dingin, minus seventeen," ucap Muhyiddin. Penolakan itu langsung membangkitkan kecurigaan.
"Tapi kalau itu permintaan dari tamu kepada shohibul bait (tuan rumah) biasanya apapun dituruti. Nah mulai saat itu kami mulai curiga," ujarnya.
Advertisement
2. Hotel Dikondisikan
Kejanggalan lainnya adalah fasilitas hotel yang seperti baru direnovasi. Muhyiddin melihat arah kiblat sepertinya baru saja dipasang.
"Masuk kami ke hotel memang sudah ada direction kiblat di kamarnya. Tapi tampak jelas mana yang asli dan baru dibikin. Itu berbeda," ujarnya.
3. Wartawan Dilarang Beli Rokok
Gerak-gerik wartawan yang datang ke Xinjiang sangatlah dibatasi. Sekadar membeli rokok pun dilarang oleh penjaga.
"Ternyata di depan dihadang: Where are you going?" cerita Muhyiddin.
Penjaga pun memberikan rokok kepada wartawan itu. Selanjutnya, wartawan itu juga berkata ingin membeli minum dan korek, namun tetap saja tak diizinkan keluar dan semuanya diberikan oleh penjaga.
Advertisement
4. Murid di Kamp Tak Boleh Salat
Muhyiddin menyebut konstitusi di China tidaklah ramah terhadap agama apapun. Penghuni kamp pendidikan di Xinjiang pun rata-rata dibawa karena menjalani agamanya.
"Setelah kami berkunjung ke re-education, penghuninya adalah orang-orang Uighur yang melaksanakan agamanya secara terbuka," ucap Muhyiddin.
"Jadi selama di re-education satu tahun tak boleh salat dan tak boleh puasa," ia menambahkan.
Para peserta pendidikan di kamp itu diajarkan konstitusi China dan Bahasa Mandarin. Mereka juga diajari kemampuan-kemampuan vokasi, namun organisasi HAM dunia menyebut kondisi kamp itu sangat otoriter.
5. Label Halal Dilarang
Bahasa asli Uighur sebetulnya masih mendapat pengaruh dari tulisan Arab. Namun, tulisan arab dilarang pemerintah China karena dianggap memuat tindakan agama.
Pemerintah China melarang agama ditunaikan di tempat umum, dan label halal termasuk kategori agama sehingga tak boleh ditampilkan di restoran sekalipun.
"Kami jarang menemukan ada restoran itu halal. Tidak ada. Karena Halal itu bahasa agama. Agama tak boleh berada di ruang umum," ujar Muhyiddin.
Advertisement