OPINI: Kanye West Berpotensi Menjadi 'Pengacau' di Pilpres Amerika Serikat 2020

Bisa jadi majunya Kanye West menjadi capres independen untuk membantu Donald Trump agar bisa berkuasa dua periode.

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Jul 2020, 19:53 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2020, 10:02 WIB
Pengamat politik Amerika Serikat, Didin Nasirudin. (Dok. Pribadi)
Pengamat politik Amerika Serikat, Didin Nasirudin. (Dok. Pribadi)

Oleh: Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan pengamat politik Amerika Serikat

Liputan6.com, Jakarta - Pada 4 Juli lalu, rapper, produser musik dan fashion disainer Kanye West yang juga suami selebritri kondang Kim Kardashian melalui cuitan Twitternya mengumumkan akan maju sebagai calon presiden (capres) AS melalui jalur independen. Banyak kalangan curiga Kanye West hanya mencari sensasi atau sekadar mencuri perhatian publik terkait peluncuran album barunya. Tapi banyak pengikutnya yakin West serius sehingga mereka langsung menyatakan dukungan.

Kanye West dan Kim Kardashian merupakan pasangan selebriti dengan puluhan juta penggemar di media sosial. West memiliki 29.7 juta pengikut di Twitter, sedengkan Kardashian 65.7 juta. Di Instagram, West hanya memiliki 771 ribu pengikut, tapi pengikut Kardashian mencapai 179 juta.

Ketenaran, puluhan juta pengikut di media sosial dan kekayaan gabungan yang mencapai US$2.2 miliar merupakan modal yang cukup besar untuk menjadi calon presiden. Apalagi sistem di AS sangat memudahkan capres maju lewat jalur independen. Meskipun setiap negara bagian punya aturan sendiri.

Vermont, misalnya, tidak mensyaratkan apa-apa bagi capres jalur independen. Sementara di Louisiana, capres independen akan dipungut bayaran US$500. Yang menjadi persoalan, mencalonkan diri kurang dari 4 bulan sebelum pilpres 3 November 2020 boleh dikatakan sangat terlambat. Di negara bagian seperti Texas, North Carolina, New Mexico, Nevada dan Indiana batas waktu pendaftaran capres sudah lewat.

Kalau pun memaksa maju, Kanye West hanya bisa mendaftar di sebagian negara bagian saja. Yang perlu dicatat, selama ini tidak pernah ada capres independen yang sukses menjadi presiden AS. Pertanyaannya adalah: Apakah Kanye West benar-benar serius dengan pencalonannya meskipun peluang untuk menang nol besar? Apa yang akan terjadi terjadi di November nanti jika dia maju?

Dalam wawancara dengan majalah, West mengaku serius dan bahkan sudah memiliki cawapres yakni Michelle Tidball yang mengklaim diri sebagai 'Biblical Life Coach.' West yang dikenal dekat dengan Donald Trump mengaku sudah berhenti memakai topi merah bertuliskan "Make America Great Again".

West tidak menafikan pencalonannya bisa mencuri dukungan pemilih kulit hitam dari Biden dan membantu Trump terpilih kembali. "Mengatakan bahwa suara kulit hitam untuk Demokrat adalah sebuah bentuk rasisme dan supremasi kulit putih," kata West pada Forbes.

Sementara Trump dalam wawancaranya dengan Sean Hannity di Fox News mengungkapkan keyakinannya West dan Kardashian akan selalu menjadi pengikutnya dan optimistis West akan mendukungnya untuk terpilih kembali.

Di sinilah benang merahnya. Bisa jadi majunya Kanye West menjadi capres independen untuk membantu Trump agar bisa berkuasa dua periode. Yakni dengan memecah suara pemilih kulit hitam dan kaum muda yang cenderung memilih capres Partai Demokrat tapi belum solid mendukung Biden.

Pemilih Kulit Hitam dan Kalangan Muda Signifikan

Menurut data Pew Research Center, pemilih kulit hitam mencapai 12.5% dari seluruh pemilih di 2020, sedangkan 37% pemilih di tahun ini adalah kaum milenial dan Gen-Z. Angka ini sangat besar karena selisih suara popular pemenang pilpres AS dengan pesaingnya dalam beberapa pilpres terakhir selalu di bawah 10%. Misalnya Barack Obama yang didukung 95% pemilih kulit hitam dan 66% pemilih berusia 18-29 tahun memenangkan pilpres 2008 dengan selisih suara popular 7.2%.

Sistem Politik AS adalah Multi-partai dan Akomodatif untuk Calon Independen

Banyak orang beranggapan sistem politik AS hanya memiliki dua partai yakni Partai Republik dan Partai Demokrat. Ini tidak benar. Meskipun Republik dan Demokrat merupakan partai yang dominan, Ballotpedia menyebut ada 20 partai politik lain di AS, mulai dari Mountain Party hingga Working Families Party. Tapi dari semuanya hanya ada tiga partai yang cukup diperhitungkan, yakni Libertarian Party, Green Party dan Constitution Party.

Menurut data the Green Papers, dalam pilpres AS 2016 terdapat lebih dari 200 capres yang mewakili parpol atau sebagai calon independen. Dari semuanya, hanya 31 capres yang namanya tercantum di kertas suara, dengan setiap negara bagian punya daftar nama capres berbeda-beda. Kertas suara pilpres di Colorado mencantumkan capres paling banyak, ada 22 nama. Capres yang tidak tertulis di kertas suara masih bisa menjadi capres sebagai write-in candidate, artinya pemilih boleh menulis namanya di kertas suara dan ini dianggap sah.

Selain pasangan Hillary Clinton – Tim Keine dan Donald Trump – Mike Pence yang tertulis di kertas suara semua negara bagian AS, nama-nama lain yang tertulis di kertas suara banyak negara bagian adalah pasangan Gary Johnson – William Wield dari Libertarian Party, di 51 negara bagian (termasuk DC); Jill Stein – Ajamu Baraka dari Green Party, di 45 negara bagian + 3 write-in; Darrel Castle – Scott N. Bradley dari Constitution Party, di 24 negara bagian + 17 write-in; Roque "Rocky" De La Fuente Guerra - Michael Alan Steinberg dari Reform Party, di 24 negara bagian + 12 write-in; dan Evan McMullin – Mindy Finn dari Independence Party, di 11 negara bagian + 24 write-in.

Selain capres-cawapres dari partai-parti kecil di atas, ada beberapa nama capres independen yang pada pilpres 2016 lalu meraih lebih dari 1.000 suara seperti Richard Duncan, Mike Smith, Lynn Kahn, Laurence Kotlikoff, Kyle Kopitke dan Joseph Maldonado.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

Capres Partai Ketiga dan Independen Sering Dituduh sebagai 'Spoiler'

Kanye West bertemu Donald Trump
Rapper Kanye West saat bertemu dengan Presiden AS, Donald Trump di Oval Office, Gedung Putih, Kamis (11/10). West mengenakan topi bertuliskan slogan yang kerap digaungkan Trump, yakni "Make America Great Again". (AP/Evan Vucci)

Karena sistem politik AS selama ini didominasi oleh Partai Republik dan Demokrat, publik seakan tidak memberi angin bagi capres partai lain (yang kerap disebut partai ketiga atau third party) atau calon independen. Partai besar yang capresnya kalah dalam piplres kerap menyebut capres partai ketika dan independen sebagai spoiler atau ‘pengacau’ karena dianggap mencuri suara capres mereka sehingga kalah di pilpres.

Misalnya dalam pilres 1992 capres independen Ross Perot dituding Partai Republik menjadi biang keladi kekalahan George H.W. Bush oleh Bill Cinton. Dalam pilpres tersebut Perrot berhasil meraih 18.9% suara popular dan membuat Bush kalah oleh Clinton dengan hanya memenangkan 18 negara bagian, dengan total suara elektoral 168, sementara Clinton menang di 32 negara bagian + DC dengan 370 suara elektoral. Padahal dalam pilres sebelumnya, Bush menang mudah atas capres Partai Demokrat Michael Dukakis.

Kejadian serupa tapi berkebalikan terjadi di pilpres 2000. Capres Partai Republik George W. Bush secara dramatis mengalahkan capres Partai Demokrat Al Gore setelah memenangkan negara bagian Florida dengan selisih hanya 537 suara dari total 5.963.110 suara atau hanya 0.01%. Saat itu persaingan suara elektoral sangat ketat sehingga Florida menjadi penentu: siapapun yang menang di Florida maka menjadi pemenang.

Partai Demokrat menuntut penghitungan ulang di beberapa daerah kantong suara Partai Demokrat dengan keyakinan Gore akan mendapat tambahan suara lebih dari marjin keunggulan Bush, tapi proses perhitungan ulang dibatalkan oleh Mahkamah Agung.

Yang terjadi kemudian adalah para petinggi dan pendukung Partai Demokrat menyalahkan Ralph Nader, capres dari Green Party, sebagai penyebab kekalahan Gore di Florida. Nader meraih 97.488 suara di Florida, atau hampir 200 kali lipat marjin kemenangan Bush.

Mimpi buruk pilpres 2000 kembali berulang di pilpres 2016. Saat itu Hillary Clinton unggul 2.8 juta suara dalam perolehan suara popular tapi kalah 227 vs 304 dalam suara elektoral. Clinton kalah terutama karena Trump unggul tipis 22.748 suara di Wisconsin, 10.704 suara di Michigan dan 44.292 suara di Pennsylvania.

Kembali, capres partai ketiga –kali ini Jill Stein dari Green Party--dituding sebagai biang keladi kekalahan Clinton. Stein memang berhasil meraih suara yang lebih besar dari marjin kemenangan Trump di ketiga negara bagian tersebut, dengan meraih 31.072 di Wisconsin, 51.463 suara di Michigan dan 49.941 di Pennsylvania.

Perolehan suara Stein antara lain didapat dari pemilih Partai Demokrat pendukung Bernie Sanders di primary yang tidak sudi mencoblos Hillary Clinton. Menurut sebuah survei yang dikutip The New York Times, 8% pendukung Sanders memilih capres partai ketiga.

Tapi Koresponden Senior VOX German Lopez mengatakan Partai Demokrat kalah bukan karena Jill Stein menjadi spoiler tapi akibat kegagalan mereka menarik dukungan para pemilih sayap kiri Partai Demokrat yang merasa lebih cocok dengan platform Bernie Sanders.

Juga secara umum, keikutsertaan capres dari pihak ketiga tidak bisa dihindari. Partai-partai kecil tersebut selalu berupaya untuk menjadi alternatif bagi para pemilih AS yang selama ini dikuasi oleh ‘duopoli’ Partai Republik dan Demokrat. Selain itu, sistem pemilu AS yang relatif longgar akan membuat banyak orang berbondong-bondong maju menjadi capres.

Donald Trump Sudah Tamat Jika Tanpa Terobosan

Jika pada Juni lalu persaingan antara kedua capres masih cukup ketat dengan 6 negara bagian masuk dalam kategori swing states, maka pada bulan Juli ini arah angin piplres AS berhembung ke arah Biden. Cook Political Report Electoral College Forecast menyatakan Biden sudah meraih 279 suara electoral sementara Trump hanya 188, dengan swing states yang tersisa Florida, North Carolina, Arizona dan Georgia. Inside Elections Presidential Ratings dan Crystal Ball 2020 Electoral College menyebut Biden sudah mengamankan 268 suara elektoral vs Trump 204, sehingga Biden cukup menang satu negara bagian lagu, yakni Wisconsin, Florida, North Carolina atau Arizona.

Princeton Election Consortium bahkan menyebut Biden sudah unggul 403 vs Trump 135. Seorang capres harus meraih minimal 270 untuk menang di pilpres AS. Sebagian besar lembaga survei lainnya juga memprediksi kemenangan telah Biden atas Trump di November nanti.

Pilpres akan berlangsung hampir empat bulan lagi, sehingga peta persaingan bisa saja berubah. Tapi para analis politik berpendapat, dengan kasus dan kematian akibat COVID-19 yang terus saja meningkat, situasi perekonomian yang tidak kunjung membaik dan sentimen negative publik terhadap tindakan Trump dalam menyikapi protes anti rasial dan anti kekerasan oleh polisi membuat Trump sulit untuk keluar dari lobang yang digalinya sendiri.

