Peneliti: Perubahan Iklim Bisa Sebabkan Rasa Bir Berubah

Dalam postingan baru-baru ini di situs web universitas, dia menjelaskan bagaimana perubahan suhu akan memengaruhi tanaman hop dan bahan bir lainnya.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 20 Agu 2020, 20:40 WIB
Diterbitkan 20 Agu 2020, 20:40 WIB
Ilustrasi Bir (AFP)
Ilustrasi Bir (AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Selama bertahun-tahun, semakin banyak ilmuwan telah memperingatkan tentang efek dari perubahan iklim seperti kenaikan volume air di samudra dan perubahan pola cuaca yang tidak terduga.

Tapi ini mungkin akibat paling serius dari perubahan iklim yang diidentifikasi hingga saat ini, yaitu rasa bir mungkin terasa berbeda.

Itu menurut hasil dari penelitian Colleen Doherty, profesor biokimia molekuler dan struktural di N.C. State University, demikian dikutip dari laman Foxnews, Jumat (20/8/2020).

Doherty mempelajari hubungan antara waktu dan stres pada tumbuhan, menurut universitas.

Dalam postingan baru-baru ini di situs web universitas, dia menjelaskan bagaimana perubahan suhu akan memengaruhi hop dan bahan bir lainnya.

Para petani telah membudidayakan berbagai varietas hop yang menghasilkan senyawa kimia berbeda untuk memberikan rasa yang khas pada bir.

Namun, faktor-faktor seperti iklim, tanah dan cuaca dapat memengaruhi bagaimana tanaman dalam rasa bir dengan mengubah kimia internal mereka, menurut Doherty.

Ia membandingkannya dengan konsep "terroir" dalam pembuatan anggur, yang dapat mempengaruhi bahan dan kemudian mempengaruhi rasa yang dibuat dari anggur tersebut.

Simak video pilihan berikut:

Malam Jauh Lebih Hangat

gerhana bulan
ilustrasi bulan/Photo by David Besh from Pexels

Salah satu faktor perubahan iklim yang paling mengkhawatirkan adalah malam menjadi lebih hangat lebih cepat daripada siang hari, tulis Doherty.

Penelitian telah menunjukkan bahwa "perubahan halus pada suhu siang hari diperkuat pada malam hari."

Suhu yang lebih hangat di malam hari juga dapat membuat hama tersebut aktif lebih lama, memberi mereka lebih banyak waktu untuk menargetkan tanaman.

"Dengan kata lain, malam yang lebih hangat berarti perbedaan suhu antara siang dan malam menyusut," tulis Doherty.

"Dan itu dapat menyebabkan efek pada tanaman yang mirip dengan jet-lag -- mereka merasa lebih sulit untuk mengatur jam sirkadian mereka."

Akibatnya, jam mereka mungkin kurang sensitif terhadap perubahan kondisi dan bisa menjadi tidak sinkron dengan lingkungan.

Meskipun iklim Bumi telah berubah sebelumnya, perubahan suhu belum pernah terjadi sebelumnya sejak pertanian dimulai ribuan tahun yang lalu.

"Perubahan pola suhu harian dan musiman ini yaitu malam yang lebih hangat, musim semi lebih awal sehingga mengganggu fungsi tanaman, merusak hasil panen, memengaruhi biaya bahan, dan memengaruhi rasa bir," tulis Doherty.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya