Liputan6.com, Beijing - Human Rights Watch (HRW) melaporkan bahwa China telah menerapkan pembatasan perjalanan yang ketat bagi warga Uighur dari Xinjiang, melanggar hak mereka yang dilindungi secara internasional untuk meninggalkan negara tersebut.
Laporan yang dirilis pada Senin (3/2/2025) menyebut bahwa warga Uighur dilarang mengunjungi negara-negara yang dianggap "sensitif" oleh pemerintah China, seperti Turki, yang memiliki populasi Muslim besar. Sebaliknya, mereka hanya diperbolehkan bepergian ke negara tertentu, seperti Kazakhstan, dan itupun hanya untuk keperluan bisnis.
Selain itu, Uighur yang menetap di luar negeri diwajibkan menyertakan alasan perjalanan serta undangan dari anggota keluarga jika ingin berkunjung ke Xinjiang. Beberapa di antara mereka bahkan mengalami interogasi intensif setelah kembali ke China.
Advertisement
Seorang warga Uighur yang ayahnya diperiksa setelah kembali dari perjalanan luar negeri mengatakan kepada HRW bahwa ayahnya ditanya secara mendetail tentang orang-orang yang ditemuinya dan tempat-tempat yang dikunjunginya.
"Dia berkata, 'Saya tidak bertemu siapa pun', yang memang benar. Kami bahkan tidak pergi ke restoran Uighur agar tidak menarik perhatian atau terpantau oleh pengawasan China," ungkapnya, seperti mengutip laman Independent, Rabu (5/2).Â
Selain itu, warga Uighur yang berkewarganegaraan asing menghadapi prosedur visa yang lebih sulit, dengan proses aplikasi yang bisa memakan waktu hingga enam bulan. Kegiatan yang dianggap non-politis, seperti menyekolahkan anak di sekolah berbahasa Uighur atau menghadiri acara pernikahan dengan kehadiran aktivis Uighur, dapat menjadi alasan penolakan visa.
Â
Penahanan dan Pengawasan Ketat di Xinjiang
Dalam beberapa tahun terakhir, China telah menghadapi kritik global atas perlakuannya terhadap warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya. PBB memperkirakan bahwa lebih dari satu juta warga Uighur telah ditahan di pusat-pusat "re-edukasi" sejak 2017, sebagai bagian dari kebijakan kontra-terorisme yang dijalankan oleh Beijing.
Pada awalnya, China membantah keberadaan pusat-pusat tersebut, namun kemudian mengklaim bahwa tempat-tempat itu adalah fasilitas pelatihan kerja dan pendidikan ulang untuk mencegah ekstremisme.
Turki, yang memiliki hubungan budaya dan etnis dengan Uighur, selama ini menjadi tujuan bagi banyak warga Uighur yang mencari perlindungan dari pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang. Namun, sikap pemerintah Turki terhadap kebijakan China kini cenderung lebih moderat seiring dengan penguatan hubungan ekonomi antara kedua negara.
Advertisement
Tur Propaganda
Menurut HRW, beberapa warga Uighur di luar negeri dilaporkan diminta oleh pemerintah China untuk ikut serta dalam "tur propaganda" ke Xinjiang yang diselenggarakan oleh Partai Komunis China.
Untuk mengikuti tur ini, peserta diminta menyerahkan salinan kartu identitas China, paspor, dan alamat rumah mereka di Xinjiang. Beberapa warga Uighur mengikuti tur ini demi keamanan pribadi dan untuk mendapatkan visa dengan lebih mudah.
Sejumlah negara, termasuk Australia, Amerika Serikat, dan Inggris, telah mengeluarkan pernyataan bersama di PBB yang mengecam pelanggaran hak asasi manusia terhadap Uighur di Xinjiang dan Tibet. Namun, Beijing dengan tegas menolak tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai "kebohongan abad ini".
Sementara itu, HRW menegaskan bahwa hak Uighur untuk bepergian dan berkomunikasi dengan keluarga mereka di luar negeri bukanlah hak istimewa, melainkan hak asasi yang harus dihormati oleh pemerintah China.