Jadi untuk menang, Trump perlu menyiapkan sebuah strategi out of the box, termasuk dengan mendorong majunya calon partai ketiga atau independen yang bisa mencuri suara pendukung Partai Demokrat. Majunya Kanye West sebagai capres independen bisa menjadi salah satu strategi out of the box ini, yakni menjadikannya sebagai ‘spoiler’ pilpres 2016 yang menguntungkan Trump.

Strategi ini berisiko, tapi ini sudah urusan hidup mati karir politik Trump. Lagipula dukungan terhadap Trump di kalangan basis pendukung Partai Republik sudah bisa dikatakan solid yakni di atas 90%. Trump sendiri bahkan mengklaim sudah didukung 96% pemilih Partai Republik.

 

Skenario Kanye West Menjadi 'Pengacau' di Pilpres AS 2020

Kanye West siap maju sebagai calon Presiden AS (AP/Matt Styles)
Kanye West siap maju sebagai calon Presiden AS (AP/Matt Styles)

West bisa menjadi spoiler di pilpres 2020 dan membantu Trump terpilih kembali dengan memanfaatkan beberapa celah berikut:

Pertama, dukungan pemilih Demkrat terhadap Joe Biden tidak solid. Meskipun Biden sudah memenangkan primary Partai Demokrat dan hampir semua pesaingnya memberikan endorsement, tapi sebagian pendukung mereka menyatakan tidak akan memilih Biden. Menurut hasil poling The New York Times dan Siena College: 4% pendukung Elizabeth Warren, 5% pendukung Pete Buttigieg, 8% pendukung Bernie Sanders, 11% pendukung Mike Bloomberg dan 9% pendukung Amy Klobuchar akan memilih capres di luar Trump dan Biden di pilpres nanti.

Kedua, kalangan kaum muda kulit hitam—dan kaum muda secara keseluruhan—tidak antusias mendukung Biden. Menurut analisis yang dilakukan oleh Democracy Fund + UCLA Nationscape dan dimuat oleh The Washington Post pada bulan Mei lalu, hanya 68% pemilih kulit hitam berusia 18-29 tahun berencana untuk memilih Biden di pilpres. Pada pilpres 2016, Hillary Clinton didukung oleh 85% pemilih kulit hitam berusia 18-29 tahu dan Obama sukses meraih dukungan 95% kalangan mudah kulit hitam pada 2008. Protes protes anti rasial di seantero AS memang membuat dukungan masyarakat kulit hitam terhadap Trump semakin menipis, tapi secara umum Biden yang berusia 77 tahun dan mewakili kelompok establishment Partai Demokrat tidak begitu disukai oleh kalangan muda yang progresif.

Ketiga, pilpres 2020 kemungkinan akan tetap meriah, meskipun belum diketahui jumlah capres akan terdaftar di bulan November nanti. Yang pasti, Libertarian Party sudah siap mengajukan pasangan Spike Cohen - Jo Jorgensen, Green Party dengan pasangan Howie Hawkins - Angela Walker dan Constitution Party dengan pasangan Don Blankenship - William Mohr. Banyaknya capres akan berpotensi menjadi pelarian pendukung Partai Demokrat yang tidak suka Biden, pendukung Partai Republik anti-Trump yang enggan memilih capres Partai Demokrat dan pemilih independen yang gamang seperti pada 2016. Para pengamat politik AS yakin pilpres 2020 ini tidak akan seperti 2016 dalam arti tidak banyak suara Partai Demokrat dan Partai Republik dan independen anti-Trump yang bocor ke capres lain. Tapi tetap saja, situasi politik dalam empat bulan menjelang pilpres masih sangat bisa berubah.

Keempat, meskipun Biden mendapat dukungan dari mayoritas pemilih kulih hitam, terutama mereka dari kalangan dewasa dan lansia—karena menjadi wapres setia Barack Obama selama 8 tahun-- Biden memilki masa lalu yang rumit terkait isu rasial. Misalnya, Biden dikenal dekat dengan Senator John Eastland (Demokrat -Mississippi) dan Senator Herman Talmadge (Demokrat-Georgia) yang mendukung segregasi atau kebijakan pemisahan kelompok-kelompok ras. Biden juga menjadi salah satu senator yang menolak kebijakan desegregation busing yakni kebijakan mengangkut pelajar kulit hitam ke sekolah-sekolah mayoritas kulit putih dengan tujuan mengurangi segregasi di sekolah-sekolah.

Kanye West bersama Kim Kardashian dengan penggemar gabungan yang sangat besar, berpotensi menciptakan kekacauan yang signifikan di pilpres November nanti dengan menarik dukungan dari kalangan muda dari berbagai kelompok rasial, pemilih independen dan kaum anti-Trump yang enggan memilih Biden. Untuk itu West tidak perlu mendaftarkan diri menjadi capres di semua negara bagian AS, karena hampir 2/3 populasi kaum kulit hitam tinggal di negara-negara bagian yang masuk category safe Republican seperti Georgia, Louisiana, South Carolina, Alabama dan Mississippi atau safe Democratic seperti New York, Illinois, Maryland dan Virginia.

West cukup fokus ke Florida, Michigan dan Pennsylvania, tiga negara bagian dengan populasi pemilih kulit hitam, kaum muda dan indepen yang cukup besar. Dengan memenangkan tiga negara bagian tersebut, ditambah dengan negara-negara bagian yang safely Republican, Trump mendapat 269 suara elektoral atau hanya kurang 1 elektoral saja untuk mencapai angka kemenangan 270 suara elektoral, yang bisa diraih dengan memenangkan Distrik-2 Nebraska. Florida memilki pemilih kulit hitam 13%, pemilih muda berusia 18-29 sebesar 10% dan pemilih independen 29% menurut CNN Exit Poll di pemilihan gubernur Florida 2018.

Trump mengalahkan Clinton di Florida dengan marjin 1.20% saja, tapi saat ini menguntit Biden dengan marjin -5.2% menurut data poling yang dikumpulkan RealClearPolitics (RCP). Batas pendaftaran untuk capres independen di Florida adalah 15 Juli, dengan syarat 132.781 tandatangan pendukung.

Pemilih kulit hitam di Michigan mencapai 15%, kaum muda 18% dan independen 30%. Trump unggul 0.23% atas Clinton di Michigan, tapi saat ini kalah -7.5% oleh Biden menurut RCP. Pemilih independen harus mendaftar paling telat 16 Juli dengan menyertakan 12.000 tandatangan pendukung.

Pennsylvania memikili komposisi pemilih kulit hitam 13%, kaum muda 12% dan independen 22%. Trump menang tipis 0.7% di Pennsylvania pada 2016, tapi saat ini kedodoran -6.5% dari Biden menurut RCP. Batas pendaftaran untuk pemilih independen dii Pennsylvania adalah 3 Agustus dengan syarat 5000 tandatangan pendukung.

North Carolina menjadi negara berikutnya yang bisa dipilih West karena memiliki pemilih kulit hitam lebih besar yakni 32%, juga Georgia pemilih kulit hitamnya 30%. Tapi pendaftaran capres independen di North Carolina sudah ditutup pada 3 Maret lalu. Selain itu kalau Trump menang di Florida, Pennsylvania dan Michigan, dia kemungkinan besar akan menang di North Carolina yang memang lebih condong ke Partai Republik. Poling-poling di Georgia juga masih mengunggulkan Trump meskipun dengan marjin yang tipis.

Sampai saat ini belum ada informasi apakah Kanye West sudah mendaftar di Florida atau Michigan yang batas waktunya sudah sangat dekat. Tidak menutup kemungkinan batas waktu pendaftaran capres independen diperpanjang karena pandemi. Yang, pasti sebagian pengikut West di Twitter yang tidak menyukai Trump menyayangkan keputusan West untuk maju di pilpres 2020. Misalnya akun @TervoPatrick secara tegas mengatakan dalam cuitannya: Replying to @kanyewest A vote for Kanye is a vote for Trump. Don’t risk it.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya